Jakarta - Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka terkait kasus dugaan penerimaan hadiah pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang Jawa Barat.         "Berdasarkan hasil gelar perkara, termasuk hari ini mengenai penyelidikan dan penyidikan terkait dengan dugaan penerimaan hadiah atau janji berkaitan dengan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah di Hambalang dan proyek-proyek lainnya, KPK telah menetapkan saudara AU sebagai tersangka," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di gedung KPK Jakarta, Jumat.         AU adalah Anas Urbaningrum yang saat ini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus Wakil Ketua Majelis Tinggi partai tersebut.         "Saudara AU adalah mantan anggota DPR, kepada yang bersangkutan berdasarkan surat perintah penyidikan pada hari ini, 22 Februari disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no.31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Johan.         Pasal 12 huruf a tertulis mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diketahui bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya; sedangkan pasal 12 huruf b menyebutkan hadiah tersebut sebagai akibat karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.         Ancaman pidana pelanggar pasal tersebut adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar.         Sedangkan pasal 11 adalah penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangannya dengan ancaman pidana penjara 1-5 tahun dan atau pidana denda Rp50-250juta.         "Dengan demikian, proses yang telah dilakukan oleh KPK menyimpulkan berdasarkan bukti-bukti yang ada sudah ditemukan dua alat bukti yang cukup yang menyimpulkan saudara AU diduga melanggar pasal yang tadi sudah disampaikan," tambah Johan.         Ia menambahkan bahwa semua pimpinan sepakat bahwa Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka.         "Semua pimpinan setuju bahwa AU sebagai tersangka, jadi tidak benar ada pimpinan yang menghalang-halangi, tadi kesepakatannya bulat semua pimpinan setuju," katanya.         Johan menambahkan, surat perintah penyidikan (sprindik) ditandatangani Bambang Widjojanto namun "draft" sprindik ditandatangi oleh lima orang pimpinan KPK yaitu Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, Bambang Widjajanto, Busyro Muqoddas dan Abraham Samad.         Namun Johan tidak menjelaskan apa bentuk imbalan atau janji yang diterima Anas saat menjabat sebagai penyelenggara negara yaitu anggota DPR RI periode 2009-2014.         "Kita tidak membicarakan mengenai isi kasusnya," kata Johan.                              Sejak lama    Anas telah lama disebut-sebut sebagai tersangka sejak Jumat (8/2) dari sejumlah pemberitaan media, namun KPK membantah pemberitaan tersebut dan menyatakan hal tersebut hanyalah isu.         "Jadi selama belum ada penjelasan resmi baik dari pimpinan KPK maupun pihak yang ditunjuk secara resmi untuk mengmumkan hal-hal yang berkaitan dengan penanganan perkara maka itu, bisa dinilai sebagai isu sampai ada penjelasan resmi," kata Johan, Jumat (8/2).         Pada hari yang sama, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan bahwa penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka hanya tinggal menunggu tanda tangan lima pimpinan KPK.         "Ini tiga pimpinan di luar jadi sulit untuk mengambil keputusan saya berkeyakinan bahwa seluruh pimpinan sepakat, tidak ada perbedaan pandangan, cuma mungkin perlu disinergikan menyangkut sesuatu yang tidak dapat diungkapkan ke hadapan publik," kata Abraham Samad, Jumat.        Hingga akhirnya muncul dokumen "draft" surat perintah penyidikan (sprindik) yang menetapkan Anas sebagai tersangka dalam kasus Hambalang yang ditandatangani oleh tiga orang pimpinan KPK yaitu Abraham Samad, Zulkarnain dan Adnan Pandu Pradja.         Kepala surat dokumen tersebut adalah "Surat Perintah Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi" berisi penetapan Tersangka Anas Urbaningrum selaku anggota DPR periode 2009-2014 dengan dikenakan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberanasan Tindak Pidana Korupsi namun tanpa dilengkapi tanggal dan nomor surat.         Akhirnya pada Kamis (21/2) KPK membentuk Komite Etik untuk mengusut siapa pembocor "draft" sprindik tersebut.         "Hasil tim investigasi di bawah deputi pengawas internal dan pengaduan masyarakat disimpulkan ada dugaan salinan dokumen yang beredar adalah dokumen milik KPK maka tim investigasi mengusulkan kepada pimpinan untuk membentu Komite Etik," ungkap Johan Budi, Kamis (21/2).         Namun Johan meyakini bahwa pengusutan KPK atas kasus Hambalang tidak akan terganggu dengan keberadaan Komite Etik yang berasal dari unsur dalam dan luar KPK.         "Perkara Hambalang sudah diputuskan akan dilakukan gelar perkara Jumat, tentu tim satuan tugas Hambalang berbeda dengan pengawas internal jadi komite etik tidak mempengaruhi tugas KPK melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi," tambah Johan.            Anas Urbaningrum terakhir diperiksa sebagai saksi pada Rabu, 4 Juli 2012.         Dalam kesaksiannya itu, Anas membantah tentang pertemuannya dengan orang dari konsorsium pemenang lelang proyek tersebut PT Adhi Karya karena sebelumnya mantan bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin mengungkapkan bahwa PT Adhi Karya yang menggarap proyek Hambalang.         Nazaruddin berkali-kali mengungkapkan ada penyerahan uang Rp100 miliar dari PT Adhi Karya untuk Anas melalui orang dekatnya, Machfud Suroso, yang juga Komisaris PT Dutasari Citralaras, perusahaan subkontraktor yang mengerjakan proyek Hambalang.              Imbalan itu merupakan balas jasa karena mengusahakan kemenangan Adhi Karya dalam tender pada akhir 2010. Adhi dibantu setelah PT Duta Graha Indah, kontraktor proyek Wisma Atlet di Palembang tidak sanggup menggelontorkan dana untuk membiayai pemenangan Anas dalam kongres pada akhir Mei 2010 di Bandung.         Anas juga disebut Nazaruddin menerima mobil Toyota Harrier dari kontraktor PT Adhi Karya senilai Rp800 juta untuk memuluskan pemenangan perusahaan tersebut saat masih menjadi anggota DPR dari 2009 dan diberi plat B 15 AUD.         Tapi Anas juga sudah membantah keterangan tersebut melalui pengacaranya Firman Wijaya.         Mobil itu menurut Firman dibeli Anas dengan cara mencicil dari Nazaruddin pada Agustus 2009 namun telah dijual oleh Anas dan uang penjualannya sudah diberikan kepada Nazaruddin pada Juli 2010. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013