Surabaya - Kebijakan Bank Indonesia yang memberlakukan ketentuan uang muka minimum 30 persen seperti tercantum dalam Loan to Value (LTV) tidak mempengaruhi penyaluran Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di Surabaya. "Kami juga heran, aturan minimum uang muka 30 persen yang tercantum dalam 'LTV' ternyata tak mengurangi permintaan pasar. Kemungkinan sebagian besar masyarakat membelinya untuk kepemilikan pertama," kata Direktur Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah IV, Soekowardojo, di Surabaya, Rabu. Oleh karena itu, kata dia, seberat apa pun persyaratannya masyarakat tetap akan mematuhinya. Apalagi, kini pertumbuhan perekonomian Jatim semakin membaik dan kondusif. "Kondisi tersebut terlihat dari pembangunan rumah pada tahun 2012 di mana mengalami kenaikan sebesar 63,2 persen dan dipicu peningkatan pembangunan rumah tipe besar yang mencapai sekitar 114,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya," ujarnya. Sementara itu, di posisi kedua adalah pembangunan rumah tipe menengah yang meningkat 76,7 persen. Kemudian, pembangungan rumah tipe kecil naik 24,5 persen. "Penjualan rumah tipe besar ini juga tampak pada pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disalurkan bank umum per Desember 2012," katanya. Kinerja pertumbuhan penyaluran kredit tertinggi, tambah dia, terjadi pada KPR untuk rumah tipe besar (di atas tipe 70) hingga mencapai 68 persen dengan nilai kredit sekitar Rp8,151 triliun. Padahal, tahun 2011 hanya Rp4,8 triliun. "Lalu, diikuti oleh KPR untuk rumah tipe menengah dengan pertumbuhan 6 persen dan nilai kredit sekitar Rp8,629 triliun. Kalau tahun 2011 sekitar Rp8,143 triliun," katanya. Khusus rumah tipe kecil, kata dia, mengalami penurunan pertumbuhan hingga 11,6 persen daripada nilai kredit pada tahun 2011 sekitar Rp3,448 triliun menjadi Rp3,047 triliun pada tahun 2012. Di sisi lain, kepemilikan Ruko maupun Rukan juga naik 38,8 persen tetapi nilai kreditnya masih kecil yakni sekitar Rp1,156 triliun. "Tingginya permintaan masyarakat terhadap rumah ini juga diiringi dengan naiknya harga rumah hingga 72,7 persen," katanya. Hal tersebut terjadi karena kenaikan harga bangunan disusul oleh kenaikan upah pekerja 41,8 persen, mahalnya biaya perizinan sekitar 21,8 persen, dan adanya penambahan fasilitas umum 18,2 persen. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013