Negeri ini telah lama kesohor sebagai negeri yang “gemah ripah loh jinawi”, kurang lebih artinya negeri yang makmur karena memiliki kekayaan alam yang melimpah.
Sayangnya, kemakmuran itu tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, seperti perintah konstitusi, melainkan digangsir beramai-ramai oleh para petinggi negeri ini.
Para elit yang rata-rata paham hukum, justru menggarong kekayaan negara, sedangkan rakyat kecil, tak segan-segan merampok para elit yang diketahui memiliki kekayaan tidak sah, sehingga membuat negeri ini tak ubahnya sebagai negeri dengan sarang penyamun.
Kabar terakhir yang cukup mengejutkan adalah ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu malam (30/1).
KPK menangkap sekaligus menetapkan Luthfi sebagai tersangka dalam kasus penerimaan suap impor daging sapi dari perusahaan importir daging. Kalau sangkaan itu benar, pemangku jabatan terhormat di partai yang mengklaim sebagai partai bersih itu akan menjadi sasaran caci maki para ibu rumah tangga, selain pedagang bakso yang sempat berhenti beroperasi karena tiadanya pasokan daging.
Dengan terkuaknya indikasi penyuapan tersebut, terjawab sudah teka-teki perihal langkanya daging sapi beberapa waktu lalu. Bisa jadi, importir sengaja mengondisikan kelangkaan daging sapi di pasaran, sehingga terjadi gejolak harga.
Dalam situasi seperti itu, bergerak lah importir untuk mendekati sejumlah anggota DPR guna menyetujui langkah impor. Upaya “pendekatan” tentu saja tidak gratis, pasti ada embel-embel suap.
Meski proses kejadian itu kelihatan sepele, tapi masalah itu sebenarnya terkategori sebagai kejahatan besar. Tidak saja merugikan penjaja bakso dan ibu-ibu rumah tangga, tetapi juga ribuan peternak karena harga daging melambung dan sepi pembeli.
Juru bicara KPK Johan Budi menolak anggapan bahwa kasus ini terlalu dipaksakan untuk diprioritaskan. Ia justru menilai perbuatan para penyuap dan pihak yang akan disuap, sangat merugikan rakyat banyak, meski uang yang disiapkan untuk menyuap yang ditemukan KPK tergolong kecil, yakni Rp1 miliar.
Sudah bisa kita tebak, para kroni Luthfi Hasan, baik yang ada di DPR RI maupun di kepengurusan PKS, beramai-ramai membela “bos” nya. Layaknya paduan suara, mereka sama-sama menilai bahwa penangkapan Luthfi, lebih bernuansa politis, apalagi mendekati 2014.
Tapi mereka lupa, masyarakat kini sudah telanjur sangat memercayai KPK. Lembaga antirasuah ini tidak mungkin menjebloskan orang terhormat di partai religi, tanpa memiliki
kekuatan bukti.
KPK memang tidak bisa menetapkan seseorang bersalah atau tidak, karena tugasnya memang mengumpulkan alat-alat bukti. Tinggal nurani hakim di pengadilan lah yang nanti memutuskan, apakah masih ada orang bersih di negeri ini.
Terlepas dari salah atau tidaknya Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus suap ini, yang pasti sudah terbentuk opini di kalangan masyarakat bahwa tidak ada satupun partai di Indonesia ini yang bersih. Putih pun tak selamanya suci. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013