Wacana mengenai instrumen fiskal hijau semakin kuat seiring tingginya tekanan terhadap ekosistem alam. Negara-negara mulai memahami bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya menurunkan kualitas hidup, tetapi juga menciptakan beban fiskal jangka panjang.

Laporan Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan bahwa degradasi ekosistem global menyebabkan kerugian ekonomi, sedikitnya  7 triliun dolar AS per tahun, atau sekitar 8 persen PDB dunia, akibat hilangnya jasa lingkungan, seperti penyerbukan, ketahanan pangan, regulasi air, dan penyimpanan karbon alami.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat bahwa biaya bencana yang dipicu kerusakan ekosistem meningkat hampir dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. Sementara Bank Dunia menghitung bahwa negara-negara berkembang kehilangan potensi pertumbuhan fiskal sebesar 0,7–1,5 persen PDB per tahun akibat deforestasi dan degradasi tanah.

Bahkan, The Dasgupta Review menyimpulkan bahwa nilai ekonomis jasa ekosistem yang tidak terefleksi dalam harga pasar bernilai lebih besar daripada seluruh PDB global. Jika itu diakumulasi dalam jangka panjang, menciptakan risiko fiskal sistemik yang selama ini tidak tercatat dalam anggaran negara.

Indonesia memiliki kekayaan hayati yang menempatkan negeri ini di jajaran teratas dunia. Hanya saja, tekanan terhadap hutan, gambut, karst, mangrove, pesisir, dan air tawar terus meningkat.

Laju deforestasi, fragmentasi habitat, penurunan populasi spesies kunci, dan degradasi bentang alam adalah bukti bahwa biaya ekologis masih dianggap eksternalitas yang bebas ditanggung negara.

Ketika konversi lahan, perluasan tambang, dan ekspansi perkebunan tidak mengenakan biaya ekologis yang memadai, negara sesungguhnya sedang menyubsidi kerusakan. Di sinilah konsep biodiversity loss tax atau pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati mulai mendapatkan tempat dalam diskursus kebijakan publik dunia.

Pertanyaannya, sejauh mana Indonesia sebagai negara mega biodiversitas mampu merespons gagasan ini sebagai strategi fiskal masa depan?

Beberapa negara mulai menggunakan pendekatan ini. Inggris menerapkan skema Biodiversity Net Gain yang mewajibkan pembangunan meningkatkan kualitas biodiversitas sebelum memulai proyek. Australia memperkenalkan biaya restorasi bagi sektor yang beroperasi di habitat spesies endemik. Kolombia mengembangkan pajak berbasis jasa ekosistem yang dialihkan ke program konservasi.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal tidak lagi hanya mengatur penerimaan negara, tetapi juga menjadi alat mengubah perilaku ekonomi menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan.

 

Risiko keberlanjutan

Tantangan terbesar Indonesia muncul dari dua sumber utama: konversi lahan dan ekstraksi sumber daya alam. Walaupun tren deforestasi menurun dibandingkan periode awal 2000-an, tekanan terhadap ekosistem gambut dan pesisir justru meningkat.

Ekspansi pertambangan nikel dan batu bara menciptakan tekanan baru terhadap bentang alam, sementara konversi lahan untuk pertanian ekspor dan infrastruktur menggerus habitat spesies endemik.

Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga fiskal. Setiap banjir bandang, kerusakan irigasi, kerugian pertanian, hingga meningkatnya konflik manusia-satwa berpotensi menciptakan pembengkakan pembiayaan negara yang seharusnya dapat dikurangi jika kerusakan dicegah sejak awal.

Dalam konteks ini, pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati dapat memberi koreksi struktural. Skema pajak yang menghitung tingkat kehilangan jasa ekosistem akan membuat industri memperhitungkan biaya lingkungan sebagai bagian dari biaya produksi.

Berbagai kajian internasional menunjukkan bahwa kerusakan biodiversitas memiliki dampak fiskal yang sangat besar. Laporan TEEB memperkirakan bahwa hilangnya jasa penyerbuk global menyebabkan potensi kerugian ekonomi lebih dari  235 miliar–577 miliar dolar AS per tahun. Sedangkan degradasi tanah yang memicu sedimentasi sungai dan penurunan kualitas air menimbulkan kerugian hingga  300 miliar dolas AS setiap tahun pada negara-negara berkembang, menurut FAO.

Di sisi lain, Bank Dunia menghitung bahwa kerusakan pesisir dan mangrove yang tidak terlindungi dapat meningkatkan biaya bencana hingga USD 50 miliar per tahun, karena hilangnya fungsi perlindungan alami terhadap badai dan gelombang ekstrem.

Bahkan, OECD memperkirakan bahwa risiko kehilangan biodiversitas dapat menurunkan potensi pertumbuhan fiskal negara hingga 1 persen PDB per tahun jika tidak dikoreksi melalui kebijakan fiskal hijau.

Beberapa riset kawasan turut memperkuat urgensi ini. Studi ASEAN Centre for Biodiversity menunjukkan bahwa kurangnya data ekologis yang terstandar menyebabkan negara-negara Asia Tenggara kehilangan peluang fiskal hingga  1,1 miliar dolas AS per tahun dari pungutan lingkungan dan skema kompensasi konservasi.

Sementara itu, penelitian CIFOR 2022 menemukan bahwa ketidaktepatan data tutupan hutan dapat menyebabkan perhitungan nilai kerugian ekosistem meleset, antara 15 sampai 35 persen, yang pada akhirnya mempengaruhi efektivitas instrumen fiskal berbasis lingkungan. Indonesia perlu memperkuat sistem inventarisasi ekosistem, integrasi data satelit, hingga mekanisme audit ekologis yang transparan.

Tanpa data yang reliabel, tarif pajak dikhawatirkan tidak mencerminkan risiko sebenarnya dan justru menimbulkan resistensi pelaku usaha.

 

Instrumen korektif

pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati akan efektif bila diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan. Pajak tidak dapat berdiri sendiri tanpa keterkaitan dengan perizinan lingkungan, rencana tata ruang, analisis dampak lingkungan, serta sistem offset yang kredibel.

Di banyak negara, keberhasilan pajak jenis ini justru ditentukan oleh koordinasi antarlembaga, bukan semata besaran tarifnya. Inggris, misalnya, menerapkan biodiversity net gain (BNG) yang mewajibkan setiap proyek pembangunan memberikan peningkatan biodiversitas, minimal 10 persen, sebelum izin diberikan. Kebijakan ini hanya berjalan efektif jika ada sinkronisasi antara otoritas perencanaan, lembaga lingkungan, dan sistem monitoring berbasis satelit.

Australia, melalui environmental offset policy juga menunjukkan bahwa integrasi data ekologis nasional dengan izin industri dapat mengurangi risiko manipulasi offset dan memastikan pajak lingkungan terhubung dengan rencana tata ruang.

Sementara Belanda menerapkan skema ecological compensation yang terhubung langsung dengan kebijakan air dan tata ruang, membuat pajak lingkungan berfungsi efektif untuk melindungi ekosistem delta yang rentan.

Jika sinkronisasi semacam ini lemah, pajak dapat kehilangan fungsi korektifnya, atau bahkan membuka ruang bagi manipulasi data dan tumpang tindih kebijakan.

Dalam jangka panjang, pajak ini dapat menjadi sumber baru pembiayaan lingkungan. Program restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, pemulihan DAS, konservasi spesies, dan penguatan kawasan penyangga, selama ini, sebagian besar bergantung pada APBN reguler yang terbatas.

Dengan sumber pajak khusus, beban fiskal dapat dialihkan dari sektor-sektor vital menuju skema pembiayaan lingkungan yang lebih mandiri dan stabil. Lebih jauh, jika sebagian penerimaan dialokasikan kembali ke daerah, maka pemerintah daerah akan memiliki insentif fiskal untuk menjaga kualitas ekosistemnya.

Hal ini relevan dengan isu TKD, saat ini, di mana banyak daerah mengeluhkan formula transfer pusat yang belum cukup mempertimbangkan kinerja ekologis dan kualitas tata ruang.

Selama ini, TKD lebih banyak ditautkan dengan indikator dasar, seperti populasi, tingkat kemiskinan, atau kapasitas fiskal. Sementara faktor ekologis, misalnya rasio tutupan hutan, tingkat degradasi lahan, atau kerentanan ekologis belum sepenuhnya masuk dalam skema insentif.

Dengan memasukkan pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati sebagai sumber pendapatan yang dapat direalokasikan ke daerah berbasis kinerja lingkungan, Indonesia dapat menciptakan model green fiscal decentralization yang lebih adil dan efektif.

Daerah yang menjaga tutupan hutan, mengurangi deforestasi, dan memperbaiki ekosistem akan mendapat tambahan transfer, sementara daerah dengan tingkat degradasi tinggi terdorong melakukan koreksi kebijakan.

Pendekatan ini bukan hanya memperkuat kapasitas fiskal daerah, tetapi juga menyelaraskan pembangunan nasional dengan keberlanjutan ekologis jangka panjang.

Di sisi eksternal, keberadaan pajak ini juga akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional. Dunia sedang bergerak menuju rantai pasok bebas deforestasi, terutama Uni Eropa, yang memperketat persyaratan akses pasar.

Produk dengan jejak ekologis yang tidak transparan berisiko ditolak. Sehingga, kebijakan fiskal yang mendukung perlindungan ekosistem menjadi alat diplomasi ekonomi, bukan sekadar regulasi domestik.

Indonesia dapat menunjukkan bahwa mekanisme fiskal digunakan untuk mengoreksi perilaku industri, menjaga kualitas alam, dan memastikan keberlanjutan jangka panjang. Jika dihitung dari dampak ekonomi, studi-studi global memperkirakan bahwa nilai jasa ekosistem yang hilang akibat deforestasi dan degradasi lahan di Asia Tenggara mencapai 150 miliar–200 miliar dolar AS per tahun.

Untuk konteks Indonesia, estimasi nilai jasa ekosistem hutan hujan, termasuk penyerapan karbon, penyerbukan, pengendalian banjir, dan penyediaan air yang berkisar  10 miliar–15 miliar dolas AS per tahun.

Apabila instrumen pajak mampu mengurangi kehilangan tutupan hutan dan degradasi ekosistem sebesar 5–10 persen saja, potensi manfaat ekonomi yang "terselamatkan" dapat mencapai  500 juta dolas AS hingga  1,5 miliar dolas per tahun.

Angka itu jauh lebih besar dibandingkan potensi beban jangka panjang akibat kerusakan lingkungan yang selama ini tidak terbukukan dalam neraca fiskal.

Dengan demikian, integrasi pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati bukan sekadar kebijakan ekologis, melainkan strategi ekonomi untuk menjaga kepastian pasokan, menurunkan risiko perdagangan, dan mempertahankan akses pasar Indonesia di tengah standar global yang semakin ketat.

 

Paradigma baru

Dalam konteks APBN, pajak keanekaragaman hayati dapat menjadi sumber pembiayaan bagi program restorasi alam, rehabilitasi mangrove, pemulihan gambut, serta penguatan konservasi spesies.

Pembiayaan lingkungan, saat ini, masih sangat mengandalkan anggaran reguler negara yang bersifat terbatas. Sementara kebutuhan pemulihan ekosistem, terutama di daerah rawan bencana, terus meningkat.

Dengan adanya sumber pajak khusus, negara memiliki ruang fiskal yang lebih kuat untuk memperbaiki kondisi lingkungan tanpa merongrong belanja publik lainnya. Lebih jauh, pajak ini dapat mendorong desentralisasi fiskal hijau jika sebagian penerimaan diarahkan kembali ke daerah untuk memperbaiki kualitas ekosistem lokal.

Pada tingkat kebijakan, pengembangan pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati juga dapat memperkuat strategi transisi ekonomi hijau Indonesia. Pemerintah, kini tengah menyiapkan berbagai instrumen keuangan untuk mendukung target netral karbon, mulai dari perdagangan karbon, hingga standar emisi.

Meskipun demikian, upaya mengurangi kerusakan lingkungan tidak hanya soal karbon, melainkan juga menjaga fondasi ekosistem yang menopang kehidupan. Pajak ini dapat melengkapi kerangka kebijakan iklim dengan memasukkan dimensi ekologi yang lebih luas daripada sekadar pengurangan emisi.

Akhirnya, wacana penerapan pajak keanekaragaman hayati tidak dapat dilihat semata-mata sebagai inovasi fiskal, tetapi juga sebagai perubahan paradigma.

Selama ini, pembangunan di Indonesia sering dipahami sebagai proses ekspansi ruang ekonomi yang mengorbankan ruang ekologis. Paradigma baru menempatkan alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai aset ekonomi yang harus dijaga keberlanjutannya.

Pajak menjadi alat untuk menyelaraskan kepentingan ekonomi dengan kesehatan ekosistem. Dengan instrumen yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat melindungi kekayaan alamnya, tetapi juga membangun ekonomi yang lebih kokoh di masa depan.

Di tengah tekanan perubahan iklim, penurunan kualitas lingkungan, dan meningkatnya persaingan pasar global, kini saatnya Indonesia menimbang serius bagaimana pajak atas kehilangan keanekaragaman hayati dapat menjadi pilar kebijakan fiskal hijau. Bukan sekadar bentuk penambahan pajak, tetapi sebagai mekanisme ekonomi yang memastikan pembangunan dan keberlanjutan berjalan seiring.

Jika dirancang dengan baik, pajak ini dapat menjadi langkah visioner: menyelamatkan alam sambil memperkuat fondasi ekonomi nasional.



*) Dr M Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Ditjen Pajak Kemenkeu

Pewarta: Dr M Lucky Akbar*)

Editor : Vicki Febrianto


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2025