Oleh Zumrotun Solicha Jember - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana mengubah kurikulum pendidikan tahun 2013 mulai tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan pendidikan, sehingga tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan semua pihak. Beberapa kali kurikulum pendidikan di Indonesia diganti dengan harapan perubahan tersebut dapat memperbaiki kualitas pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Kurikulum pendidikan nasional sejak Indonesia merdeka telah mengalami perubahan berturut-turut yakni pada tahun 1947 dengan kurikulum yang masih dipengaruhi dengan sistem pendidikan kolonial Belanda, kemudian ada perubahan kurikulum tahun 1952, tahun 1964, dan tahun 1968. Tujuh tahun kemudian pada tahun 1975 kurikulum pendidikan diganti lagi, tahun 1984, tahun 1994, tahun 2004 yang dikembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan tahun 2006 berganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pengamat pendidikan dari Universitas Jember (Unej) Prof Sunardi mendukung langkah Kemendikbud untuk mengubah kurikulum pendidikan yang semangatnya dilandasi keseimbangan aspek akademik dan pendidikan karakter untuk diterapkan pada tahun 2013. "Secara rutin memang idealnya kurikulum pendidikan harus ditinjau maksimal 10 tahun sekali untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman yang terus bergerak dinamis," tuturnya. Menurut dia, perubahan kurikulum yang direncanakan oleh Mendikbud M Nuh tentunya berdasarkan hasil evaluasi yang matang dan tidak hanya untuk kepentingan sesaat, sehingga perubahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. "Kemendikbud memiliki satu misi, yakni pada 2045 atau seabad Indonesia merdeka harus benar-benar mandiri, sehingga proses menuju ke sana harus disiapkan sejak dini," ucap guru besar Unej itu. Ia menjelaskan pendidikan karakter di Indonesia belum cukup bagus dibandingkan negara-negara lain, sehingga Kemendikbud pada 2010 sudah meluncurkan desain besar ("grand design") pendidikan karakter yang akan diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran pada kurikulum baru tersebut. "Kemungkinan pendidikan karakter tidak akan menjadi mata pelajaran tersendiri, tapi akan terintegrasi dalam mata pelajaran yang kompetensinya harus memuat satu karakter untuk meningkatkan mutu pendidikan," kata pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unej itu. Sunardi menilai rencana Kemendikbud mengubah kurikulum pendidikan di sekolah dasar (SD) menjadi enam mata pelajaran mulai tahun ajaran 2013-2014 cukup beralasan untuk mengurangi beban pelajar yang dinilai cukup berat dengan 11 mata pelajaran tingkat SD. "Penyederhanaan mata pelajaran bagi anak didik di tingkat rendah seperti SD sangat diperlukan, agar mereka benar-benar memahami mata pelajaran secara keseluruhan, karena lebih bagus sedikit tapi mendalam daripada banyak tapi hanya permukaannya saja," paparnya. Dosen matematika itu berharap perubahan kurikulum baru harus dipahami dengan benar oleh satuan pendidikan di masing-masing sekolah dan guru yang bersangkutan, agar harapan Kemendikbud untuk memperbaiki kualitas pendidikan dengan mencetak generasi berkarakter dapat terwujud. "Belum optimalnya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 karena pihak sekolah dan guru belum menerapkan sistem itu dengan benar. Dalam KTSP 2006, otonominya ada di tingkat satuan pendidikan yakni di sekolah-sekolah," ujarnya. Ia menegaskan perubahan kurikulum tersebut tidak akan ada artinya tanpa pembenahan guru, karena itu pemerintah juga menata guru melalui uji kompetensi guru (UKG) yang bertujuan untuk memetakan guru yang mumpuni. Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Jember I Wayan Wesa Atmaja, mengaku setuju dengan perubahan kurikulum pendidikan yang digagas oleh Kemendikbud yang dipimpin mantan Rektor ITS, M. Nuh. "Perubahan kurikulum pendidikan merupakan dinamika di bidang pendidikan karena pendidikan itu secara kurikuler harus dinamis untuk mengikuti perkembangan zaman, perkembangan tuntutan masyarakat, dan perkembangan tuntutan pembangunan," paparnya. Menurut dia, PGRI mendukung langkah Kemendikbud untuk mengubah kurikulum pendidikan sepanjang kurikulum tersebut relevan, potensial dan mengacu pada kemajuan bangsa yang lebih baik. "Mudah-mudahan PGRI menjadi salah satu komponen pendidikan yang dilibatkan untuk mengkaji perubahan kurikulum itu, agar tim yang mengubah kurikulum itu sinergis karena peranan guru cukup besar dalam mengimplementasikan perubahan kurikulum," kata mantan Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Jember itu. Ia berharap kurikulum baru dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia dengan orientasi pendidikan karakter yang sangat dibutuhkan pelajar yang perlahan-lahan mengalami degradasi moral. Jangan Beratkan Sebagian orang tua atau wali murid pesimistis bahwa perubahan kurikulum dapat memperbaiki kualitas pendidikan nasional yang berorientasi pada pendidikan karakter bangsa seperti yang disampaikan oleh Ketua Komite Sekolah Dasar Negeri (SDN) Patrang 2 di Jember, Heru Nugroho. "Saya khawatir perubahan kurikulum pendidikan identik dengan proyek baru Kemendikbud yang ujung-ujungnya akan membebani wali murid pada tahun ajaran baru nanti," tuturnya. Menurut dia, kurikulum KTSP 2006 sudah cukup baik di tingkat satuan pendidikan sekolah, namun pelaksanaanya di masing-masing sekolah belum optimal. "Lebih baik kurikulum yang ada dioptimalkan dan profesionalitas guru untuk menjadi pendidik yang kreatif lebih ditingkatkan, karena sertifikasi dan uji kompetensi guru ternyata tidak mampu mengubah 'mindset' (pola pikir) para pahlawan tanpa tanda jasa itu," tukasnya. Perubahan kurikulum, lanjut dia, akan berdampak pada pergantian buku untuk siswa yang "memaksa" wali murid untuk membeli buku baru, dan perubahan sistem pengajaran di sekolah yang menyebabkan tidak optimalnya sistem belajar mengajar karena masih era transisi perubahan kurikulum. "Setiap kali berganti menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum juga akan diubah, padahal mengubah kurikulum pendidikan tidak semudah membalik telapak tangan," ucap Heru yang juga aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Antikorupsi di Jember itu. Ia mengatakan perubahan kurikulum tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga tidak menutup kemungkinan evaluasi kurikulum KTSP 2006 dimanfaatkan sejumlah oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi. "Saya pesimistis bahwa perubahan kurikulum dapat menekan degradasi moral para pelajar karena tidak sedikit para pendidik justru memberikan contoh yang tidak baik kepada siswa, sehingga rencana perubahan kurikulum perlu ditinjau ulang," ucapnya. Kepala SMP Negeri 7 Jember, Saiful Bahri mengatakan perubahan kurikulum yang direncanakan oleh Kemendikbud harus memiliki visi dan misi yang jelas untuk peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. "Jangan sampai evaluasi kurikulum itu hanya sekadar mengganti nama, kemudian merepotkan pihak guru, memberatkan siswa, dan wali murid yang menjadi objek dalam perubahan kurikulum pendidikan itu," tuturnya. Menurut dia, pihaknya hanya bisa menunggu kebijakan tersebut untuk diimplementasikan di tingkat sekolah, namun harapan besar perubahan kurikulum tersebut dapat meningkatkan kualitas pendidikan secara keselurahan dan komprehensif. "Kami hanya bisa menunggu kebijakan itu sambil mempersiapkan para guru di SMP Negeri 7 agar mampu memahami perubahan kurikulum baru itu dengan benar, sehingga pelaksanaan dan target yang ingin dicapai Kemendikbud dapat terwujud," tukasnya. Saiful mendukung gagasan Mendikbud yang mengubah kurikulum dengan tujuan perubahan persentase pembelajaran akademik, pendidikan karakter, dan pelatihan ketrampilan yang diatur seimbang, namun hal itu harus ditunjang dengan sarana pendidikan yang memadai. SDM Guru dan Sarana Pendidikan Anggota Komisi D DPRD Jember yang membidangi pendidikan, Ayong Syahroni, mengatakan secara teoritis konsep perubahan kurikulum yang mengedepankan pendidikan karakter dan nilai-nila budaya Indonesia cukup bagus, namun konsep tersebut tidak akan semulus yang diharapkan. "Perubahan kurikulum pendidikan sejak Indonesia merdeka hingga kini memiliki konsep yang luar biasa dengan tujuan meningkatkan kualitas pendidikan, namun kendalanya pada praktik di lapangan," katanya. Menurut dia, konsep kurikulum holistik berbasis sains tentunya harus didukung dengan peningkatan kualitas guru dan perbaikan sarana pendidikan yang selama ini menjadi sorotan sejumlah pihak seperti masih banyaknya sekolah yang rusak dan ruangan kelas yang tidak layak. "Banyak para pendidik yang tidak lulus ujian kompetensi guru dan ribuan gedung sekolah rusak masih menunggu anggaran, sehingga dua hal itu seharusnya menjadi perhatian Kemendikbud dan tidak sekedar mengubah kurikulum saja karena persoalan pendidikan sangat kompleks," paparnya. Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berharap kebijakan perubahan kurikulum mampu memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global dan menuju perubahan yang lebih baik, serta inovatif. "Jangan sampai perubahan kurikulum hanya sekedar formalitas yang terkesan 'ganti menteri ganti pula kurikulum', sehingga akan sia-sia," ujarnya. Para pendidik yang menjadi perantara dalam kurikulum itu, lanjut dia, harus memahami konsep kurikulum pendidikan nasional dengan baik, sehingga dapat mentransformasikan kepada anak didik. Apabila kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan dan kesalahpahaman. Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa, korban dari proyek Mendikbud.(*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012