Oleh Edy M Ya'kub
(Surabaya) - Penistaan agama di Barat dan pengeboman anti-Barat di Timur adalah dua fakta yang hingga kini tidak ada titik temu.
Faktanya, titik temu itu tidak ada, karena pihak Barat menilai apa yang disebut dengan penistaan agama adalah bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi yang diakui konstitusi di sejumlah negara maju itu.
Masalahnya, pihak Timur menilai kebebasan berbicara dan berekspresi itu tidak bisa tanpa batas, namun kelompok garis keras di Timur menjawab kebebasan tanpa batas ala Barat itu dengan pengeboman/pembunuhan.
Ketika berpidato dalam Sidang Majelis Umum PBB (25/9), Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa penistaan agama itu tidak layak dianggap sebagai "freedom of speech" karena hal itu tidak sesuai dengan Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia bahwa hak dan kebebasan seseorang ada pembatasannya berkaitan dengan nilai moral dan ketertiban umum.
"Kebebasan tidak (bisa) absolut, apalagi kita hidup dalam perkampungan global, bertenggang rasa, saling menghormati, saling sensitif terhadap nilai-nilai keyakinan yang dianut pihak lain, karena itu Indonesia mengusulkan protokol antipenistaan agama untuk diberlakukan secara internasional," katanya.
Fakta yang lain menunjukkan mozaik ideologi Barat mulai dipuja-puja di Timur, di antaranya liberalisme, neoliberalisme, kapitalisme, sektarianisme, primordialisme, hedonisme, materialisme, individualisme, dan sejenisnya.
Lagi-lagi, ideologi ala Barat itu dijawab kelompok garis keras di Timur dengan dua ideologi "tandingan" yakni radikalisme atau fundamentalisme di "sayap kanan" dan komunisme di "sayap kiri".
Walhasil, mayoritas masyarakat di Timur yang bukan kelompok garis keras pun benar-benar keok, karena ideologi asli orang Timur mulai luntur, namun fakta penistaan agama (dianggap kebebasan berekspresi) pun sulit ditolak.
Fakta masyarakat Timur yang benar-benar keok itu terlihat nyata pada terpinggirkannya pasar tradisional, maraknya konflik antarmasyarakat dan tawuran antarpelajar, dan kaum muda melihat budaya timur itu terbelakang.
Mirisnya lagi, Pancasila sebagai ideologi "jalan tengah" yang mampu memelihara dan melindungi keragaman pun tak berkutik dan bahkan terkapar, karena masyarakat pemiliknya terbuai dengan fakta yang serba-Barat.
"Amandemen UUD 1945 yang sudah empat kali dilakukan tanpa konsep telah menghancurkan Pancasila. Memang benar Pembukaan UUD 1945 tidak diamandemen, tapi materi amandemen batang tubuh UUD 1945 yang menyentuh sendi-sendi operasional justru menghancurkan Pancasila di lapangan," kata Rais Syuriah PBNU KHA Hasyim Muzadi.
Saat berbicara dalam seminar pra-Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang digelar PBNU di Surabaya (8/9), ia menjelaskan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa, karena semua aspek kehidupan dibisniskan, politik pun transaksional, lalu sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab telah menjadi bentrok, separatisme, konflik, tawuran, dan kerusuhan dimana-mana.
"Hal itu membuat sila Persatuan Indonesia pun berantakan, karena ukhuwah (persaudaraan) tidak ada, lalu Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan juga hancur, karena pemimpin dan lembaga perwakilan juga sudah tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Semuanya untuk kepentingan individu dan kelompok, maka korupsi pun marak," katanya.
Walhasil, kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Malang dan Depok itu, hilangnya "hikmad kebijaksanaan" menjadikan sila Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia pun hanya menjadi mimpi dan bukan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lagi.
Untungnya, fakta-fakta itu dilihat para ulama Nahdlatul Ulama (NU) sebagai stadium "gawat darurat" yang disoroti dalam Munas Alim Ulama dan Konperensi Besar NU di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, 15-17 September 2012.
"Reformasi terbukti membawa kemajuan yang berarti. Kehidupan bangsa semakin demokratis, berbagai tindakan represif semakin berkurang, kebebasan berorganisasi, menyalurkan aspirasi politik, mengembangkan pendidikan dan dakwah semakin dirasakan oleh rakyat," kata Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh saat pembukaan Munas itu.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga dampak negatif yang timbul dari reformasi yang harus segera dicari pemecahannya. "Amandemen UUD 1945 yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan kurang cermat di saat era reformasi itu telah melahirkan aturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara," katanya.
Lembaga Pembudayaan
Tidak hanya itu, NU memandang keberadaan Indonesia sebagai negara kesatuan pun telah mengalami gangguan, karena kebijakan otonomi daerah dilaksanakan tanpa persiapan sosial yang matang, sehingga berakibat pada munculnya konflik yang berkepanjangan di banyak daerah.
"Lemahnya kendali pemerintah pusat terhadap sektor-sektor strategis di daerah, telah membuat negara kesatuan ini semakin berjalan ke arah sistem semi federal. Hal ini sangat membahayakan NKRI dengan keanekaragaman etnis dan budayanya," kata Kiai Sahal.
Oleh karena itu, NU memandang Pancasila perlu dibudayakan kembali, karena Pancasila menjadi kebutuhan yang tak dapat ditawar-tawar lagi untuk menemukan titik temu dalam benturan tanpa ujung pangkal antara antarkelompok, antarbangsa, antarnegara, dan antara Timur dan Barat.
Bahkan, dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Cirebon itu, PBNU sempat mengusung tema "Khittah Indonesia" untuk menunjukkan perlunya kembali kepada garis perjuangan sesuai nilai-nilai yang luhur dan murni yakni Pancasila dan UUD 1945.
Usulan untuk membudayakan Pancasila sebagai "penengah" konflik di dunia itu didukung pengamat Pancasila dari Universitas Airlangga Surabaya, Listyono Santosa SS MHum.
Bahkan, Sekjen Komisi Pengkajian Jatidiri dan Kebangsaan Unair Surabaya itu menilai lembaga pembudayaan Pancasila merupakan kebutuhan yang paling mendesak untuk bangsa Indonesia saat ini.
"Kita sangat membutuhkan lembaga pembudayaan ideologi Pancasila yang mempunyai fungsi pendidikan, pengkajian, dan kontrol kebijakan atas peraturan hukum yang menyingkirkan nilai-nilai Pancasila," katanya.
Saat ini, katanya, ideologi liberalisme, neoliberalisme, sektarianisme, dan radikalisme menemukan momentum untuk merasuki kehidupan bangsa Indonesia.
"Kelompok liberalisme menganggap Pancasila tidak penting, karena banyak negara yang sejahtera tanpa Pancasila, sedangkan kelompok sektarianisme dan radikalisme juga idem, karena mereka pun menganggap Pancasila tidak penting. Agama yang bisa menjamin orang masuk surga, bukan Pancasila," katanya.
Apalagi, sejumlah 'isme' baru itu piawai dalam memanfaatkan media massa, jaringan global, dan kelompok potensial untuk melakukan langkah-langkah strategis.
"Buktinya, mereka mampu 'membunuh' BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lewat reformasi di Indonesia dan akhirnya 'memberangus' Pancasila lewat UU Sisdiknas 20/2003 yang meniadakan Pancasila," katanya.
Akibatnya, ideologi-ideologi anti-Pancasila itu pun masuk ke parlemen dan eksekutif dengan mudahnya dan akhirnya teroris pun masuk, anak PKI pun merasa bangga menjadi PKI, NII pun bebas berkembang, dan serangkaian kebijakan "anti-Pancasila" pun dipersiapkan dengan rapi.
"Padahal, Pancasila merupakan titik temu dari kemajemukan yang juga menomersatukan agama (Tuhan) dan memiliki target akhir untuk terwujudnya kesejahteraan dan keadilan melalui prinsip gotong royong yang merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia sendiri," katanya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan dua langkah yakni revisi UU Sisdiknas untuk mengenalkan Pancasila secara benar dan perlunya penyiapan suatu lembaga yang bisa melakukan pembudayaan ideologi.
"Lembaga itulah yang akan merumuskan kurikulum pembudayaan Pancasila di lembaga pendidikan, sekaligus melakukan kontrol kebijakan atas peraturan hukum yang menabrak nilai-nilai Pancasila, seperti UU Sisdiknas, UU Migas, dan sebagainya," katanya.
Senada dengan itu, salah seorang tokoh masyarakat Jatim, Arukat Djaswadi, menyatakan pihaknya sangat setuju dengan gagasan perlunya lembaga pembudayaan Pancasila itu.
"Kami setuju, karena itu Presiden harus merespons gagasan tentang Lembaga Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945 itu. Bagaimanapun, Pancasila adalah ruh bangsa Indonesia. Kalau kita karena kehilangan dasar negara itu, maka kita akan runtuh," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012