Jember - Pengamat budaya dan keagamaan dari Sekolah Tinggi Ilmu Agama Negeri Jember Muhibin, MSi mengemukakan bahwa mudik bukan merupakan tradisi dari masyarakat yang terbelakang. "Bukan berarti orang di negara lain yang tidak memiliki tradisi mudik massal seperti ini lebih maju dari negara kita," kata mahasiswa S-3 kajian budaya dan media di UGM Yogyakarta ini kepada ANTARA di Jember, Sabtu. Menurut dia, ada perbedaan mendasar antara budaya Barat yang individual dengan budaya komunal bangsa Indonesia. Karena itu keduanya tidak bisa diperbandingkan, apalagi didudukkan satu lebih tinggi dari lainnya. "Ini juga ada di ajaran agama agar setiap menghadapi persoalan, umat Islam harus melibatkan orang tua atau mertua. Ini kan persoalan emosional umat Muslim untuk berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman," katanya. Ia mengemukakan bahwa mudik adalah praktik budaya yang tidak bisa ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim. Pada saat mudik, katanya, masyarakat kembali merajut nilai-nilai kekeluargaan yang selama banyak tergerus oleh keadaan atau kondisi yang berjauhan. Menurut dia, sebetulnya di era global saat ini, komunikasi dengan keluarga itu bisa dilakukan lewat perangkat teknologi seluler. Namun, kecanggihan teknologi komunikasi tidak bisa menggantikan mudik itu sendiri. "Mudik itu ada rasa emosional yang tidak bisa diwakili dengan teknologi, tapi harus bertemu langsung dengan keluarga. Perasaan manusia tidak bisa diwakili oleh teknologi," katanya. Ia mengemukakan bahwa mudik yang kemudian saling bermaafan juga bisa meluluhkan hati seseorang. "Misalnya kita punya salah pada seseorang, kemudian kita datangi, apalagi di suasana Lebaran, pasti hatinya luluh," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012