Oleh Masuki M Astro (Banyuwangi) - Hasil tanaman kedelai di Kabupaten Banyuwangi menjadi salah satu penopang produksi bahan baku tahu dan tempe itu untuk wilayah Jawa Timur. Sesuai data 2011, produksi kedelai dari kabupaten paling timur Pulau Jawa itu mencapai 66.094 ton dari luas areal 36.068 atau produkstivitasnya mencapai 18,32 kwintal atau sekitar 1,8 ton per hektare. Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi Ir Ikrori Hudanto menyebutkan bahwa tanaman kedelai di daerah itu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Ia memberi contoh pada 2009 dengan luas lahan 37.677 hektare menghasilkan 64.842 ton atau produktivitas 17,21 kwintal per hektare. pada 2010 luas lahan 36.912 hektare menghasilkan 64.857 ton atau produktivitas 17,57 per hektare. Untuk 2012 ini, kata Ikrori, pihaknya menargetkan lahan seluas 36.836 hektare, namun baru terealisasi sekitar 30 persen atau 14.356 hektare. "Masih banyaknya lahan yang belum ditanami kedelai ini karena musim kemarau sekarang curah hujan masih tinggi sehingga petani banyak memilih menanam padi," katanya. Meskipun baru tercapai 30 persen, pihaknya tidak terlalu mempermasalahkan atau mendorong petani untuk menanam kedelai karena bahan pangan tersebut tidak termasuk dalam kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. "Beda dengan tanaman padi. Kalau padi tentu kami genjot agar sesuai target." Katanya. Semakin meningkatnya produktivitas itu, ia mengemukakan salah satu faktornya karena pihaknya mendorong petani menggunakan bibit varietas unggul dan penggunaan alat pascapanen. Selain itu petani juga menggunakan pupuk secara berimbang, termasuk yang organik. "Kami juga menggerakkan para tenaga penyuluh untuk selalu berkomunikasi dengan petani. Petani dan penyuluh juga ada program belajar bersama lewat pendampingan-pendampingan pada kelompok tani maupun perorangan," katanya. Pihaknya juga berupaya melakukan pengamanan produksi dengan memberikan laporan secara dini jika ada penyakit menyerang tanaman, sehingga cepat diatasi. Pada kasus ini Dinas Pertanian menyediakan obat-obatan yang bisa digunakan oleh petani. Mengenai kemungkinan untuk meningkatkan lagi produktivitas tanaman kedelai, ia mengemukakan bahwa hal tersebut bisa dilakukan, apalagi pemerintah terus menyediakan bibit unggul. Apa yang disampaikan oleh Ikrori, di mata akademisi pertanian dari Universitas Jember Prof Dr Achmad Subagio, MAgr, sebetulnya tidk terlalu menggembirakan. Menurut dia, produktivitas tanaman kedelai di Indonesia sulit sekali untuk mencapai dua ton per hektare, padahal di luar negeri bisa lebih dari dua ton. Hal itu terjadi, katanya, karena kedelai itu adalah tanaman subtropis yang membutuhkan sinar matahari lebih lama. Ketika ditanam di Indonesia, meskipun dengan rekayasa sedemikian rupa akan sulit menyamai hasil di luar negeri, seperti di Amerika Serikat. "Di Banyuwangi itu lahan yang ditanami kedelai kan lahan sangat subur, tapi produktivitasnya masih seperti itu," kata lulusan S-2 dan S-3 dari Jepang ini. Selain produktivitasnya tinggi, katanya, di Amerika Serikat, petani kedelai mendapat subsidi besar. Karena itu produk kedelai asal AS kemudian dijual lebih murah dengan tidak membuat para petani rugi. "Sementara produk kita harganya mahal, pasti kalah bersaing. Mau dijual murah, petani yang rugi karena tidak ada subsidi dari pemerintah," katanya. Karena itu, menurut dia, sangat tidak tepat jika menghadapi kenyataan meroketnya harga kedelai saat ini, sejumlah pemerintah daerah mendorong petani untuk berbondong-bondong menanam kedelai. Menghadapai problem langkanya tempe untuk bahan baku tempe dan tahu saat ini, katanya, sudah saatnya melirik alternatif bahan baku lain yang kandungannya tidak kalah dengan tempe. Alternatif itu adalah tanaman yang cocok untuk lahan seperti Indonesia. Ia kemudian menyarankan agar masyarakat dan pemerintah menggalakkan penanaman kara dalam bahasa Jawa dibaca koro. Kara adalah tanaman yang sebetulnya sejak dulu sudah digunakan sebagai bahan baku tempe. "Mari kembali ke tempe dari kara karena dulunya masyarakat kita membuat tempe dari kara. Tempe itu asli buatan Indonesia, tapi kedelai tidak. Kedelai itu bawaan dari China yang juga dibuat tahu," katanya. Menurut dia, kasus meroketnya harga kedelai ini, tidak jauh beda dengan masalah beras. Keduanya merupakan akibat dari diseragamkannya pemenuhan bahan pangan pada satu jenis. "Padahal di Indonesia ini sangat kaya bahan pangan. Untuk beras, kan banyak varian penggantinya, seperti jagung, sagu, singkong, termasuk kara. Industri kedelai juga begitu, semua menggunakan kedelai. Begitu kedelai mahal, muncul masalah," kata dosen Fakultas Teknologi Pertanian Unej ini. Menurut dia, kandungn dalam kara tidak berbeda jauh dengan kedelai, bahkan ada jenis kara yang lebih gurih dibandingkan dengan kedelai. Dari sisi pola tanam kara lebih murah karena hampir tidak memerlukan pemupukan. Selain itu, pohonnya juga bisa tumbuh lagi setelah dibabat, tanpa menanam bibit yang baru. "Kara ini bisa tumbuh di tanah marjinal. India sudah mengembangkan tanaman kara ini dan hasilnya bagus," katanya. Karena itu, kata dia, sekarang perlu didorong untuk pembuatan tempe dari kara ini. Jenis kara ini di Indonesia ratusan, karena satu jenis saja variannya sangat banyak. Ia bercerita bahwa era 1970-an dirinya masih merasakan tempe kara. Karena semuanya fokus ke kedelai, maka tempe kara lambat laun menghilang, termasuk tempe benguk. Namun demikian ia mengakui bahwa untuk mengembangkan tempe kara saat ini memang tidak mudah karena ketersediaan bahan bakunya sangat sedikit. Karenanya hal itu seharusnya dijadikan pendorong bagi pemerintah dan masyarakat untuk menanam bahan pangan yang sesuai dengan iklim tropis. "Untung sekarang kami masih menemukan biji-biji kara dalam berbagai jenis, kalau tidak kan sayang. Kara ini memiliki banyak kelebihan dan kandungan karbohidratnya tinggi. Selain untuk tempe, banyak sekali kegunaan kara ini, seperti untuk saus, kecap, penyedap rasa, susu dan lainnya," katanya. Subagio mengakui bahwa sesuatu yang sudah ditinggalkan lama untuk diangkat lagi menjadi begitu. Namun, lewat momentum ini jutsru harus dimulai, sehingga di masa-masa mendatang, industri tempe tidak tergantung pada kedelai. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012