Oleh Edy M Ya'kub (Surabaya) - "Parahnya, anak-anak di sana bahkan tidak tahu Ibu Kota Indonesia, nama presiden, apalagi lagu kebangsaan Indonesia. Mereka tidak mengenal negaranya, Indonesia," tutur Furiyani Nur Amalia, alumni Teknik Telekomunikasi PENS, pengajar muda dalam 'Indonesia Mengajar'. Furi menceritakan pengalaman itu saat bersama tiga rekannya sesama Pengajar Muda dari ITS, yakni Dwi Lastomo, Citra Dita Maharsi Suaidy, dan Ambarwati, membagikan sedikit cerita selama mengikuti program Indonesia Mengajar kepada Pembantu Rektor IV ITS Prof Dr Drs Darminto MSc, 23 Juli lalu. Mulai dari awal penempatan, pengalaman unik sudah mereka alami. Citra dan Dwi, misalnya, sempat dicurigai oleh masyarakat Kabupaten Rote Ndau, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Saya bahkan dicurigai sebagai mata-mata pemerintah pusat," ucap Citra, alumni Teknik Lingkungan FTSP ITS 2006. Kondisi sanitasi dan lingkungan menjadi masalah tersendiri, sehingga Dwi, alumni Fisika FMIPA ITS 2005, pernah menderita malaria pada hari-hari pertamanya berada di kawasan NTT. Bukan hanya pendidikan, pemerintahan, kondisi lingkungan, telekomunikasi dan kondisi nasionalisme yang memprihatinkan, namun kawasan yang sulit diakses juga melahirkan masalah lain. Selan itu kebutuhan sehari-hari masyarakat perbatasan sebagian besar dipasok dari negeri tetangga, seperti Malaysia dan Filipina. Hal ini dialami Ambarwati dan Furi yang masing-masing ditempatkan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat dan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara. Seiring berjalannya waktu, masyarakat sangat menerima kehadiran para Pengajar Muda itu, apalagi dengan peran aktif mereka yang bukan hanya dalam bidang pendidikan, namun juga pemberdayaan masyarakat. "Ilmu yang saya dapatkan selama kuliah ternyata dapat benar-benar diaplikasikan, seperti kebiasaan masyarakat yang memasak dengan kayu sangat berbahaya bagi sistem pernapasan akibat gas CO yang dihasilkan. Bersama dengan masyarakat setempat, kami menumbuhkan kepedulian terhadap kesehatan paru-paru," katanya. Lewat mengajar siswa-siswi, mereka juga dapat menyalurkan ilmu sekaligus menanamkan pentingnya mengenyam pendidikan. Apa yang mereka ajarkan ternyata tidak sia-sia. "Akhirnya, ada lulusan dari Kabupaten Rote Ndau yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi," imbuh Dwi. Secara tidak langsung, mereka dapat terus menggali potensi yang ada untuk membantu masyarakat setempat. Mereka membantu untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, kemampuan berwirausaha, dan manajemen pendidikan di kalangan masyarakat perbatasan. 'Scholah' Unair Mengajar Gerakan "Indonesia Mengajar" itu pun menginspirasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya meluncurkan program "School of Airlangga in Harmoni (Scholah) - Unair Mengajar" di Rumah Belajar Insani, Jalan Panjang Jiwo V-A, Surabaya, 18 Januari 2012. Pada 23 Juli 2012 atau bertepatan dengan Hari Anak Nasional, para penggerak "Scholah Unair Mengajar" pun menggelar kegiatan bertema "Mimpi Kami, Anak Indonesia" di Masjid Nuruzzaman, Kampus B Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kegiatan itu berisikan acara kreatif untuk anak, yakni kegiatan mewarnai untuk anak-anak usia Taman Kanak-Kanak (TK), kegiatan menghias bingkai foto untuk anak-anak usia Sekolah Dasar (SD), teater boneka, ceramah untuk anak-anak, dan buka puasa bersama. "Di ujung acara, anak-anak itu diminta untuk menuliskan mimpi mereka untuk Indonesia di selembar kain yang nantinya dipasang di pintu masuk kampus B," ucap koordinator program 'Scholah Unair Mengajar' BEM Unair, Royan Dawud Aldian. Selama ini, belasan aktivis/pegiat BEM Unair selalu mengajarkan berbagai hal, di antaranya pembelajaran motivasi tentang berani bermimpi (life mapping), pembelajaran hidup bersih dan sehat (PHBS) tentang cuci tangan, dan lainnya. Bahkan, pembelajaran berani bermimpi diiringi dengan tayangan video film kartun tentang pentingnya mimpi untuk mewujudkan cita-cita, lalu anak-anak kampung itu diminta untuk menuliskan cita-citanya dan sebagian diminta menjelaskan atau memperagakan cita-citanya itu. "Kami juga membantu anak-anak untuk mengerjakan 'PR' (pekerjaan rumah) dari sekolahnya yang dirasakan sulit, namun sebagian anak itu tidak sekolah, karena sebagian dari mereka adalah anak-anak jalanan yang ditampung dalam 'Rumah Belajar Insani'," katanya. Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Unair itu mengakui konsep "Scholah Unair Mengajar" memang merujuk program "Indonesia Mengajar", namun "Scholah" diperuntukkan mahasiswa, sedangkan "Indonesia Mengajar" itu untuk sarjana. Selain itu, pembelajaran "Scholah" lebih bersifat motivasi, sedangkan pembelajaran "Indonesia Mengajar" bersifat formal layaknya sekolah pada umumnya. "Pengajar Scholah itu saat ini masih dari aktivis BEM, namun mereka tetap diseleksi lewat program Lentera Scholah yang bekerja sama dengan Anies Baswedan dari Indonesia Mengajar. Awalnya, program Scholah itu untuk rumah belajar di sekitar Unair," tandasnya. "Dari program 'Scholah' itu akan dikembangkan dalam program "Forum Kakak Asuh (Forkas)" yang akan melakukan "road show" dari rumah belajar atau rumah singgah di beberapa lokasi di Surabaya," katanya. Dari program "Forkas", katanya, akan dikembangkan dalam program "Pelangi Scholah" yang mengirimkan mahasiswa Unair untuk mengajar di daerah-daerah di saat liburan kampus. "Mereka didukung 'Airlangga for Education' yang merupakan program 'satu mahasiswa - satu buku' untuk disumbangkan kepada anak-anak jalanan dan anak tidak mampu," katanya. Agaknya, keterlibatan mahasiswa dalam mendidik "masyarakat perbatasan" dalam program "Indonesia Mengajar" yang menginspirasi mahasiswa Unair dalam mendidik "masyarakat dengan keterbatasan (sosial-ekonomi)" lewat program "Scholah Unair Mengajar" dapat menjadi "benteng" masyarakat perbatasan dan mereka yang serba terbatas. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012