Sumenep - Kabupaten Sumenep adalah daerah penghasil jagung tertinggi di Jawa Timur. Sesuai data di Badan Pusat Statistik (BPS) Sumenep, lahan panen jagung di Sumenep pada 2011 seluas 140.207 hektare dengan produksi sebanyak 426.229 ton dalam bentuk pipilan kering. "Hingga sekarang, produktivitas jagung di Sumenep memang sekitar tiga ton per hektare. Namun, itu sudah membuat Sumenep sebagai daerah penghasil jagung tertinggi di Jawa Timur," ujar Kabid Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Disperta) Sumenep, A Salaf Junaidi. Namun, kata Kepala Disperta Sumenep, Bambang Heriyanto, warga setempat juga seperti di daerah lainnya di Indonesia, yakni lebih suka mengonsumsi nasi (beras). Tingkat konsumsi beras per kapita di Indonesia sebanyak 139 kilogram per tahun. "Pemerintah sudah mencanangkan sejumlah program penganekaragaman bahan pangan guna mengurangi konsumsi beras pada masa mendatang. Di Sumenep terdapat potensi bahan pangan sumber karbohidrat yang besar dalam rangka menyukseskan program tersebut, yakni jagung," ucapnya. Namun, hingga sekarang, tingkat konsumsi jagung di Sumenep masih kalah dibanding beras. "Jagung dianggap makanan 'kelas dua', dan selanjutnya warga yang mengonsumsi jagung dianggap dari kalangan 'kelas dua' (kurang mampu) pula," kata Bambang. Pada 2010, tingkat konsumsi beras oleh warga Sumenep sebanyak 123,56 kilogram per kapita per tahun dan jagung sebanyak 63,41 perkilogram. "Ketimpangan antara tingkat konsumsi beras dengan jagung di Sumenep sudah terjadi sejak dulu," ujar salah seorang dosen DPK Fakultas Pertanian Universitas Wiraraja (Unija) Sumenep, Ida Ekawati. Pada 2002, kata dia, pihaknya melakukan penelitian tentang tingkat konsumsi warga Sumenep pada bahan pangan sumber karbohidrat, utamanya beras dan jagung. "Saat itu, sesuai hasil penelitian kami, komoditas beras oleh warga Sumenep terserap untuk dua kepentingan, yakni rumah tangga (untuk dimasak) dan kegiatan sosial (seperti hajatan pernikahan)," tukasnya. Sesuai hasil penelitian tersebut, konsumsi beras untuk kepentingan rumah tangga di Sumenep sebanyak 103 kilogram per tahun per kapita, sementara untuk kegiatan sosial sekitar 20 kilogram per tahun per kapita. "Kalau jagung, ternyata tingkat konsumsinya hanya sekitar 51 kilogram per tahun per kapita. Saat itu saja, perbedaan tingkat konsumsi beras dengan jagung di kalangan warga Sumenep hingga 100 persen lebih," paparnya. Sebagian warga Sumenep yang mengosumsi jagung itu pun, lebih sering mencampurnya dengan beras alias tidak jagung murni. Ida menjelaskan, saat ini pun, pihaknya meyakini pola konsumsi pangan warga Sumenep tidak berubah, alias tetap mengedepankan beras sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. "Imej jagung adalah makanan pokok bagi warga kurang mampu sudah ada sejak dulu, minimal ketika kami melakukan penelitian pada 2002 lalu. Warga Sumenep di luar Kecamatan Kota yang daerahnya merupakan penghasil jagung, merasa gengsi (malu), jika tidak makan nasi (beras)," ucapnya. Hingga sekarang, kata dia, warga Sumenep, termasuk yang berada di luar Kecamatan Kota, masih mengganggap jagung sebagai bahan pangan "kelas dua", yakni akan diolah, jika sudah tidak memiliki kemampuan untuk membeli beras. "Bahkan, jagung yang dimilikinya dijual untuk membeli beras supaya nantinya bisa makan nasi. Padahal, dengan memasak jagung pun, kebutuhan karbohidrat sudah terpenuhi," ujarnya. Ia juga mengemukakan, pola pikir yang mengedepankan nasi dibanding jagung maupun bahan pangan sumber karbohidrat lainnya, sudah merata di kalangan warga Sumenep, baik yang berada di Kecamatan Kota maupun desa (di luar Kecamatan Kota). "Untuk urusan pola pikir itu, jangankan orang desa, sebagian orang kota saja masih berpikir bahwa beras tidak bisa diganti dengan jagung. Untuk mengubah imej maupun pola pikir tentang jagung, memang tidak mudah," kata Ida yang mantan Rektor Unija Sumenep. Teladan Ida Ekawati menjelaskan, pejabat publik, mulai di level pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, harus mampu memberikan teladan bagi warga guna menyukseskan program penganekaragaman bahan pangan untuk mengurangi tingkat konsumsi beras. Setiap ada acara seremonial yang dihadiri pejabat pemerintah pusat dan provinsi maupun melibatkan orang banyak, biasanya terdapat suguhan bagi para tamu. "Saat itulah, makanan yang disuguhkan dan selanjutnya dimakan bersama, jangan nasi dan sebaiknya bahan pangan lokal, yang kalau di Sumenep, seperti jagung dan umbi-umbian yang diolah plus ikan," katanya. Kebijakan tersebut (menyuguhkan bahan pangan lokal) bisa menghilangkan imej, persepsi, maupun anggapan bahwa bahan pangan lokal adalah makanan "kelas dua", yang hanya dimakan, jika sudah tidak mampu beli beras. "Pejabat publik harus bisa mendorong sekaligus membuktikan jagung dan bahan pangan lokal itu setara dengan beras, sebagai sumber karbohidrat. Warga harus disadarkan bahwa makan jagung dan bahan pangan lokal lainnya, bukan berarti tidak mampu beli beras lagi," ucapnya. Oleh karena itu, kata dia, tindakan nyata pejabat publik untuk lebih memilih makan jagung dan bahan pangan lokal lainnya dibutuhkan supaya warga (rakyat biasa) tahu dan tidak malu untuk makan makanan serupa. "Sikap tersebut lebih efektif dibanding hanya berbicara tentang pentingnya warga mengubah pola konsumsi pangan. Sosialisasi penganekaragaman pangan yang ditindaklanjuti dengan tindakan nyata pejabat publik merupakan sebuah keharusan," tukasnya. Sementara Kabid Produksi Tanaman Pangan Disperta Sumenep, A Salaf Junaidi menjelaskan, petani setempat rata-rata lebih dulu menyimpan jagung hasil panennya untuk kepentingan sendiri (dikonsumsi), dibanding langsung menjualnya. "Namun, jagung itu disimpan sebagai cadangan pengganti beras. Artinya, petani jagung (warga di luar Kecamatan Kota) pun lebih mengedepankan nasi (beras) untuk dikonsumsi. Sebagian warga Sumenep juga lebih senang memasak beras dengan campuran jagung yang sudah digiling," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012