Jakarta - Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto menyatakan persoalan pemimpin bukan pada sistem politik atau ketatanegaraan, melainkan pada orangnya.
"Dalam sistem yang baik, bila orangnya juga lemah, kepemimpinannya tak akan baik. Begitu pula sebaliknya," kata Endriartono di Jakarta, Minggu, pada Dialog Kebangsaan "Keteladanan Pemimpin Menuju Kemakmuran Rakyat".
Pada acara yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) itu menghadirkan pula mantan Menkeu Fuad Bawazier, Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan, dan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi.
Syahganda Nainggolan menyatakan saat ini bangsa Indonesia perlu pemimpin yang ideologis.
"Ideologis bukan berarti bebas ideologi. Tetap harus ada pilihan. Pilihan keberpihakannya pada rakyat jelata," kata Syahganda.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa yang menjadi peserta itu pada sesi tanya jawab sempat menyerukan agar seluruh komponen bangsa ini melahirkan "Reformasi Jilid II" dan seruan itu disambut baik oleh Fuad Bawazier dan senyuman dari pembicara lain.
Syahganda menyayangkan pernyatan salah seorang petinggi negara yang digadang-gadang menjadi calon presiden pada Pemilu 2014 menyatakan ideologi komunis dan ateis bisa hidup di Indonesia.
"Bagaimana mungkin bisa menyatakan hal itu, komunis dan ateis sudah pasti anti-Pancasila dan anti-Islam," katanya.
Burhanuddin Muhtadi menyatakan saat ini memang perlu pemimpin ideologis dan terlepas dari kepentingan partai yang jumlahnya banyak seperti saat ini.
"Sekarang banyak partai tetapi tidak jelas ideologinya, banci, kalau banyak partai yang terjadi semua ingin 'to the center', ke tengah sehingga semua menyebut partai terbuka, nasionalis religius. Ini kan nggak jelas," katanya.
Lantaran tidak jelas, soal kapital menjadi penting sehingga poltitik tidak lagi diperjuangkan dengan ideologi yang kuat, tetapi secara transaksional.
Endriartono Sutarto menyatakan pemimpin pada hakikatnya pribadi yang dikorbankan untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
"Pemimpin bukan mengorbankan kepentingan rakyat," katanya.
Endriartono pada dialog itu membacakan makalah bertajuk "Keteladanan adalah Kunci Pemimpin yang Amanah".
"Keteladanan tak ada yang buruk, keteladanan selalu yang baik dan positif. Manusia diciptakan sebagi kalifah, tinggal seberapa perannya," katanya.
Pemimpin yang baik, kata dia, memiliki pandangan ke depan, jiwa besar, dan rendah hati, serta mewawas diri apakah yang telah dilakukan bermanfaat, berani bertindak tegas, dan peduli bagi masyarakatnya.
Ia menguraikan kondisi negeri ini yang dibilang memiliki keberhasilan ekonomi, tetapi sesungguhnya sebagian besar belum dinikmati oleh sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hukum juga belum dapat ditegakkan, terlebih ada kelompok ekstrem, dan negara tak mampu mencegah hal itu terjadi.
"Padahal negara tak boleh didikte," katanya.
Ia mencontohkan keteladanan kepemimpinan Rasulullah sebagai model ideal pemimpin.
Sementara itu, Fuad Bawazier menyatakan saat ini ada paradoks.
Fuad mengatakan bahwa rakyat dicekoki dengan berbagai klaim keberhasilan pembangunan dan kemajuan bangsa, padahal kondisi saat ini masih terbelit masalah dan belum mewujudkan kemakmuran rakyat.
"Truk macet berkilo-kilometer di Pelabuhan Merak saja hingga kini belum bisa diatasi. Bagaimana mau dibilang maju dan makmur," kata politisi Partai Hanura ini.
Ia berharap para pemimpin negeri ini bersikap jujur kepada rakyatnya dan benar-benar mau mengabdi bagi kepentingan kemakmuran rakyat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012