Barangkali, dangdut adalah musik yang tak pernah sepi dari polemik mulai dari polemik 1950-1970 yakni dangdut versus rock, lalu polemik musik kampungan (musik marjinal/tidak berpendidikan) versus musik gedongan (gedung mewah/elite/intelek). Setelah itu, tahun 1970-1990 ada polemik yang cukup menyita energi yakni musik versus kemaksiatan atau musik dakwah (Rhoma Irama) versus goyangan sensual (Inul Daratista dkk), lalu polemik dangdut dalam sekat-sekat parpol seperti PPP, PDIP, dan Golkar. Polemik akhirnya reda dengan penerimaan dangdut di kalangan elite seperti munculnya Salam Dangdut MTV, namun penerimaan terhadap musik dangdut itu pun mendorong adanya polemik era baru (1990-2010) yakni pengakuan dangdut sebagai musik Melayu (Malaysia), musik India, dan sebagainya. Serangkaian polemik itu agaknya menarik minat peneliti musik dari University of Pittsburg, Amerika Serikat, Prof Andrew Weintraub BA MA PhD, untuk meneliti dangdut, bahkan ia mendapat gelar profesor dari penelitian tentang dangdut itu. "Saya memulai studi musik tahun 1984, tapi karena universitas saya mengharuskan kami meneliti musik tradisional, maka saya meneliti angklung atau gamelan Jawa Barat, meski saya sendiri belum tahu Indonesia itu di mana," ucapnya, tersenyum. Ia mengemukakan hal itu dalam peluncuran bukunya bertajuk "Dangdut; Musik, Identitas dan Budaya Indonesia" di Aula Fisip Unair Surabaya (30/4/2012) yang juga menampilkan Rachmah Ida M Comms PhD (pakar komunikasi Unair) dan Sholehuddin SH MH (Wakil Ketua I PAMMI Jatim). "Yang jelas, saya tertarik dengan Indonesia dari musiknya, hingga akhirnya saya mendapat kesempatan dari universitas untuk jalan-jalan selama tiga bulan di Indonesia, sehingga menjadi tahu banyak kebudayaan Indonesia, seperti gamelan, wayang, pantun, dan sebagainya," tuturnya. Tahun 1980-an, dirinya mulai tertarik dengan dangdut. "Kalau malam hari, saya suka mendengarkan musik dangdut dari Evi Tamala, Rhoma Irama, Elvi Sukaesih. Akhirnya saya berkesempatan meneliti dangdut setelah lulus program doktoral, karena untuk profesor itu bebas memilih topik," tukasnya. Berbekal kesukaan pada dangdut, ia pun melakukan penelitian sekaligus memperkenalkan musik dangdut kepada mahasiswa dan intelektual di Amerika. "Tahun 2005, saya mulai mengumpulkan data ke seluruh dataran Jawa dan Sumatera, karena dangdut semula memang belum menyeluruh atau menasional," ujarnya. Penelitian pun tuntas dalam bentuk buku bertajuk "Dangdut Stories" pada tahun 2010. "Saya fokus pada polemik yang ada dalam dangdut, seperti pro-kontra Rhoma Irama dan Inul Daratista dkk, polemik dangdut, Melayu, dan India, lalu saya membanding-bandingkan semuanya," kilahnya. Buku setebal 300-an halaman itu juga menyoroti musik dangdut sebagai identitas Indonesia ketika almarhum Mensesneg Moerdiono melontarkan dangdut sebagai musik nasional pada tahun 1990-an. "Dangdut itu identik dengan suatu negara, apa begitu? Saya tanya kepada Maluku, tentu tidak, tapi dangdut sekarang sudah ada di Maluku hingga Papua, bahkan sekarang ada orkes dangdut di Papua. Jadi, musik itu ada hubungan dengan identitas budaya suatu bangsa," ucapnya. Untuk menunjang penelitiannya, profesor yang memiliki istri dari India itu mencantumkan transkrip lagu dangdut berjudul Stop, Mandi Madu, Termenung, dan sebagainya sebagai bahan analisa. "Saya juga mewawancari Ida Laila, A Rofiq, A Kadir, Rhoma Irama, dan sebagainya," tandasnya. Bukan Malaysia-India Di hadapan puluhan mahasiswa Program Studi Media dan Komunikasi Unair, Prof Andrew Weintraub BA MA PhD menegaskan bahwa dangdut merupakan musik asli dari Indonesia, bukan dari Malaysia atau India. "Ada yang bilang dangdut itu dari Malaysia karena ada unsur Melayu, atau ada juga yang bilang dari India karena ada unsur India-nya, tapi saya sudah meneliti sejak 1984 dan ternyata sifat dangdut itu khas Indonesia," tuturnya. Ia mengaku lagu dangdut berjudul "Termenung" memiliki kesamaan dengan musik dari sebuah film India yang diproduksi pada tahun 1957, tapi lirik lagunya sangat khas Indonesia, meski ada unsur India-nya. "Jadi, dangdut itu memang asli Indonesia, karena ada sifat khas Indonesia yang tidak ditemukan dari musik Melayu dan India, di antaranya tema lagu yang dekat dengan kehidupan orang Indonesia," ungkapnya. Selain itu, kata profesor yang suka angklung, gamelan, dan wayang itu, dangdut itu tidak sama dengan Melayu, karena Melayu di Indonesia ada di dataran Sumatera, tapi dangdut justru bermula dari Jawa. "Karena itu, penelitian saya menyimpulkan dangdut itu musik asli Indonesia yang dibuat orang Indonesia dan untuk orang Indonesia, bukan musik India, Malaysia, Amerika, atau yang lain," paparnya. Bahkan, katanya, dangdut yang bermula dari Jawa itu sekarang sudah menasional, sehingga ada Dangdut Minang, Danggut Banjar, Dangdut Koplo, Dangdut Remix, dan sebagainya hingga ke Maluku dan Papua. Sejak menasional pada tahun 1990-an, menurut dia, dangdut bukan lagi menjadi musik rakyat yang marginal, tapi juga sudah disukai di kalangan elite. "Sekarang ada kafe dangdut, seperti Rasa Sayang, King, Planet," tegasnya. Oleh karena itu, ia menantang para pengkritik yang memandang dangdut sebagai musik rakyat marginal yang bermukim di tempat kumuh, karena liriknya tidak edukatif dan vulgar. "Saya berani bilang mereka apatis, mereka mengkritik tapi tidak tahu apa yang dikritik," urainya, sembari meminta para pengkritik untuk menyimak hasil penelitiannya tentang dangdut itu. Senada dengan itu, pakar komunikasi Unair Rachmah Ida M Comms PhD menyatakan berawal dari kata "dang" dan "dut" yang merupakan bunyi dari gendang sebagai alat musik khas dalam irama dangdut. "Awalnya, dangdut nggak diramaikan, tapi ketika dangdut sekarang sudah 'besar' mulai ada yang mengakui, seperti Malaysia dan India. Mungkin ada kemiripan, tapi dangdut itu bukan Melayu, melainkan dari Jawa," katanya. Selain itu, dangdut juga dipolemikkan dalam dikhotomi "kampungan" dan "gedongan", tapi dangdut sekarang sudah disukai siapa saja. "Sejak ada Salam Dangdut MTV pada tahun 2004, lalu dangdut pun masuk stasiun televisi. Jadi, dangdut itu bukan marginal, melayu, atau sensualitas," tukasnya. (*)

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012