Oleh Slamet Agus Sudarmojo
Bojonegoro - Warga di sepanjang bantaran Bengawan Solo di daerah hilir Jatim, mulai Bojonegoro, Tuban dan Lamongan yang biasa menjadi langganan banjir luapan sungai terpanjang di Pulau Jawa itu, terutama orang tua, memiliki ilmu "titen" (hapal), mencermati banjir.
Caranya, kebiasaan yang diperoleh dari rutinitas kejadian banjir yang selalu berulang beberapa kali pada musim hujan, dan berulang kembali pada tahun selanjutnya, bisa menjadi ancar-ancar untuk memperhitungkan banjir yang terjadi.
"Kalau airnya mulai 'umprik' (naik), aliran cukup deras dengan membawa banyak berbagai aneka sampah, berarti banjirnya besar," kata seorang warga Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk, Wardiyono.
Hal senada disampaikan seorang warga Desa Ledokkulon, Kecamatan Kota, Sony Harsono, yang kediamannya hanya puluhan meter dari Bengawan Solo. Menurut dia, sampah yang selama ini biasa terbawa arus air Bengawan Solo, mulai pohon bambu, sampah rumah tangga, limbah pertanian, juga sampah lainnya.
"Kalau dulu sampah yang hanyut ada kayu jatinya, tapi kalau sekarang sudah tidak ada lagi, sebab hutannya sudah gundul," ungkap Ny Muntoro, warga yang masih sedesa dengan Sony Suharno, menambahkan.
Sebagaimana diungkapkan Sony, kalau air Bengawan Solo di daerah setempat mulai naik dan sampahnya tidak terlalu banyak, warga masih tetap santai. Namun, warga mulai meningkatkan kewaspadaanya, kalau air luapan Bengawan Solo mulai masuk pekarangan rumah.
Itupun, lanjutnya, tidak ada di dalam benak warga untuk mengungsi dan warga hanya sebatas mengamankan barang-barangnya ke tempat yang lebih tinggi terlebih dulu, sambil menunggu perkembangan situasi naik turunnya air banjir.
Justru, kebiasaan warga mengungsikan dulu ternaknya ke lokasi yang kemungkinan tidak terjamah banjir, sebelum mereka sendiri terpaksa harus mengungsi karena air banjir terus meninggi.
"Sebagian besar warga di daerah banjir memiliki 'umpak' (tempat tinggi) untuk mengamankan barang, termasuk membuat perahu dari gedebog pisang. Tapi, kalau keluarga kami memanfaatkan tong untuk mengamankan barang, sebab bisa mengikuti naik turunnya air," papar Sony, menjelaskan.
Sebagaimana diungkapkannya, sebenarnya warga yang biasa menjadi langganan banjir sudah memiliki perkiraan kapan waktunya mengungsi, dan kapan masih tetap harus bertahan di rumah.
"Dalam kejadian banjir besar awal 2008, menjadi ribut karena banjir menyerbu kota, yang berteriak-teriak warga di dalam kota yang tidak terbiasa menghadapi banjir. Tapi, warga yang ada di daerah genangan banjir, biasa-biasa saja," terangnya.
Seperti juga diungkapkan seorang petugas PMI Cabang Bojonegoro, Ali Sya'faat, dalam mengungsikan ternak sapinya, warga memiliki berbagai macam cara. Terutama warga yang berada di utara Bengawan Solo, mulai Desa Sranak, Tulungrejo, Sranak, Trucuk di Kecamatan Trucuk, dalam kondisi tertentu, sapinya dipaksa berenang menyeberangi Bengawan Solo yang sedang meluap.
Warga, lanjutnya, bekerja berombongan dalam mengungsikan sapinya. Caranya sejumlah sapi, bisa lima sampai enam ekor, dirangkai menjadi satu secara berurutan dan pemiliknya naik di atas perahu, kemudian sapi diajak menyeberang Bengawan Solo.
"Warga di sejumlah desa itu lebih memilih mengungsi ke selatan, karena jaraknya lebih dekat dibandingkan ke arah utara," paparnya, mengambarkan.
Ali yang biasa melakukan evakuasi warga korban banjir memiliki pengalaman, dalam kejadian banjir besar pada awal 2008. Di tengah perjalanan menyisir pemukiman warga yang terendam air banjir dengan ketinggian satu sampai tiga meter, ditemui sejumlah warga yang mengungsi di atas pohon, dengan sapinya.
"Warga baru mau saya ajak mengungsi, dengan catatan sapinya juga ikut diajak mengungsi," ucapnya, sambil tersenyum.
Menurut dia, dalam kejadian banjir besar, tidak mudah mengajak warga yang berada di daerah genangan banjir untuk mengungsi, sebab mereka sudah memiliki perhitungan sendiri-sendiri dalam mengamankan diri menghadapi banjir.
"Banyak yang tetap bertahan di rumahnya masing-masing, bekerja secara gotong royong untuk mendapatkan makanan termasuk mendapatkan air bersih, dengan mencari air di persawahan yang juga tergenang banjir," tuturnya, mengungkapkan.
Masih Selalu Terjadi
Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo yang memiliki luas 16.100 kilometer persegi, di antaranya Sub DAS Bengawan Solo Hilir memiliki luas 6.273 kilometer persergi dengan panjang 300 kilometer, masih selalu menimbulkan banjir pada musim hujan.
Di daerah hilir mulai Bojonegoro, Tuban dan Lamongan, banjir luapan Bengawan Solo masih selalu terjadi akibat palung sungai hanya mampu menampung air berkisar 900-1.200 meter kubik per detik, sedangkan debit banjir bisa mencapai kisaran 3.000-3.500 meter kubik per detik.
Dengan demikian, ada sekitar 2.000 meter kubik per detik, air Bengawan Solo yang meluap dan menggenangi pemukiman warga, areal pertanian, juga prasarana dan sarana umum. Pada banjir tahun 2009 yang merupakan banjir dengan skala besar, luapan Bengawan Solo meredam 155 desa yang tersebesar di 15 kecamatan, dengan jumlah warga yang terendam air banjir mencapai 24.966 unit yang dihuni 32.961 kepala keluarga (118.529 jiwa), di antaranya tercatat 23.058 jiwa yang mengungsi.
Pemkab memperkirakan kerugian banjir mencapai Rp267,2 miliar lebih, yang disebabkan rusaknya areal tanaman padi seluas 10 ribu hektare, dan kerusakan puluhan rumah warga, prasarana dan sarana umum. Selain itu, selama banjir terjadi, tiga warga di daerah genangan banjir meninggal.
"Pada musim hujan tahun ini, Bengawan Solo dua kali menimbulkan banjir, tanpa menimbulkan korban jiwa," kata Kasi Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, Sutardjo, menjelaskan.
Hanya saja, sebagaimana dikatakan Sutardjo, banjir yang terjadi selama musim hujan tahun ini tergolong banjir kecil, sebab ketinggian air Bengawan Solo pada papan duga di Bojonegoro tertinggi hanya mencapai 14,49 meter (siaga II), dengan jumlah kerugian mencapai Rp8 miliar lebih.
Di daerah setempat, BPBD mencatat, selain banjir Bengawan Solo, kejadian bencana banjir bandang dari anak sungai Bengawan Solo juga selalu terjadi dengan jumlah rata-rata 14 kali di lokasi yang berbeda setiap tahunnya.
Mengenai sarana pengendali banjir luapan Bengawan Solo, menurut Kasi Operasi Unit Pengelola Sumber Daya Air Wilayah Bengawan Solo di Bojonegoro, Mucharom, selain tanggul kanan dan kiri, juga sudetan di Plangwot-Sedayu Lawas, Lamongan yang mampu memotong puncak banjir sekitar 640 meter kubik per detik.
"Sepanjang sudetan berfungsi normal, ketika terjadi banjir air bisa dengan cepat surut," ucapnya.
Menghadapi kondisi banjir yang masih terjadi di masa mendatang, sebagaimana disampaikan Bupati Bojonegoro, Suyoto konsep dalam menghadap bencana banjir di daerahnya yaitu mengulirkan konsep "living harmony flood" atau hidup harmonis dengan banjir.
Dalam mengembangkan konsep tersebut, di antaranya olahraga renang, masuk dalam kurikulum lokal di semua lembaga pendidikan yang ada mulai SD, SMP, hingga SLTA, sejak dua tahun lalu.
Ia memberikan gambaran, dari penelusuran yang dilakukan, dalam beberapa kali kejadian pelajar tenggelam baik dalam kejadian perahu tenggelam atau mandi di Bengawan Solo, semuanya karena tidak bisa berenang. "Semua pelajar di Bojonegoro, wajib bisa renang," ujarnya, menegaskan.
Lainnya, kata Kepala Bagian Administrasi Perlengkapan Pemkab, Nuzulul Hudaya dengan membangun gedung pengungsi korban banjir Bengawan Solo. Pemkab sudah menyiapkan tanah seluas 1,8 hektare di Desa Trucuk, Kecamatan Trucuk dengan memperhitungkan jumlah warga yang mengungsi di wilayah utara Bengawan Solo lebih banyak dibandingkan dengan di wilayah selatan.
Hanya saja, lanjutnya, realisasi pembangunan gedung pengungsi korban banjir yang dijanjikan Balai Besar Bengawan Solo di Solo, Jateng itu, belum ada kejelasan. "Harapan kami, pembangunan gedung bisa dilaksanakan secepatnya," katanya, berharap.
Berdasarkan rencana awal, gedung dilengkapi dapur umum, wc umum dan berbagai keperluan pengungsi lainnya, seperti pusat belanja.
"Kalau musim kemarau, gedung bisa dimanfaatkan untuk keperluan hajatan warga," tukasnya.
Ia menjelaskan, gagasan pembangunan gedung lokasi pengungsi tersebut, dengan pertimbangan masyarakat korban banjir Bengawan Solo harus bisa hidup berdampingan dengan bencana banjir, tanpa terganggu aktivitasnya.
"Pembangunan gedung lokasi pengungsi merupakan salah satu penanganan korban banjir Bengawan Solo, di samping program pengendalian banjir Bengawan Solo lainnya," katanya, menjelaskan.
Seperti yang juga disampaikan Sekretaris PMI Cabang Bojonegoro, Sukohawidodo, pihaknya bekerja sama dengan Palang Merah Norwegia, berusaha memberdayakan warga di Desa Sarirejo, Pilanggede dan Mulyorejo, Kecamatan Balen yang biasa menjadi langganan banjir Bengawan Solo.
Caranya, lanjutnya, dengan melibatkan 30 korp sukarelawan (KSR) PMI yang sudah mendapatkan pelatihan dalam menanggulangi bencana banjir. Mereka bertugas mendampingi warga setempat, dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana banjir, mulai sebelum terjadi banjir, mempersiapkan lokasi pengungsian dan melatih warga tetap bisa mengerjakan pekerjaan yang produktif selama banjir berlangsung.
Sebab, lanjutnya, selama ini, tiga desa itu merupakan daerah yang awal terendam air banjir Bengawan Solo dan selalu luput dari pemantauan tim penanggulangan bencana, sehingga jarang menerima bantuan. Selain itu, selama banjir berlangsung, warga di daerah setempat hanya menganggur.
"Program pemberdayaan warga hidup harmonis dengan banjir ini, kami rencanakan selama dua tahun," katanya, menjelaskan.
Menurut dia, konsep pemberdayaan masyarakat korban banjir tersebut, setelah menemukan hasil, akan dibukukan dan dilaporkan kepada Pemkab Bojonegoro, untuk dikembangkan kepada warga lainnya yang bisa menjadi langganan banjir.
"Itu harapan kami, program hidup harmonis dengan banjir ini, bisa dikembangkan ke desa lainnya di Bojonegoro," ujarnya, dengan nada penuh harap.(blok_cepu2007@yahoo.co.id) (*).
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012