Presiden Prancis Emmanuel Macron dijadwalkan mengumumkan penunjukan perdana menteri baru pada Jumat pagi waktu setempat, sebagaimana dikonfirmasi Istana Elysee.
Keputusan ini muncul setelah Macron melewatkan tenggat waktu yang ia tetapkan sendiri pada Kamis (12/12), karena masih melakukan konsultasi untuk memfinalisasi pilihannya.
Komunike terkait pengumuman perdana menteri akan dipublikasikan Jumat pagi, menurut sumber yang dekat dengan presiden, tak lama setelah ia kembali dari kunjungan ke Polandia.
Perdana menteri yang baru akan menghadapi tantangan mendesak untuk merundingkan kesepakatan parlementer guna menghindari mosi tidak percaya dan memastikan pengesahan anggaran 2025.
Penundaan oleh Macron ini menyoroti kesulitan politik yang dihadapinya, dengan tingkat persetujuan publik berada pada titik terendah sebesar 21 persen, menurut survei Elabe yang dirilis Kamis.
Survei tersebut menunjukkan berkurangnya kepercayaan dari para pendukungnya, dengan hanya 57 persen dari mereka yang memilihnya pada putaran pertama pemilihan presiden 2022 menyatakan keyakinan pada kemampuannya untuk menangani tantangan Prancis, turun dari 91 persen pada Mei 2022.
Kandidat potensial
Di tengah popularitas Macron yang anjlok, Francois Bayrou, seorang tokoh veteran politik sentris yang disebut sebagai kandidat potensial perdana menteri, mengalami peningkatan tingkatan dukungan yang signifikan, menurut laporan L’Express.
Survei menunjukkan citra positif Bayrou naik 8 poin menjadi 29 persen, menempatkannya di urutan ketujuh dalam daftar tokoh politik dengan tingkat popularitas tertinggi.
Kandidat lainnya adalah mantan perdana menteri Bernard Cazeneuve, yang mengalami kenaikan 5 poin menjadi 28 persen, serta Edouard Philippe, mantan perdana menteri lainnya, yang tetap menjadi tokoh politik paling populer dengan tingkat persetujuan 41 persen.
Ketidakstabilan politik sejak Juni
Prancis telah dilanda gejolak politik sejak Juni, ketika blok sentris Macron gagal meraih kemenangan, dan partai sayap kanan National Rally (RN) memenangkan pemilu Parlemen Eropa.
Sebagai tanggapan, Macron menyerukan dua putaran pemilu legislatif dini pada 30 Juni dan 7 Juli.
Hasil pemilu menunjukkan tidak ada partai yang berhasil meraih 289 kursi, ambang batas untuk mencapai mayoritas absolut di Majelis Nasional.
Aliansi sayap kiri Front Rakyat Baru (NFP) memenangkan suara dan kursi terbanyak di parlemen pada putaran kedua dan bersikeras bahwa perdana menteri harus berasal dari aliansi mereka.
Namun, NFP gagal segera mencalonkan kandidat konsensus untuk posisi tersebut.
Setelah beberapa pekan perselisihan internal, NFP mencalonkan Lucie Castets sebagai perdana menteri pada 23 Juli.
Akan tetapi, Macron menolak kandidat sayap kiri dan menyatakan tidak akan menunjuk perdana menteri hingga pertengahan Agustus setelah Olimpiade Paris.
Macron menghadapi kritik karena menunda proses tersebut, yang memperburuk ketidakstabilan setelah menerima pengunduran diri Perdana Menteri Gabriel Attal pada 16 Juli, setelah sebelumnya menolaknya pada 8 Juli.
Pada 5 September, Macron akhirnya menunjuk Michel Barnier, seorang politisi kanan tengah, mantan komisaris Eropa, dan mantan menteri luar negeri, sebagai perdana menteri. Namun, pemerintahan Barnier menjadi yang pertama terjungkal akibat mosi tidak percaya sejak 1962.
Sumber: Anadolu
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024