Cuaca tampak begitu cerah di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada sekitar pukul 13.00 WIB, 17 September 2024. 

Sang Mahameru, saat itu terlihat dari berbagai penjuru desa. Puncak gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (dpl) itu diselimuti awan putih, memancarkan pesona keindahan.

Di sisi selatan tenggara Gunung Semeru, Rukmini berjalan menyusuri jalanan beton yang belum lama dicor di Perumahan Bumi Semeru Damai. Jilbab bercorak cerah yang menutupi kepalanya melambai-lambai diterpa angin.  

Tubuhnya yang ringkih berbalut kaos lengan panjang berpadu celana training berwarna hijau yang sudah lusuh. Perempuan berusia 57 tahun itu melangkahkan kakinya ke arah hutan.

“Saya mau mencari kayu bakar,” katanya lirih.

Rukmini mengaku baru saja pulang, usai menggarap ladang tebu di Desa Jarit, sekitar 15 kilometer dari tempat tinggalnya yang telah ditempati selama dua tahun terakhir di Perumahan Bumi Semeru Damai.

Mencari kayu bakar telah menjadi aktivitas kesehariannya selama bertahun-tahun sepulang berladang, bahkan sejak sebelum menempati rumah barunya di Perumahan Bumi Semeru Damai.  

Pekerjaannya di ladang tebu juga baru ditekuni bersama suami tercinta Sukarman, selama dua tahun terakhir.

Sebelumnya suami-istri yang belum dikaruniai anak ini menggarap lahan singkong milik keponakannya di kawasan tempat tinggalnya yang lama, Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang.  

Lahan singkong seluas setengah hektare, beserta tempat tinggal keluarganya, di Dusun Kajar Kuning, telah tertimbun awan panas guguran Gunung Semeru yang longsor pada 4 Desember 2021.

Sukarman baru pulang dari rumah sakit usai menjalani operasi penyakit hernia saat bencana awan panas guguran itu melanda pada sore yang dalam sekejap menjadi gelap gulita.

Dengan langkah tertatih-tatih Rukmini sekuat tenaga membantu suaminya yang kini berusia 58 tahun itu demi menghindari amukan guguran awan panas Semeru, hingga akhirnya bertemu para penyintas lainnya dan kemudian dibawa ke pengungsian Balai Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro.      

Bencana tersebut menewaskan 51 warga dari sejumlah dusun di Kecamatan Candipuro dan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Sebanyak 169 warga lainnya mengalami luka-luka, serta masih menyisakan duka mendalam karena 22 jiwa hingga kini dinyatakan hilang yang diduga tertimbun awan panas guguran Gunung Semeru.  
Tanda evakuasi terpampang di salah satu sudut jalan Perumahan Bumi Semeru Damai di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. (ANTARA/Hanif Nashrullah)

Mitigasi bencana

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kalaksa BPBD) Kabupaten Lumajang Patria Dwi Hastiadi mengenang tragedi guguran awan panas Gunung Semeru pada 4 Desember 2021, sekaligus menjadi era baru bagi mitigasi atau pencegahan korban yang dipetakan secara modern di kawasan setempat.

“Karena sebagai gunung berapi, tidak sekali ini saja Gunung Semeru memuntahkan awan panas guguran,” katanya, saat ditemui di Pendopo Pemerintah Kabupaten Lumajang pada Selasa, 17 September 2024 malam.

Tercatat Gunung Semeru sebelumnya juga pernah menyemburkan awan panas guguran yang menelan banyak korban jiwa di tahun 1977. Saat itu Presiden Soeharto sampai turun ke kawasan Gunung Semeru untuk memimpin pemetaan mitigasi demi meminimalkan korban jiwa seandainya bencana serupa kembali terjadi.

Saat Gunung Semeru kembali memuntahkan guguran awan panas yang tidak kalah dahsyatnya pada penghujung tahun 2021, Presiden Joko Widodo pun turun langsung ke lokasi bencana.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) kemudian mengumumkan hasil kajiannya yang menyatakan karakteristik Semeru berbeda dengan gunung berapi lainnya di Indonesia.

PVMBG menyebut erupsi pada Gunung Semeru terjadi berkali-kali dalam skala kecil setiap harinya dari kawah Jonggring Saloko.

Letupannya yang terjadi berkali-kali setiap hari di gunung tertinggi di Pulau Jawa itu menumbuhkan kubah lava yang semakin menebal di salah satu kawah Semeru yang masih aktif itu.

Karakteristik dari fenomena gunung berapi yang satu ini membuat sang Mahameru semakin menjulang tinggi setiap tahunnya. Namun sewaktu-waktu kubah lava dari kawah Jonggring Saloko bisa menimbulkan awan panas guguran yang membahayakan jiwa para penduduk di sekitarnya.

Material vulkanis dari proses erupsi Gunung Semeru yang terjadi setiap hari juga kerap mengalirkan banjir lahar dingin.

Selain mengancam keselamatan jiwa, berkali-kali banjir lahar dingin yang turun bersamaan dengan hujan intensitas tinggi telah menghancurkan berbagai infrastruktur jembatan, sehingga memutus akses transportasi bagi masyarakat di sekitar Gunung Semeru.

Untungnya, menurut kajian PVMBG, aliran lahar yang terjadi selama bertahun-tahun telah membuat jalurnya sendiri di sisi selatan Gunung Semeru. Diyakini Gunung Semeru tidak akan membuat jalur lahar yang baru selain di sisi selatan tersebut.

Maka PVMBG memetakan sisi selatan Gunung Semeru adalah zona merah yang dinyatakan berbahaya untuk segala aktivitas manusia, apalagi dihuni penduduk.


Huntara dan huntap
 
Selanjutnya menjadi tugas BPBD Kabupaten Lumajang untuk mengevakuasi sekaligus merelokasi penduduk yang selama bertahun-tahun secara turun temurun telah menghuni dan beraktivitas di sisi selatan Gunung Semeru.

Nyatanya, para penduduk dari sisi selatan Gunung Semeru itulah yang terdampak parah bencana awan panas guguran pada 4 Desember 2021.

Mereka adalah warga dari berbagai dusun di Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro dan Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, yang jarak tempat tinggalnya berkisar antara 8 hingga 15 kilometer dari puncak Gunung Semeru.

Terdata jumlah warga di dua kecamatan yang telah ditetapkan sebagai zona merah kawasan Gunung Semeru itu sebanyak 1.951 kepala keluarga (KK).

Pemerintah pun memutuskan untuk membangun unit rumah relokasi sebanyak jumlah KK yang akan dievakuasi tersebut.

Lokasi evakuasi dan relokasinya ditetapkan di lahan seluas 82 hektare milik Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani), kawasan Desa Sumbermujur, yang sebelumnya difungsikan sebagai perkebunan teh.

Jaraknya lebih dekat dari puncak Gunung Semeru, yaitu sekitar 6 kilometer. Namun PVMBG menyatakan sebagai zona aman karena berlokasi di sisi selatan tenggara Gunung Semeru yang secara historis tidak pernah dilewati sebagai jalur lahar.

Selama masa 14 hari tanggap darurat pascabencana awan panas guguran Semeru di pengujung tahun 2021, berbagai pihak lintas sektor dari pemerintah maupun swasta, yang juga didukung lembaga swadaya masyarakat, bahu membahu membangun hunian sementara (huntara) di kawasan ini agar para penyintas segera dipindahkan dari tempat-tempat pengungsian.

Di lahan yang sama, setelah masing-masing unit huntara berdiri, tepat di sebelahnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kemudian membangun hunian tetap (huntap).  

Masing-masing unit huntara dan huntap berdiri di lahan seluas 6 x 14 meter. Sebanyak 1.951 KK yang telah terdata sebagai penyintas, masing-masing memperoleh satu unit secara cuma-cuma atau gratis yang terdiri dari huntara dan huntap berdasarkan Surat Keputusan Bupati Lumajang.  

Saat ini dapat dibedakan huntara adalah bangunan semi permanen yang kini oleh penyintas atau penghuninya difungsikan sebagai dapur, sedangkan bangunan huntap telah permanen terdiri dari ruang tamu dan dua kamar tidur.

Kalaksa BPBD Lumajang Patria Dwi Hastiadi menyebut bangunan huntara dan huntap telah rampung dibangun seluruhnya sebanyak 1.951 unit dalam kurun waktu selama delapan bulan sejak terjadinya bencana awan panas guguran Semeru. Pemerintah Kabupaten Lumajang memberinya nama Perumahan Bumi Semeru Damai.

Setiap KK penyintas yang menempati Perumahan Bumi Semeru Damai hanya perlu menanggung biaya token atau pulsa listrik, yang per bulan rata-rata sekitar Rp80 ribu.

Sementara kebutuhan air bersih ke tiap rumah dialirkan dari sumber Gunung Semeru secara gratis.

Sudah ada instalasi pengolahan air limbah untuk menangani sampah di Perumahan Bumi Semeru Damai.

Infrastruktur sekolah mulai dari pendidikan anak usia dini hingga setingkat madrasah aliyah (MA) tersedia bagi anak-anak penyintas.

Selain itu, juga telah berdiri toko swalayan untuk memenuhi kebutuhan pokok di lingkungan Perumahan Bumi Semeru Indah.

“Tapi memang tidak mudah mengevakuasi warga untuk pindah dari tempat tinggalnya yang lama. Para penyintas ini kebanyakan malah tetap tinggal di pengungsian yang didirikan di balai-balai desa selama setahun lebih, meski beberapa bulan sebelumnya telah menerima SK Huntara dan Huntap,” ucap Patria.
Jembatan Mujur II di Desa Kloposawit, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, kembali dibangun setelah dua kali ambrol dalam kurun waktu dua tahun terakhir akibat banjir lahar dingin Semeru. (ANTARA/Hanif Nashrullah)

Kehidupan baru

Rukmini mengakui awalnya lebih senang tinggal di pengungsian Balai Desa Penanggal, daripada menempati rumah baru di Perumahan Bumi Semeru Damai.

"Satu tahun lebih saya tinggal di pengungsian, sebelum akhirnya bersedia pindah ke rumah ini," katanya.

Kesediaan para penyintas untuk akhirnya rela pindah ke Perumahan Bumi Semeru Damai melalui negosiasi panjang, salah satunya mereka mengajukan syarat agar lahan dan tempat tinggalnya yang lama mendapat jaminan tidak diambil alih pemerintah.

Kepala Desa Sumbermujur Lumajang Yayuk Sri Rahayu menjelaskan syarat itu diajukan karena tidak seluruh lahan dan rumah-rumah penduduk yang telah ditetapkan sebagai zona merah terdampak parah dari bencana awan panas guguran Gunung Semeru.

Contohnya di Dusun Curah Kobokan dan Kajar Kuning, mayoritas rumah-rumah penduduk telah tertimbun awan panas guguran sehingga sudah tidak bisa dihuni.

Namun sebagian lahan di dua dusun itu masih bisa difungsikan untuk berkebun dan bertani.

Maka penyintas asal Dusun Curah Kobokan dan Kajar Kuning menjadi penduduk gelombang pertama yang menempati Perumahan Bumi Semeru Damai.

Selama dua tahun terakhir mereka menjalani rutinitas setiap pagi berangkat kerja menggarap lahan di dusun tempat asalnya dan kemudian sore hingga malam pulang ke Perumahan Bumi Semeru Damai.

Berbeda dengan para penyintas asal Dusun Kebondeli Utara dan Selatan. Sejak awal terjadi bencana awan panas guguran Gunung Semeru pada 4 Desember 2021, mereka sama sekali tidak terdampak.

Rumah-rumah penduduk masih utuh dan bisa ditinggali. Selain itu lahan kebun serta pertaniannya tetap subur. Hanya saja Dusun Kebondeli Utara dan Selatan terkena zona merah.

Maka penyintas asal dua dusun itu lebih sering menempati rumah di Bumi Semeru Damai, cuma satu bulan atau seminggu sekali.

Sementara pemerintah masih menoleransi warga Dusun Kebondeli Utara dan Selatan yang masih nekat menjalani aktivitas kesehariannya di kawasan zona merah tersebut.

"Memang tidak bisa langsung meminta mereka untuk tinggal di Perumahan Bumi Semeru Damai. Karena di sana masih ada harapan untuk mencari rezeki, sekaligus menempati rumahnya karena lebih dekat dengan tempat kerjanya," ujar Yayuk.

Maklum, jarak dari Dusun Kebondeli Utara dan Selatan,  begitu juga Curah Kobokan maupun Kajar Kuning, yang semuanya berlokasi di Desa Sumburwuluh itu mencapai sekitar 13 kilometer dari Perumahan Buni Semeru Damai di Desa Sumbermujur. 

Dirasa terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki yang telah menjadi kebiasaan warga setempat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. 

Selain itu tidak semua warga memiliki sepeda motor. Kalaupun ada yang memiliki sepeda motor, harus menyisihkan uang bensin minimal Rp18 ribu rupiah untuk sekali jalan pulang dan pergi, yang dirasa berat bagi warga setempat.
Perumahan Bumi Semeru Damai di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang. (ANTARA/Hanif Nashrullah)

Semeru membagi rezeki

Pemerintah Kabupaten Lumajang menjadikan Perumahan Bumi Semeru Damai sebagai laboratorium penyintas bencana.

"Perumahan Bumi Semeru Damai menjadi salah satu percontohan di Indonesia, mengingat masih banyak penyintas bencana di daerah lain gagal dipindahkan dari tempat tinggal asalnya yang berbahaya menuju ke zona aman," kata Kalaksa BPBD Lumajang Patria Dwi Hastiadi.

Diyakini para penyintas secara perlahan akan memindahkan kehidupan sosial, budaya, hingga mata pencahariannya dari tempat tinggal lama ke lokasi hunian tetapnya yang baru di Perumahan Bumi Semeru Damai.

Terlebih lokasi hunian tetapnya kini lebih dekat dengan puncak Gunung Semeru yang selama ini selalu menyediakan rezeki kepada penduduk sekitar.

Muntahan laharnya selalu menyuburkan lahan pertanian dan perkebunan yang dapat dikelola warga.

Sebagaimana Rukmini yang siang hari itu berjalan menuju ke arah hutan dari Perumahan Bumi Semeru Damai di bawah sengatan matahari yang tidak begitu terik.

"Selain mencari kayu bakar untuk memasak. Banyak tumbuhan liar di hutan yang bisa dipetik untuk dibuat sayur. Salah satunya adalah sayur pakis," ujarnya.

Di sisi lain, aktivitas vulkanik Semeru yang selalu terjadi setiap hari menghasilkan material pasir berkualitas tinggi yang dapat ditambang untuk pembangunan.

Rukmini terkenang suaminya Sukarman sebelum mengidap penyakit hernia pernah bekerja sebagai penambang pasir saat tinggal di Dusun Kajar Kuning.

Upahnya Rp350 ribu yang biasanya dibagi dengan dua hingga empat rekan penambang lainnya asal dusun setempat untuk memindahkan pasir Semeru ke sebuah mobil truk.

Per hari bisa memindahkan pasir ke sebanyak empat mobil truk. Sehingga setiap hari pulang ke rumah bisa membawa pulang uang minimal lebih dari Rp100 ribu.

Namun kondisi Sukarman melemah meski telah menjalani operasi penyakit hernia. Sehingga kini bekerja di ladang tebu di Desa Jarit bersama Rukmini dengan upah masing-masing Rp40 ribu per hari.

"Ladangnya jauh di Desa Jarit. Kami berboncengan naik motor berangkat sebelum jam 6 pagi dan pulang jam 12 siang. Ongkos bensinnya Rp18 ribu tiap hari. Tapi kami bawa bekal dari rumah buat sarapan di ladang biar tidak tambah banyak biaya yang dikeluarkan," ucap Rukmini.

Alim, tetangga Rukmini di Blok E Perumahan Bumi Semeru Damai, dulunya juga penambang pasir di Kajar Kuning.

Pemuda 32 tahun yang tinggal bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil itu memutuskan alih profesi berjualan martabak di depan rumah sejak tinggal di Perumahan Bumi Semeru Damai selama dua tahun terakhir.

Modalnya berasal dari berbagai bantuan banyak pihak yang terus berdatangan pasca bencana awan panas guguran Semeru, 4 Desember 2021.

"Waktu memasuki rumah ini juga dapat bantuan kompor gas satu tungku. Selain itu dapat bantuan uang tunai Rp3 juta dari Bank Jatim. Itu jadi modal untuk jualan martabak di depan rumah. Penghasilannya tidak kalah seperti waktu saya kerja tambang pasir dulu," ujar Alim dengan penuh percaya diri.

Sang Mahameru masih terlihat gagah menjulang di langit. Awan putih yang menyelimutinya mulai memudar. 

Gunung tertinggi ketiga di Indonesia itu telah membagi jalur kehidupan. Niscaya aktivitas vulkaniknya akan terus memberi manfaat bagi warga sekitar, sekaligus turut mendorong kemajuan peradaban umat manusia.
​​​​​​​

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024