Di Liverpool, ada sejarah yang dibangun dari batu bata dan seperangkat sound system. Pada Januari 1957, The Cavern Club resmi berdiri di Liverpool, kota yang juga menjadi kota kembarnya Surabaya.
 
The Cavern menjadi episentrum musik di kota pelabuhan ini. The Beatles datang pada 1961, beberapa saat setelah selesai berproses di Hamburg, Jerman. Saat itu The Beatles masih belum punya nama, tapi The Cavern membuka pintunya lebar-lebar. Di kemudian hari, kita tahu, band ini melejit menjadi salah satu band terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah musik dunia. Selain Beatles, Cavern juga menjadi tempat tampilnya nama-nama besar, seperti Rolling Stones dan Queen.
 
Di belahan dunia lain, kita bisa menengok berbagai venue (arena) yang menjadi tonggak penting musik, seperti CBGB di New York, AS, yang jadi pusat kancah punk rock; atau Whisky A Go Go di Los Angeles, yang jadi rumah bagi band The Doors sampai Guns N Roses.
 
Kisah-kisah ini membuat kita sepenuhnya yakin bahwa Surabaya butuh arena musik ideal. Seperti apa kriteria idealnya? Salah satunya bisa diakses oleh semua kalangan, dengan hal-hal teknis yang punya standar tinggi, serta memberikan ruang untuk band-band muda yang ingin tumbuh dan berproses.
 
Lalu, mengapa arena musik ideal ini penting bagi Surabaya? 
 
Pertama, karena kota ini punya sejarah musik yang panjang. Banyak nama musisi besar datang dan berproses di kota ini, --tak sedikit karyanya masuk kategori “magnum opus”--. Mereka adalah  AKA, Gombloh, Leo Kristi, Dara Puspita, Dewa 19, Ita Purnamasari, Boomerang, Padi, Power Metal, Tic Band, hingga ke generasi yang lebih muda, seperti Silampukau, Enola, dan Thee Marloes.
 
Ekosistem musik di Surabaya tentu saja tidak terbentuk dalam semalam. Ini kombinasi dari banyak hal, mulai dari antusiasme publik dan pelaku seni, Surabaya sebagai pusat ekonomi, hingga satu hal penting adalah infrastruktur, termasuk keberadaan arena-arena pertunjukan musik.
 
Kedua, sebuah arena musik yang berkualitas, baik indoor ataupun outdoor, menjadi instrumen penting untuk menggeliatkan pariwisata musik (music tourism). Pertunjukan musik bisa mendatangkan beragam nilai ekonomi, mulai penciptaan lapangan kerja, peningkatan okupansi hotel, larisnya produk UMKM, bisnis kuliner, hingga geliat beragam sektor jasa.
 
Festival Glastonbury, misalnya, yang diadakan di desa kecil bernama Pilton, Somerset, Inggris; yang bahkan jumlah penduduknya hanya sekira 1.000 orang, setiap tahun, ketika festival musik itu digelar, desa ini dikunjungi lebih dari 150 ribu orang. Uang mengalir ke mana-mana, mulai untuk para pekerja penuh waktu dan musiman, vendor panggung dan sound system, percetakan kaus, hingga pemilik rumah di sekitar Somerset yang menyewakan kamar untuk penginapan.

 
Revitalisasi Taman Remaja
 
Maka inisiatif Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi yang merespons cepat usulan anak-anak muda kota kita untuk merevitalisasi Taman Remaja Surabaya (TRS) dan Taman Hiburan Rakyat (THR), --yang sudah tutup beberapa tahun--, menjadi arena konser musik berkelas (juga tentu bisa untuk event lain) layak diapresiasi.

Eri Cahyadi mengecek kesiapan TRS pada Kamis (15/8/2024). Pada foto yang beredar, saya melihat bentangan lahan yang akan dijadikan arena konser, --sembari membayangkan akan berdendang dan berjingkrak ria di sana.
 
Eri Cahyadi yang menjalani masa remajanya di Surabaya pada era 1990-an memahami betul pentingnya TRS-THR sebagai katarsis anak-anak muda Surabaya untuk menumpahkan bakat bermusik dan kegelisahan mereka. Pada masa itu, band-band pelajar mendominasi pentas-pentas musik, dari pentas seni sekolah hingga festival yang digelar di mana-mana.

Era 1970-1990-an, anak-anak SMA berlomba-lomba membentuk band, berlatih di banyak studio yang tersebar di berbagai penjuru Surabaya. Kelompok musik Dewa19 dikenal sebagai band anak SMA yang dimotori pelajar SMA Negeri 2, SMA Negeri 3, dan SMA Negeri 7. SMA Negeri 2, yang dulu saat masih bernama HBS di era kolonial, adalah tempat Bung Karno bersekolah, dikenal sebagai “produsen” musisi, seperti gitaris Dewa Budjana, vokalis Ita Purnamasari, hingga gitaris Piyu. 
 
Festival yang paling terkenal saat itu tentu saja Festival Rock Indonesia yang digelar produser musik legendaris asal Surabaya, Log Zhelebour. Festival ini menjadi trendsetter grup-grup rock seluruh Indonesia. Dari festival ini kita mengenal nama-nama band yang kemudian mencatatkan diri dalam sejarah musik Indonesia, Boomerang, Power Metal, Andromedha (dari Surabaya), Jamrud dari Jawa Barat, atau Kaisar dari Solo.
 
Kala itu, ada sejumlah lokasi yang selalu dipilih untuk mementaskan musik, seperti parkir timur Delta Plaza, Lapangan Kodam, maupun Go Skate. TRS di Jalan Kusuma Bangsa adalah salah satu lokasi yang paling masyhur, karena frekuensi penyelenggaraan konser di lokasi itu relatif tinggi.

Saat membaca sejumlah koleksi berita lawas soal musik dan anak muda Surabaya, hampir semuanya menyinggung TRS sebagai tempat penting dalam perjalanan sejarah musik kota ini,  --di sinilah langkah inisiatif Eri Cahyadi merevitalisasi TRS sebagai arena musik menemui relevansi historisnya--. Saat menulis naskah ini, saya juga bertukar cerita dengan seorang kawan alumnus SMA 1 yang pernah tampil di TRS dengan band bernama No More Conflict dan membawakan lagu Final Countdown dari band Swedia, Europe.

 
Dampak sosial-kultural
 
Peneliti Erasmus Research Center for Media, Communication, and Culture; Arno van der Hoeven & Erik Hitters; membedah dengan apik kaitan antara “live music”, --yang tentu berkaitan dengan venue--, dan nilai-nilai sosial serta kultural.
 
Pada aspek sosial, arena musik bisa menjadi ruang untuk membangun jejaring, menumbuhkan partisipasi musik untuk semua usia, hingga menjadi ruang untuk menggelar berbagai acara di luar musik. Adapun pada aspek kultural, arena bisa dijadikan sebagai lokasi pertunjukan, latihan, berkumpul, berdiskusi, juga tumbuh kembang band baru dengan talenta-talenta anyar.
 
Maka, dari sana kita bisa melihat ekosistem musik, termasuk kehadiran arena, adalah bagian tidak terpisahkan dari kebijakan publik. Kepedulian tentang ekosistem musik bisa menjadi cerminan bagaimana sebuah pemerintah mengelola kebijakan publik dan kepentingan masyarakat luas.
 
Ini adalah mimpi untuk Surabaya, kota ini memiliki arena musik dengan standar internasional, yang bisa dipakai oleh siapapun. Ibaratnya, arena ini gak ngisin-ngisini untuk dipakai konser band besar, dengan jutaan penggemar, tapi juga bisa dijangkau oleh band-band baru yang dibentuk di penjuru Surabaya dan ingin tampil dengan layak, --tentu TRS nantinya diiringi dengan birokrasi perizinan yang ramah ke musisi indie dan band-band baru--.
 
Tentu saja mimpi ini belum akan langsung besar dan tampak hasilnya, sebab semua perlu proses. Namun semua angan besar pasti dimulai dari langkah kecil. Revitalisasi TRS-THR sebagai pusat kegiatan seni dan kreatif, termasuk sebagai arena musik yang representatif yang bakal berdampak ke ekonomi dan sosial-kultural kota tercinta.
 
Langkah berikutnya adalah mendukung ekosistem musik di kota ini, misalnya, menggerakkan komunitas-komunitas musik, mendukung label-label musik independen dengan workshop sampai pemberian insentif, bahkan bisa dengan fellowship dan bantuan dana bagi band-band Surabaya untuk melakukan residensi maupun tur independen ke berbagai kota, atau bahkan ke luar negeri.
 
Surabaya sudah punya modal luar biasa. Anak-anak muda pelaku musik telah eksis dan membuat gerakan sendiri; menjadi ekosistem yang hidup dan tumbuh penuh gairah. Kehadiran arena musik yang baru, seperti TRS, akan menyempurnakan ekosistem itu. 


*) M. Eri Irawan adalah Ketua Bidang Kaderisasi dan Ideologi Banteng Muda Indonesia (BMI) Surabaya

 

Pewarta: Eri Irawan*)

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024