Kehidupan bangsa kita masih saja diwarnai aksi-aksi kekerasan. Mulai yang dilakukan aparat, mahasiswa dan masyarakat kebanyakan.
Kemana wajah bangsa yang dulu selalu dibangga-bangakan sebagai bangsa peramah itu? Apakah keramahan hanya akan ditemui di wajah-wajah penjaga etalase produk-produk di mal-mal yang seringkali palsu?
Kekerasan yang paling memilukan adalah yang mengatasnamakan agama. Kasus terakhir terjadi di Sampang, Madura, dengan korban para pengikut Syiah. Bagi saya, yang lahir dan besar di Madura, kasus ini sangat aneh. Selama ini di Madura sangat jarang kerusuhan akibat konflik agama. Masyarakat Madura yang umumnya warga NU selalu yang saya tahu bersikap moderat menyikapi perbedaan.
Di sebuah perkampungan nelayan, Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, ada vihara yang sudah ratusan tahun hidup berdampingan dengan masyarakat yang menganut Islam tradisional.
Karena itu Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menduga ada desain besar dalam masalah Syiah di Sampang ini.
"Ini pasti ada big design-nya. Ada pihak-pihak yang ingin merusak suasana damai di Indonesia," kata Kiai Said.
Kalau sepert ini, maka agama kemudian menampakkan diri sebagai sesuatu yang ambigu. Satu sisi menjanjikan kedamaian, karena menjadi rahmat bagi seluruh alam. Di sisi lain, ia justru diterjemahkan dalam bentuk yang bringas. Padahal, kebringasan itu yang hendak dihilangkan oleh hadirnya agama di muka bumi.
Manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi adalah pemegang hak untuk menerjemahkan titah-titah Yang Maha Kuasa. Perbedaan tafsir atas ajaran-ajaran Tuhan hendaknya tidak kemudian menjadi alat untuk menghanguskan yang lainnya. Karena sifatnya tafsir, maka yang tahu persis maksud sebenarnya dari suatu ajaran adalah Tuhan itu sendiri. Karena itu dalam setiap diri pemeluk agama harus ada ruang berpikir bahwa boleh jadi tafsir yang dianut orang berbeda dengan kita yang lebih benar.
Antara penganut Syiah dan lainnya harus saling menghargai, karena boleh jadi paham yang dianut orang lain yang justru betul-betul sesuai dengan kehendak Tuhan.
Upaya untuk terus berdialog antarpaham keagamaan tertentu dengan lainnya perlu terus dilakukan. Pengalaman perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU barangkali bisa dijadikan pelajaran bagaimana bangunan dialog itu bisa berhasil.
Kita tahu bahwa di zaman Orde Baru perbedaan NU dengan Muhammadiyah sangat terasa, meskipun tidak sampai menimbulkan kekerasan fisik. Namun sekarang bisa dilihat bagaimana tokoh maupun umat dari kedua ormas Islam itu bisa bergandengan mesra. Sekarang orang tidak pernah lagi mempersoalkan apakah shalat subuh menggunakan qunut atau tidak. Tidak ada yang mempersoalkan tahlil yang dilakukan oleh kaum nahdliyyin.
Pemahaman bahwa perbedaan paham di antara umat Islam adalah rahmat harus terus didengungkan sehingga satu golongan tidak merasa paling benar dari golongan lainnya. Lebih tinggi lagi perlu diingatkan bahwa perbedaan di dunia ini juga harus dikembalikan kepada Allah. Kalau Allah mau, maka bisa saja hanya akan ada satu paham.
Selain dialog antarpemeluk agama dan intrapemeluk agama, peran pemerintah untuk memberi rasa aman dan nyaman bagi rakyatnya harus lebih nyata lagi. Jangan sampai negara itu ada, namun seperti tidak ada. Syiah dan pemeluk agama lain yang menjadi korban kekerasan juga memiliki hak hidup di bumi bernama Indonesia ini.
Karena itu Kiai Said Aqil meminta semua pihak bisa menahan diri, sehingga Islam rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta alam benar-benar bisa ditunjukkan. "Dan wajah ketimuran kita tidak hilang karena tindak kekerasan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012