Tepat pada 1 Juni 2024, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Momentum bagaimana generasi bangsa senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, menjadikan persatuan bangsa sebagai kewajiban yang kita pikul selamanya, bahkan sebagai salah satu bagian penguat terwujudnya Indonesia Emas Tahun 2045.
 
Pancasila dengan lima silanya, merupakan deduksi atas diksi kenegaraan. Kelima sila tersebut, yaitu 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 
Kelima diksi Pancasila tersebut menjadi "lambang" kekokohan suatu bangsa dengan lima pilar yang saling mengaitkan dan menguatkan. Ketika di-breakdown maka diksi tersebut merupakan pengejawantahan deduksi atas diksi kenegaraan. 
 
Dimulai dari sila pertama, adalah asal muasal manusia yang mana diciptakan oleh sang Pencipta sebagai khalifah, pemimpin atau penjaga negeri, dengan kewajiban mengaplikasikan ibadah (‘ubudiyah) atau penghambaan.

Ibadah yang dimaksud bukan hanya bersifat vertikal penghambaan kepada sang Pencipta, melainkan juga ibadah yang bersifat horizontal berbentuk kebaikan sesama manusia. 
 
Inilah yang kemudian menunjukkan deduksi kewajiban luhur manusia, yaitu menjalankan fungsi sebagai makhluk religius untuk kemudian menjalankan fungsi sebagai makhluk sosial, sebagaimana sila pertama yang kemudian diikuti sila kedua.

Tanpa nilai agama, moral seorang makhluk sosial sesuai ajaran agama, tidak mungkin terbentuk dengan baik. Sedangkan nilai moral itulah yang menumbuhkan rasa kemanusiaan pada jiwa manusia.
 
Setelah pembentukan mental yang baik dalam diri manusia sesuai tuntunan agama dan tuntutan sosial maka manusia pun akan disadarkan atas kebutuhan kedamaian, keamanan dan kenyamanan.

Kebutuhan inilah yang kemudian terbungkus dalam kewajiban menjaga persatuan bangsa. Tanpa nilai persatuan, tidak mungkin keutuhan dan kebersamaan terjaga. Dengan kata lain, internalisasi atas kewajiban menjaga persatuan, menjadi pondasi menolak disintegrasi bangsa.
 
Kajian tentang bahaya besar atas disintegrasi bangsa, telah lama dijelaskan oleh Ibnu Khaldun, tepatnya pada 1377 M melalui buku Muqaddimah yang menjelaskan tentang siklus sosial suatu bangsa. 
 
Bahwa situasi sosial pertama adalah masyarakat dengan segala kesederhanaan dan solidaritas di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.

Kedua adalah masyarakat yang diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.

Dan ketiga, masyarakat yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara sehingga melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memperdulikan nasib negara.
 
Cikal bakal siklus ketiga atau potret disintegrasi bangsa akibat tidak adanya persatuan antarsesama.

Sedangkan, jika dicermati kembali sila pertama dan kedua, seyogyanya generasi bangsa akan terbentuk menjadi pribadi khoirunnas anfauhum linnas, manusia bermanfaat bagi sesama yang mengedepankan kebaikan dan memiliki tujuan menghadirkan hidup bahagia di tengah masyarakat (The ultimate goal of society is to promote good and happy life for its individuals).
 
Bertanggung jawab menjaga persatuan dan harmonisasi bangsa tak lepas dari prinsip bahwa pemuda adalah syubbanul yaum rijalul ghod, bahwa pemuda adalah pemimpin hari esok. Hal ini selaras yang dijelaskan dalam suatu hadist, bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.

Dengan begitu, pemuda harus memiliki rasa tanggung jawab untuk mempersiapkan tampuk kepemimpinan kelak.
 
Setidaknya secara sederhana, jabaran di atas menunjukkan bahwa sila pertama dan kedua ketika terinternalisasi secara baik, akan menjadi keniscayaan terwujudnya Persatuan Indonesia.
 
Diksi berikutnya adalah realita yang harus disadari generasi bangsa adalah upaya mempertahankan persatuan di tengah berbagai dinamika interaksi sosial manusia.

Dalam hal ini, perselisihan dan perbedaan adalah fitrah manusia yang mana hal tersebut hanya dapat diselesaikan dengan pikiran bijak, yaitu melalui tindakan bermusyawarah untuk menemukan solusi terbaik.
 
Diksi terakhir adalah berjalannya sikap adil kepada sesama yang bermuara tercapainya rasa bahagia sesama generasi bangsa, yaitu sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila. Adil dan bahagia, tentu dapat terwujud ketika moral kebaikan terbentuk dan dimiliki oleh generasi bangsa, sesuai diksi pertama sila Pancasila hingga sila-sila berikutnya.

Dalam hal ini, terbentuk secara nyata tindakan kebaikan yang saling berbalas satu sama lain atau credit slip, yang dalam Islam disebut at-ta’awun.
 
Dari kesemua sila luhur yang tersistematis secara deduksi tersebut maka kita pun disadarkan atas diksi kenegaraan yang seyogyanya kita patri dan kita pahami secara utuh sebagai anak bangsa Indonesia.

Hal ini disebabkan Pancasila seyogyanya bukan semata kepentingan sebuah bangsa, melainkan kepentingan setiap individu agar memiliki kepribadian yang lebih humanis dan tetap terjaga dalam situasi bangsa yang aman, kondusif, dan bahagia.
 
Akhir kata, "Jaga Pancasila Untuk Hidup Mulia".
 
*) Penulis adalah aktivis perempuan sekaligus anggota DPD RI Terpilih Jawa Timur Periode 2024-2029

Pewarta: Lia Istifhama *)

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024