Angka anak tidak sekolah (ATS) di Kabupaten Banyuwangi termasuk salah satu yang terendah di Jawa Timur berdasarkan data resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Angka anak putus sekolah di Banyuwangi hanya 2,08 persen dan masuk lima yang terendah di Jawa Timur, sedangkan kabupaten/kota lain ada yang angkanya mencapai 5 bahkan 8 persen.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi Suratno di Banyuwangi, Senin, mengemukakan sejak 2023 pemerintah daerah setempat menerapkan kebijakan zero drop out pada jenjang SD dan SMP sesuai kewenangan yang diatur dalam UU Pemerintah Daerah, karena SMA berada dalam kewenangan pemerintah provinsi.
"Hasilnya hingga akhir 2023 hanya terdapat satu siswa drop out, itu pun karena orang tua pindah domisili dan tanpa memberikan pemberitahuan kepada sekolah," ujarnya.
Apabila dibandingkan dengan wilayah "Sekar Kijang" yang meliputi Situbondo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi, Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kota Probolinggo, katanya, persentase anak putus sekolah di Banyuwangi merupakan yang terendah.
Selain menerapkan kebijakan zero drop out, menurut Suratno, Banyuwangi juga menggelontorkan berbagai program untuk menekan angka anak tidak sekolah.
Di antaranya program Akselerasi Sekolah Masyarakat (Aksara) untuk memfasilitasi warga berusia dewasa mengikuti pendidikan kesetaraan, terutama kesetaraan SMP (paket B) dan SMA (paket C).
Selain itu, ada program Rintisan Desa Tuntas Wajib Belajar 12 Tahun (Rindu Bulan) yang merupakan program untuk memfasilitasi warga setempat mengikuti pendidikan hingga setara SMA, dan pendidikan ini dilaksanakan berbasis desa/kelurahan.
Ada pula program afirmasi pendidikan seperti Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah (Garda Ampuh), di mana program yang dilaksanakan sejak 2016 ini menjaring anak yang berhenti sekolah dan mengajaknya kembali ke kelas.
Demikian juga dengan anak yang terancam putus sekolah, agar mereka tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Banyuwangi juga memberikan program khusus bagi pelajar kurang mampu seperti pemberian uang saku, uang transportasi, tabungan pelajar, hingga pemberian bantuan peralatan sekolah.
Ada program Siswa Asuh Sebaya (SAS) yang merupakan gerakan solidaritas antar siswa di Banyuwangi. Gerakan ini kini semakin meluas jangkauannya. Tidak hanya membantu antarsiswa di dalam sekolah, namun meluas antarsekolah.
Pemkab Banyuwangi rutin pula memberikan beasiswa pada siswa kurang mampu melalui program Banyuwangi Cerdas, serta berbagai program kolaboratif untuk mengatasi anak putus sekolah lainnya.
Menurut Suratno, memang masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yakni masih ada siswa yang tidak melanjutkan sekolah, terutama dari jenjang SMP ke SMA.
"Dari semua itu memang yang paling banyak peralihan jenjang dari SMP ke SMA. Meski sesuai undang-undang pemerintah daerah bukan wilayah kami. Kami juga terus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Jatim cabang Banyuwangi untuk memberikan intervensi-intervensi pada anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Angka anak putus sekolah di Banyuwangi hanya 2,08 persen dan masuk lima yang terendah di Jawa Timur, sedangkan kabupaten/kota lain ada yang angkanya mencapai 5 bahkan 8 persen.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi Suratno di Banyuwangi, Senin, mengemukakan sejak 2023 pemerintah daerah setempat menerapkan kebijakan zero drop out pada jenjang SD dan SMP sesuai kewenangan yang diatur dalam UU Pemerintah Daerah, karena SMA berada dalam kewenangan pemerintah provinsi.
"Hasilnya hingga akhir 2023 hanya terdapat satu siswa drop out, itu pun karena orang tua pindah domisili dan tanpa memberikan pemberitahuan kepada sekolah," ujarnya.
Apabila dibandingkan dengan wilayah "Sekar Kijang" yang meliputi Situbondo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi, Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kota Probolinggo, katanya, persentase anak putus sekolah di Banyuwangi merupakan yang terendah.
Selain menerapkan kebijakan zero drop out, menurut Suratno, Banyuwangi juga menggelontorkan berbagai program untuk menekan angka anak tidak sekolah.
Di antaranya program Akselerasi Sekolah Masyarakat (Aksara) untuk memfasilitasi warga berusia dewasa mengikuti pendidikan kesetaraan, terutama kesetaraan SMP (paket B) dan SMA (paket C).
Selain itu, ada program Rintisan Desa Tuntas Wajib Belajar 12 Tahun (Rindu Bulan) yang merupakan program untuk memfasilitasi warga setempat mengikuti pendidikan hingga setara SMA, dan pendidikan ini dilaksanakan berbasis desa/kelurahan.
Ada pula program afirmasi pendidikan seperti Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah (Garda Ampuh), di mana program yang dilaksanakan sejak 2016 ini menjaring anak yang berhenti sekolah dan mengajaknya kembali ke kelas.
Demikian juga dengan anak yang terancam putus sekolah, agar mereka tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Banyuwangi juga memberikan program khusus bagi pelajar kurang mampu seperti pemberian uang saku, uang transportasi, tabungan pelajar, hingga pemberian bantuan peralatan sekolah.
Ada program Siswa Asuh Sebaya (SAS) yang merupakan gerakan solidaritas antar siswa di Banyuwangi. Gerakan ini kini semakin meluas jangkauannya. Tidak hanya membantu antarsiswa di dalam sekolah, namun meluas antarsekolah.
Pemkab Banyuwangi rutin pula memberikan beasiswa pada siswa kurang mampu melalui program Banyuwangi Cerdas, serta berbagai program kolaboratif untuk mengatasi anak putus sekolah lainnya.
Menurut Suratno, memang masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yakni masih ada siswa yang tidak melanjutkan sekolah, terutama dari jenjang SMP ke SMA.
"Dari semua itu memang yang paling banyak peralihan jenjang dari SMP ke SMA. Meski sesuai undang-undang pemerintah daerah bukan wilayah kami. Kami juga terus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Jatim cabang Banyuwangi untuk memberikan intervensi-intervensi pada anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah," tuturnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024