Pra-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan dibacakan Senin, (22/4) dikejutkan suatu istilah hukum yang disebut amicus curiea atau dikenal sebagai Sahabat Pengadilan, dan gagasan itu muncul begitu saja dari seorang Megawati Soekarno Putri, mantan Presiden RI.

Dan hal ini tidak lepas dari adanya persidangan di MK terkait sengketa Pilpres yang diajukan oleh kubu paslon 01 dan 03, dari kubu 03 adalah capres/ cawapres yang didukung PDIP.

"Yang menariknya istilah amicus curiea telah diikuti oleh banyak pihak, tidak terkecuali para politikus juga para mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi serta beberapa Guru Besar yang mengajukan pihak sebagai amicus curiea atau istilah sederhana-nya sahabat pengadilan," kata Ketua Team Hukum Merah Putih C Suhadi SH MH, kepada wartawan, Kamis.

Menurutnya, amicus curiea adalah suatu bentuk pendapat pihak ketiga dalam suatu perkara dimana pihak ketiga itu memberi masukan kepada hakim/pengadilan yang sedang menangani perkara.

Biasanya pendapat atau saran tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis dan pola itu digunakan oleh Megawati dalam kepentingannya kepada Mahkamah Konstitusi dalam kasus Pilpres 2024.

Konsep hukum yang bersumber dari pemahaman amicus curiea, menurut Suhadi memang pernah digunakan di Pengadilan Negeri Tanggerang dalam Perkara Pidana Prita Mulyasari pada tahun 2009 (artikel ini diambil dari penelitian Oensud yang di susun Rizal Husein dkk).

Dari membaca artikel tersebut dikisahkan, sewaktu perkara yang menjerat Prita Mulyasari di Pengadilan Negeri Tanggerang terdapat pihak yang menjadi sahabat pengadilan.

Namun, setelah ditelusuri dari jejak digital berupa berita yang merangkum kasus Pidana Prita Mulyasari, Pengadilan Negeri Tanggerang telah memutus bebas kasus Prita.

Namun, bebasnya Prita di PN tidak dijelaskan karena adanya sahabat pengadilan atau konsep hukum AC. Dan nampaknya juga perkara yang sangat heboh di tahun itu, karena Prita berhadapan dengan rumah sakit besar di Kota Tangerang, oleh Mahkamah Agung tidak menjadi Yurisprudensi. Karena pada kebiasaan di MA, kasus kasus yang menarik akan menjadi perhatian dalam bentuk putusan yang diputus Bebas pada tingkat PK akan menjadi acuan dalam bentuk yurisprudensi, papar Suhadi.

Hal itu imbuhnya, terlihat dari banyak kasus sama, orang orang yang terjerat dalam kasus ITE seperti yang menimpa Prita tidak pernah menjadi rujukan.

Apabila  benar adanya pihak yang menjadi sahabat pengadilan adalah bagian dari kasus itu, namun penerapan hukumnya menjadi bias dengan konsep pembuktian yang sudah ada. Namun, secara khusus dalam kasus pidana dikecualikan bahwa adanya keyakinan hakim.

"Namun, keyakinan tidak berdiri sendiri, artinya harus ada dua alat bukti dan alat bukti itu diyakini tidak tepat dan kalau berpijak kepada keyakinan hakim maka dimana peran konsep AC itu tadi diterangkan. Sebab keyakinan hakim selain didasarkan adanya alat bukti, juga bagaimana meletakkan posisi AC, selain itu keyakinan hakim bukan pada kata orang atau atas pendapat orang, akan tetapi hakekat-nya dari diri keyakinan hakim itu sendiri dengan tetap merujuk kepada alat alat bukti," tutur Suhadi.

Bukan itu saja, lanjutnya, dalam sistem civil law yang dianut di Indonesia, menurut hakikatnya hakim hanya terikat pada hukum yang berlaku (ius constitutum) dalam hal ini UU serta alat bukti yang mengiringinya, dan juga putusan hakim dalam kasus yang ditangani hanya terikat kepada pihak pihak yang berperkara saja (doktrin res ajudikata).

Bandingkan juga pendapat Nurul Qamar dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System (hal. 40), karakteristik atau ciri sistem civil law adalah:

1. Adanya sistem kodifikasi. 2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-undang menjadi rujukan hukumnya yang utama. 3. Sistem peradilan-nya bersifat inkuisitorial.

Terkait dalam perkara MK yang memeriksa perkara Pilpres yang diajukan oleh Paslon 01 dan 03, adalah terkait perselisihan suara sebagaimana diatur dalam pasal 463 (1 ) dan 475 (1) uu No. 7 tahun 2017, yaitu tentang perselisihan suara, bukan yang lain.

Dan menurut sistem civil law hakim tidak boleh menyimpang dari aturan yang sudah jelas, yaitu UU Pemilu. "Dan terkait munculnya pihak sahabat pengadilan tidak dikenal dalam civil law, karena UU adalah pegangan yang hakiki bagi hakim," papar Suhadi.

Masih dalam sistem civil law, paparnya, dalam mengajukan Permohonan (gugatan)  dikenal istilah Posita dan Petitum. Posita, adalah yang menguraikan dalil dalil yang menggambarkan adanya hubungan hukum yang menjadi acuan dalam suatu tuntutan.

Dan petitum, apa yang akan diminta dalam putusan.
Domein permhonan adalah hal yang sakral apabila sudah masuk pada jawab menjawab, karena tidak boleh ditambah dan dikurang lagi. Maka menurut hukum setelah jawab menjawab nasib suatu perkara ditentukan dalam dua hal itu.

"Nah terkait AC yang diajukan setelah perkara menjelang memasuki putusan apakah boleh ditambahkan. Dan pada bagian mana ditambahkan-nya. Salah salah putusan menjadi batal demi hukum apabila Majelis Hakim menambahkan suatu Petitum Permohonan dalam putusan-nya, karena MK sama seperti pengadilan umum mengenal azas ultra petitah, yang artinya Hakim MK dilarang memutus melebihi dari apa yang tidak di tuntut," urai-nya.

Pewarta: Hanif Nasrulah

Editor : Chandra Hamdani Noor


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024