Jakarta - Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra diingatkan agar tidak terkena "syndrom napoleon" setelah hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) beberapa waktu lalu, menyebutkan, Prabowo merupakan Capres 2014 yang terpopuler dibandingkan capres lainnya. "Pak Prabowo harus berubah gaya penampilannya saat bertemu dengan rakyat. Kalau penampilannya masih terlihat 'mewah' saat bertemu dengan rakyat, maka tidak akan nyambung dengan rakyat," kata peneliti senior Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad di Jakarta, Kamis. Ia menilai Prabowo dan Gerindra tidak egaliter, sangat elitis dan tidak nyambung ke rakyat bawah (rakyat jelata), ditambah lagi mayoritas fungsionaris Gerindra mengelola partai bagai mengurus perusahaan (korporasi) dan hanya pandai berwacana. "Prabowo selalu berbicara tentang ekonomi kerakyatan, namun penampilannya masih jauh dari penampilan rakyat yang sebenarnya. Sloganistis pro-rakyat tidak seirama dengan perilaku mereka sendiri yang elitis. Gaya seperti ini harus dihindari," katanya. Terlebih gaya Prabowo terlihat tegas, sehingga membuat rakyat takut. Seorang pemimpin harus bisa mengayomi rakyatnya dan tidak otoriter, ujarnya. Selain itu, Prabowo harus mengubah struktur dan kultur kepemimpinannya, mengubah kultur dan struktur "lingkaran dalam" (inner circle) Gerindra yang umumnya tidak egaliter, tidak paham "nature" dan kultur rakyat jelata, apalagi Prabowo dan seluruh fungsionaris Gerindra lebih suka berpakaian seragam yang mengesankan "Sindrom Napoleon" dan militerisme sertas feodalisme gaya baru. Hal itu dilakukan, tambah Herdi, bila Prabowo ingin dukungan terhadap dirinya tetap tinggi. Menurut survei SSS beberapa waktu lalu bahwa Prabowo yang juga menjabat sebagai Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), merupakan kandidat presiden terkuat dalam pilpres 2014. Kekecewaan masyarakat terhadap pemimpin dan partai berkuasa, membuat nama Prabowo dinomorsatukan.(*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011