Indonesia dikenal sebagai negara hukum. Hukum seharusnya jadi panglima. Segala kebijakan yang dibuat, praktik penyelenggaraan negara, harusnya berlandaskan hukum.

Namun sejauh ini, hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena hukum kerap digunakan untuk memuaskan birahi kekuasaan. Sia-sia lah presiden pergi ke mana-mana untuk mencari investor, bila hukum di Indonesia tidak bisa tegak.

Mantan Menteri BUMN Ir. Laksamana Sukardi menyampaikan hal itu, saat berdiskusi dalam peluncuran buku "Belenggu Nalar" karyanya, di Nusantara Room, The Dharmawangsa Hotel, Jakarta Selatan, Senin (15/1) sore, seperti rilis diterima di Surabaya, Rabu.

Selain Laksamana, diskusi tersebut juga menghadirkan pembicara politikus Anas Urbaningrum, Advokat Petrus Selestinus, SH, dengan moderator Wina Armada.

"Belenggu Nalar" memaparkan tentang penjualan kapal tanker milik Pertamina, yang uang-nya digunakan untuk membantu krisis keuangan pemerintah, pada tahun 2004.

Akan tetapi karena penjualan kapal tanker yang sudah disetujui Departemen Keuangan, menyebabkan Laksamana dikriminalisasi.

Menurut Laksamana, dirinya dikriminalisasi karena hukum cenderung digunakan untuk memenuhi birahi kekuasaan.

Sehingga argumen dan bukti-bukti apapun yang disodorkan, sia-sia.

"Waktu itu karena pertolongan Allah semata, saya terhindar dari jeratan hukum yang direkayasa sedemikian rupa. Ada pihak yang ingin saya dipenjara," ucap Laks.

Laksamana Sukardi menuturkan, ketika itu karena negara dalam kesulitan keuangan. Pertamina yang harus berkontribusi kepada negara, akhirnya harus menjual kapal tanker yang sedang dibuat di Korea Selatan.

Kapal itu sendiri sedang menjadi sita jaminan dalam sengketa antara pemerintah dan PT. Karaha Bodas. Kapal yang dibangun dengan biaya 130,8 juta dolar AS, terjual 184 juta dolar AS. Pertamina untung 53,2 juta dolar AS.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan audit investigasi atas penjualan kapal tanker tersebut, dan dinyatakan tidak merugikan negara.

Tetapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penjualan tanker itu telah merugikan negara.

Baca juga: "Belenggu Nalar" Memoar Laksamana Sukardi tentang penjualan Tanker Pertamina

Baca juga: Buku "Belenggu Nalar"

KPPU yang mendengar pernyataan seorang ahli mengatakan, negara mengalami kerugian berkisar 20 juta dolar AS hingga Rp504 miliar.

"Celakanya ahli yang dimintai pendapat oleh KPPU hanya salesman piano, yang mengeluarkan harga taksiran jauh lebih tinggi, tanpa dasar yang jelas. Jadi saya lihat memang ada niat untuk memojokkan saya. Nalar mereka terbelenggu karena, demi birahi kekuasaan. Saya tidak tahu itu atas perintah siapa," tutur Laksamana.

Komisi III DPR yang tidak puas dengan putusan KPK, lalu membentuk Pansus. Ternyata putusan Pansus hanya menyontek putusan KPPU. Komisi III lalu meminta Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan. Pihak Kejagung yang begitu bersemangat, karena mendapat dukungan dari Komisi III DPR, sempat mempersangkakan Laksamana Sukardi.

Namun, karena ada persoalan di internal Kejaksaan Agung, penanganan kasus kapal tanker tersebut dihentikan. Dalam putusan Peninjauan Kembali MA menyatakan putusan KPPU salah.

"Saya lihat di sini DPR terbelenggu nalar. Mereka tahu KPK sudah mengatakan tidak ada kerugian negara, mereka tetap ngotot.
Kejagung yang mendapat dukungan DPR tetap melakukan penyelidikan. Dalam eforia reformasi, hakim ternyata takut memutus perkara secara objektif," ucap Laks.

Advokat Petrus Selestinus mengatakan, Laksamana dan Megawati, adalah tokoh yang berjasa terhadap reformasi, walaupun yang muncul sebagai tokoh reformasi,  orang lain.

"Ketika itu Pak Laks justru dikriminalisasi justru oleh teman-temannya sendiri di Komisi III, terutama dari PDIP dan Demokrat. Teman-temannya di Komisi III sebagai aktor. Mereka mendesak KPK mentersangkakan Pak Laks. Padahal, KPK sudah mengatakan tidak menemukan kerugian negara, karena tidak ada harga pembanding. Di situ Komisi III marah, lalu
meminta Jaksa Agung menangani peniualan VLCC ini. Padahal harusnya KPK," ujar Petrus.

Anas Urbaningrum menilai, perkara yang dialami oleh Laksamana Sukardi adalah cara untuk menjegal karier politiknya. Waktu itu Laks adalah seorang politikus muda yang punya masa depan cemerlang.

"Waktu itu Pak Laks jadi tokoh yang masih punya masa depan politik. Dicari jalan agar masa depan politiknya habis. Kalau cara politik tidak bisa, dicarilah jalan lain. Dulu stempelmya PKI. Di era reformasi dengan stempel korupsi. Stempel itu lebih kuat. Stempel korupsi akan membuat orang jadi warganegara kelas lima!," tegas Anas.

Pewarta: Ananto Pradana

Editor : Chandra Hamdani Noor


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024