Melepas penat dari hiruk pikuk di Ibu kota Jakarta, banyak tempat hiburan yang bisa dikunjungi. Salah satunya, komunitas Salihara di Jalan Salihara 16 yang menjadi ajang kegiatan berbagai macam kesenian.
Di komunitas setempat, bisa menjadi lokasi singgah sejenak dengan menikmati berbagai macam pentas seni yang ada, termasuk menikmati makanan yang dijajakan di kafe setempat.
"Saya rutin setiap akhir pekan selalu mengunjungi Salihara untuk melepas stres," kata alumnus Universitas Indonesia (UI), Nove Zain Wisuda, Minggu (30/10). Hal senada disampaikan mahasiswa Universitas Tarumanegara, Astabrata dan mahasiswa UI jurusan Sastra Prancis, Ibnu yang mengaku, selalu melepaskan kepenatan dari kuliah dengan mendatangi Salihara.
"Salihara bisa menjadi tempat mengurangi stres, atau bisa juga tambah stres, soalnya yang dilihat seni," seloroh Astabrata, mahasiswa jurusan desain grafis itu, sambil tertawa.
Seperti juga dituturkan Direktur Salihara, Ayu Utami kepada ANTARA, pentas seni yang digelar di tempat tersebut, beragam, dengan pengunjung berbagai macam kalangan, tidak hanya mahasiswa.
Di tempat tersebut, tidak hanya pertunjukan teater, bedah buku, musik, sastra, pameran foto, pameran lukisan, bahkan kuliah umum tentang filsafat juga menjadi agenda pokok di Salihara.
Di antara kegiatan seni yang ada itu, kuliah umum flsafat termasuk cukup diminati pengunjung, selain berbagai pertunjukkan seni lainnya. Di atas tanah sekitar 3.000 meter persegi tersebut, berdiri bangunan berlantai dua yang menjadi lokasi pertunjukan berbagai macam seni.
Menurut Ayu, fasilitas gedung yang dimanfaatkan sebagai lokasi pertunjukan seni yaitu mulai ruangan teater dengan kapasitas sekitar 200 pengunjung, teater atap yang lokasi di lantai tiga tanpa atap, juga ruangan gedung yang bisa dimanfaatkan berbagai macam pameran seni.
"Sebenarnya lokasi gedung juga kami sewakan, untuk berbagai kegiatan, hanya saja tidak disewakan untuk kegiatan yang kurang pas, seperti pesta perkawinan," tuturnya, menambahkan.
Di Salihara, kedisiplinan dalam menjaga ritme dalam berkesenian cukup tertata dengan baik. Sebelum penonton baik yang membayar dengan karcis tanda masuk Rp50 ribu/orang, maupun pertunjukkan yang tidak dibayarkan, harus menunggu bunyi gong ditabuh sekali yang suaranya terdengar lebih mirip "gembyeng".
Beberapa menit kemudian, terdengar dua kali pukulan gong dan tidak seberapa lama lagi, gong kembali dipukul tiga kali yang berarti pintu teater ditutup dan penonton sudah tidak diperbolehkan masuk.
Jarak pukulan gong itu, kelas Sekretaris Salihara, Nike Rompas, berkisar 15 menit. Meski demikian, pratanda gong tiga kali pukulan tersebut, bukan merupakan harga mati bagi pengunjung.
Kondisinya bisa situasional, dengan alasan di Jalan Salihara, sering terjadi kemacetan lalu lintas. Tapi, kata Ayu, di teater yang menjadi induk kegiatan, selama pertunjukan digelar, kedisiplinan dijaga ketat, di antaranya penonton dilarang mengambil gambar, termasuk makan atau minum.
Terkecuali di acara penutupan bienal sastra yang digelar di teater atap, penonton bebas merokok, minum, bahkan di bagian belakang juga dijual makanan dan minuman yang bisa dibeli penonton.
Akan halnya kapasitas penonton tetap dibatasi. Itupun sebelumnya harus mendaftar terlebih dulu kepada panitia, melengkapi identitas dan sebelum acara pertunjukan dimulai penonton yang sudah terdaftar diabsen satu persatu.
"Beberapa hari yang lalu sudah mendaftar untuk melihat penutupan bienal sastra ternyata sudah penuh. Sekarang terpaksa menonton di luar lewat layar," kata seorang penonton, Dyta yang duduk di kursi di luar lokasi pertunjukan dengan sejumlah penonton lainnya.
Menurut Ayu, semula kegiatan berbagai macam seni yang dikelola tersebut, semua berada di Utan Kayu. Karena lokasi di Utan Kayu sempit, kemudian kegiatan seni dipindahkan ke Jalan Salihara, dan kegiatan kesenian tersebut, juga diberi nama Salihara mengambil nama jalanan setempat.
"Kami pindah ke sini tahun sejak 2001," ucapnya.
Di tempat itu, agenda tetap dua tahun yang diberi titel "Internasional Lieterary Biennale" atau juga bienal sastra klasik, mulai digelar, selama tiga pekan, sejak 9 hingga 29 Oktober.
Dalam kegiatan tersebut, dalam bincang sastra menampilkan si "celurit" emas, D Zamawi Imron, Danarto, F. Rahardi, dan Joko Pinurbo. Lainnya, di pentas dan bincang sastra dari luar negeri yaitu, Tariq Ali asal Pakistan, dan dari dalam negeri di antaranya, Ignas Kleden yang membahas pemikiran kebangsaan tokoh asal Blora, Pramoedya Ananta Toer.
Di musik tampil, musisi asal Flores, Ivan Nestorman yang memadukan musik jazz, latin dan etnik Flores dalam sejumlah karya lagunya. Selain juga, Gugun and The Blues Shelter yang mengambil puisi Chairil Anwar menjadi lagu yaitu, Cemara Berderai sampai Jauh, Sajak Putih dan Penerimaan.
Seperti diungkapkan Ayu, bienal sastra berawal dari pengalaman sastrawan di komunitas Utan Kayu ketika mengikuti festival sastra di Belanda,"Winternachten Festival" dan "Rotterdam Pooertry Festival".
Dari sanalah timbul ide untuk menyelenggarakan hal serupa di Tanah Air, untuk memperkaya khazanah kesusastraan di Indonesia dengan unur-unsur Nusantara maupun dunia.
Daerah Kesulitan Sponsor
Selain di Jakarta, bienal sastra pernah diselenggarakan di Lampung, Denpasar, Yogyakarta, Surakarta, Bandung dan juga di pelataran Candi Borobudur. Hanya saja, lanjutnya, bienal sastra di daerah tersebut, dalam beberapa tahun terakhir, terpaksa dihentikan karena kesulitan mendapatkan sponsor.
Berapa besar dana yang dibutuhkan? Berdasarkan laporan yang dikeluarkan Salihara, kebutuhan dana yang dimanfaatkan untuk mengelar bienal sastra klasik dengan semangat merayakan bulan bahasa dan sastra itu, di Salihara, Jakarta, itu mencapai Rp720 juta.
"Saya kurang tahu alasan sponsor, tidak mau mendanai kegiatan kami di daerah," tuturnya.
Komunitas Salihara, ada sejak Agustus 2008, yang dijadikan sebuah pusat kesenian yang didirikan oleh sejumlah sastrawan, seniman, jurnalis dan peminat seni. Selama keberadaan Salihara itu, telah menampilkan tidak kurang dari 200 pentas tari, teater, musik dan sastra, sebagian di antaranya dari manca negara dengan kelas dunia.
Di tahun 2010, berdasarkan rilis Salihara, berbagai macam kegiatan seni di Salihara tersebut dikunjungi sekitar 17.000 pengunjung. Di antara pengelola Salihara yakni dedengkot Tempo, Goenawan Muhammad, Sitok Srengenge, Nirwan Dewanto, yang masuk dalam dewan kurator.
Mencapai Salihara, berdasarkan panduan yang dikeluarkan Salihara, ada dua cara.Pertama, dengan Transjakarta, bisa menggunakan bus kordidor 6 (dari Halimun menju Ragunan). Setelah berhenti di halte Pejaten, turun dari halte ke arah kiri, kemudian naik mikrolet nomor 36, dengan warna biru yang rutenya melewati persis di depan lokasi Salihara.
Kedua dari halte Jati Padang, turun ke arah kanan, bisa melanjutkan perjalan dengan memanfaatkan ojek atau turun ke arah kiri berjalan lurus menuju pertigaan lampu lalu intas.
Setelah itu, belok ke kiri ke jalan Ragunan Raya dan perjalanan dilanjutkan dengan naik mikrolet nomor 61 warna biru dan turun di Balai Rakyat. Dari tempat itu, berjalan kaki ke arah utara, belok kekiri masuk ke Jalan Salihara.
"Seorang penyair itu, selalu berada dalam kesendirian. Tapi, dia juga berada dalam kemerdekan yang seluas-luasnya," itulah pepatah yang dilontarkan Ayu Utami kepada penonton, ketika memandu pergelaran musik dan pembacaan sajak yang dilakukan oleh sejumlah sastrawan di Tanah Air ini.
Yang jelas, lanjut Ayu, bienal sastra klasik tersebut, direncanakan kembali digelar pada 2013. Tidak terlalu berlebihan, di Salihara bisa ditemukan kemerdekaan berepresi dan melepaskan kepenatan di tengah hirup pikuknya Jakarta, bagi pekerja seni, juga pengunjung atau pecinta seni.***6*** (Slamet Agus Sudarmojo/blok_cepu2007@yahoo.co.id)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011