Madiun - Penganut Jami'iyyah Ahli Thoriqoh Shatoriyah An Nahdliyyah atau yang biasa disebut dengan aliran Islam Alif Rebo Wage (Aboge) di Desa Ngampel, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun baru merayakan Idul Adha, Selasa.
Hal ini berbeda dengan pemerintah yang sudah menetapkan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1432 Hijriah jatuh pada Minggu, 6 November 2011.
Pimpinan Thoriqoh Syatoriyah An Nahdliyyah cabang Madiun Ustad Moch Rudy, mengatakan, Thoriqoh Syatoriyah An Nahdliyyah memiliki penghitungan sendiri dalam menentukan perayaan Idul Adha dan perayaan agama Islam lainnya. Yakni dengan dasar kalender Mutakatasal yang bersumber pada Kalimat Toyibah Laila ha ilallah.
"Berdasarkan penghitungan kalender Mutakatasal tersebut, penganut Jami'iyyah Ahli Thoriqoh Shatoriyah An Nahdliyyah, baru merayakan Idul Adha pada Selasa," ujar Moch Rudy kepada wartawan.
Puluhan anggota Toriqoh Sathariyah ini terlihat melaksanakan shalat Idul Adha di Masjid Al Qausar yang terletak di Kelurahan Krajan, Mejayan, Kabupaten Madiun, dengan dipimpin oleh kiai mereka, Kiai Slamet Hidayatulah. Setelah shalat, dilanjutkan dengan pemotongan hewan kurban. Tahun ini hewan kurban yang disembelih mencapai lima ekor kambing.
Menurut Ustad Rudy, perbedaan perayaan keagamaan Islam tidak hanya terjadi pada tahun ini saja. Pada tahun-tahun sebelumnya, penganut ini juga menjalani Ramadhan, Idul Fitri, puasa sunah, dan Idul Adha yang berbeda dari yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Pada Ramadhan dan Idul Fitri lalu, kami juga merayakan lebih lambat dibandingkan dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah," kata dia.
Karena itu, pihaknya meminta kepada umat Islam pada umumnya untuk bisa menerima sekaligus saling menghormati tentang adanya perbedaan penetapan Hari Raya Idul Adha tersebut.
"Kami mengimbau, hendaknya perbedaan ini dapat dimaklumi dan tidak dibesar-besarkan. Meski berbeda, toh selama ini kami dapat hidup berdampingan dengan umat Muslim lainnya," kata Rudy.
Hal yang sama dilakukan oleh penganut Islam Aboge di Dusun Bakalan, Desa Pajaran, Kecamatan Saradan. Di dusun setempat, ada sekitar 200 orang penganut Islam Aboge.
Tokoh penganut setempat Kiai Bani menjelaskan, istilah Alif Rabo Wage diambil dari penghitungan mereka yang meyakini bahwa dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim, Za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir. Muharam sebagai bulan awal tahun Islam disebut tahun Alif yang dimulai pada hari Rabu Wage. Maka acuan awal tahun aliran ini disebut Alif Rabo Wage yang disingkat Aboge.
Sementara, hingga kini, jumlah penganut Aboge di Kabupaten Madiun diperkirakan telah mencapai lebih dari 3.000 pengikut yang tersebar di beberapa wilayah, seperti Kecamatan Mejayan, Pilangkenceng, Saradan, Geger, Dagangan, dan Kebonsari. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011