Surabaya - Hanya dalam hitungan satu bulan terjadi dua letusan pistol polisi yang menyasar warga sipil yakni di Sumenep pada 6 Oktober 2011 dan di Sepande, Sidoarjo pada 28 Oktober 2011. Di Sumenep, letusan pistol yang menimpa RB Ridwan itu terjadi ketika sejumlah aparat kepolisian mengejar pelaku curanmor di Jalan Trunojo, Sumenep pada 6 Oktober 2011 pukul 21.30 WIB. Namun, tembakan polisi yang terakhir untuk pelaku curanmor justru "salah sasaran". Korbannya adalah Wakil Ketua Golkar yang hendak membeli jamu di Jalan Trunojoyo, Sumenep dan ditemukan tersungkur dengan luka pada bagian kepala. Korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Daerah (RSD) Moh Anwar Sumenep. "Saudara sepupu saya itu pengurus takmir Masjid Agung Sumenep, karena kami mensalati di masjid, lalu dimakamkan ke Asta Tinggi," kata Mukarram. Lain halnya dengan apa yang terjadi di Sepande, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Korban bernama Riyadis Solikin (40) agaknya bukan korban "salah sasaran", namun "benar-benar sasaran" dari letupan pistol polisi. Hal itu diungkap kakak ipar korban H Kusnan saat memberikan testimoni (kesaksian) di depan puluhan mahasiswa di aula Gedung LP Ma'arif NU Jatim di Waru, Sidoarjo, Kamis (3/11). "Sebagai kakak ipar, saya bangga, karena adik kami (almarhum) cukup kreatif dan peduli pada kegiatan keagamaan. Dia menjadi bendahara di Musala Sabilul Huda dan anggota Bagian Dakwah di Musala Sabilil Muttaqin," katanya. Didampingi Hima (anak pertama almarhum), Faiz (anak kedua), dan seorang kerabatnya, saat diundang dalam dialog interaktif yang digelar BEM Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya itu, ia menjelaskan adiknya baru saja membeli mobil selang tiga bulan sebelumnya. "Adik saya merupakan pekerja keras, dia berdagang tempe di pasar pada pagi hari jam 02.00 WIB hingga 08.00 WIB, namun dia juga menjadi sopir antarjemput PT Ecco Indonesia pada siang (jam 14.30 WIB) dan malam (23.30 WIB)," katanya. Saat kejadian, istri almarhum Ny Maisaroh terbangun jam 03.00 WIB, namun tidak melihat korban menggarap tempe, lalu dilihat mobilnya tidak ada dan motornya yang biasa digunakan menjual tempe juga masih ada. Ketika ditunggu hingga subuh (jam 04.00 WIB) tidak kelihatan, bahkan sampai pukul 07.00 WIB juga tidak datang, maka istri almarhum pun menelepon adiknya yang bekerja di PT Ecco Indonesia, lalu adik almarhum menyusuri perjalanan pulang dari PT Ecco ke rumah korban yang sering dilewati almarhum. "Adik korban sempat bertanya kepada petugas polisi di dekat lokasi kejadian, akhirnya adik pergi ke rumah sakit hingga akhirnya kami sekeluarga mengetahui adik kami telah menjadi korban penembakan," katanya. Pelajaran berharga Kasus penembakan terakhir yang "benar-benar tepat sasaran" itu langsung direspons Wakapolda Jatim Brigjen Pol Eddi Sumantri dengan mendampingi Tim Penyelesaian Kasus (TPK) yang diketuai Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Coki Manurung. "Keterangan tersangka Briptu Eko Ristanto mengandung kejanggalan, khususnya soal celurit dari korban, kami mendapatkan dari keterangan tersangka dan saksi lain nggak sama, karena itu barang bukti celurit diperiksa ke Labfor," kata Wakapolda Jatim di Mapolda Jatim (1/11). Hasilnya, Laboratorium Forensik (Labfor) Polri Cabang Surabaya di Mapolda Jatim menemukan fakta bahwa korban penembakan oknum polisi, Riyadis Solikin (40), tidak melakukan perlawanan dengan celurit. "Korban memang melarikan mobilnya setelah menabrak Briptu Widianto, lalu Briptu Eko dan sejumlah rekannya serta beberapa anggota masyarakat yang melihat pun melakukan pengejaran," kata Ketua TPK Kombes Pol Coki Manurung. Saat itu, tersangka mengaku telah memberikan tembakan peringatan sebanyak dua kali dan korban tetap tidak menghentikan mobilnya, lalu ban mobil korban ditembak hingga akhirnya berhenti. "Saat ditemui tersangka, korban mengaku telah menabrak ketika ditanya tersangka, namun akhirnya justru terjadi penembakan itu," kata mantan Direktur Narkoba Polda Jatim itu. Fakta baru yang membantah keterangan Briptu Eko Ristanto (terpaksa melakukan penembakan karena melawan) itu akhirnya membuat TPK tidak membela oknum polisi itu dengan pasal 359 KUHP (kelalaian), melainkan tersangka dijerat dengan pasal pidana pembunuhan (pasal 338 KUHP). Upaya TPK Polda Jatim itu dinilai pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, I Wayan Titib Sulaksana, sebagai langkah yang belum cukup. "Tersangka memang bisa dipidana dengan KUHP, tapi saya lebih sepakat Komnas HAM yang turun, sebab penembakan itu melanggar UUD 1945 yang mengatur tujuh hak dasar individu dan juga UU 39/2009 tentang HAM. Kalau pidana dan ditangani polisi ibarat 'jeruk makan jeruk'," katanya di Sidoarjo (3/11). Menurut mantan pengacara kasus Marsinah (1993) itu, indikasi pelanggaran HAM itu terjadi karena ada pelanggaran Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1/2009 tentang penggunaan senjata dengan asas legalitas, kemanfaatan, proporsionalitas, asas kewajiban umum, dan asas preventif. "Kalau pistol dipakai menembak Solikin itu ibarat membunuh nyamuk dengan meriam, sebab kalau Solikin melanggar ya cukup disemprit. Kalau mau mencegah ya cukup dengan mengontak polisi lain lewat handy talky, pasti ketangkap. Jadi, Briptu Eko itu ibarat koboi kota," katanya. Pakar hukum itu memberi dua catatan untuk insiden penembakan oknum polisi itu yakni Polri jangan terlalu mudah memberikan pistol kepada bintara tanpa serangkaian tes psikologi dan mental, sekaligus memberi "pelajaran" oknum polisi melalui peradilan HAM yang lebih objektif dibandingkan sanksi internal agar citra Polri dapat dikembalikan. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011