Akademisi Universitas Brawijaya (Unibraw) Herman Suryokumoro menekankan perlu adanya sanksi tegas berupa hukum pidana pada pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian.
"Banyak terjadi penyimpangan dalam praktik berkoperasi dalam kegiatan usaha KSP/USP yang merugikan masyarakat. Saya berkesimpulan, pengaturan sanksi pidana sudah saatnya ada dan urgen untuk dilakukan, karena memang koperasi sendiri harus sesuai dengan amanat konstitusi," kata Herman dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Rabu.
Herman menuturkan koperasi merupakan salah satu bentuk Badan Hukum usaha yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 yang sebagian besar usaha berbentuk Koperasi Simpan Pinjam/Usaha Simpan Pinjam (KSP/USP).
Sedangkan kondisi mayoritas koperasi di Indonesia hampir 100 persen melakukan bisnis di sektor USP. Padahal kondisi riil di lapangan, bisnis USP koperasi sedang anjlok karena bersaing dengan perbankan.
"Dalam perkembangannya, kejahatan keuangan dilakukan dan digerakkan oleh oknum berbaju koperasi. Saya membaca saat bulan puasa, ramai pemberitaan soal dana-dana penggelapan koperasi yang dilakukan oleh manajer atau pengurus koperasi, sudah pasti yang dirugikan masyarakat kecil," ucapnya.
Baca juga: DKUPP Probolinggo: RUU Perkoperasian momentum kebangkitan koperasi
Dalam RUU Perkoperasian yang baru, Herman mengusulkan aga pokok-pokok pengaturan sanksi pidana koperasi mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang dinilainya masih sesuai dengan kondisi saat ini.
"Hanya sebagian kecil pasal-pasalnya yang perlu disesuaikan, oleh karena itu kami mengusulkan agar menggunakan undang-undang tersebut, tetapi dengan meng-update perkembangan-perkembangan terakhir, sehingga RUU Perkoperasian ini lebih luwes dan ramping," jelasnya.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar RUU Perkoperasian mengatur hanya hal-hal pokok dan substansif terkait dengan aspek jati diri, organisasi, permodalan, tata kelola, usaha, peran Pemerintah, serta ketentuan pidana dalam kehidupan koperasi Indonesia.
Sedangkan untuk hal-hal yang bersifat teknis diatur dalam petunjuk pelaksanaan atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau peraturan internal koperasi.
Tak hanya itu, Herman juga menyoroti tentang pembagian jenis koperasi menjadi close loop maupun open loop berdasarkan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), di mana pengawasan dibagi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Saya setuju koperasi open loop diperiksa oleh OJK. Terus terang saja, kalau koperasinya benar kenapa harus takut dengan OJK, justru mereka yang menolak yang patut saya pertanyakan," ujar dia.
Meski begitu, ia menekankan, jika koperasi ingin lebih mandiri, pengawasan koperasi sebaiknya hanya dilakukan dalam jenis close loop saja. Sehingga pengawasan sepenuhnya dalam Kementerian Koperasi dan UKM.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023