Pimpinan DPRD Kota Surabaya menyatakan angka pengangguran di Kota Pahlawan, Jawa Timur, harus diatasi dengan program yang detail dan konkrit.
Wakil Ketua DPRD Surabaya A. Hermas Thony dalam keterangannya di Surabaya, Sabtu, mengatakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah berusaha keras untuk menurunkan angka pengangguran dengan segala cara, salah satunya adalah program padat karya dan beberapa intervensi untuk pertumbuhan UMKM.
"Namun, Pemkot Surabaya masih belum mampu mengubah keadaan perekonomian akibat dampak pandemi COVID-19, menjadi seperti yang ditargetkan bersama (eksekutif dan legislatif)," katanya.
Menurutnya, tetap saja masih dalam kondisi yang berat. Hal ini nampak dari penerimaan sektor Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang mengalami penurunan yang tajam, karena masih banyak tunggakan.
Baca juga: Pimpinan DPRD: Pembangunan saluran air di Surabaya harus tuntas
"Banyak orang kaya yang menjadi miskin mendadak (pengangguran) sehingga tidak bisa bayar," ujarnya.
Secara demografi, kata dia, Pemkot Surabaya sudah harus bisa memetakan (memitigasi) mereka-mereka yang sudah masuk pada angkatan kerja produktif.
Setelah itu, lanjut dia, baru dibedah potensi kegiatan yang bisa menjadikan ekonomi bergerak. Caranya harus berfikir lebih detil, jangan lagi makro. Artinya, kalau membuat kebijakan padat karya jangan terserah mau membuat apa, tetapi harus lebih detil yakni siapa yang menganggur, punya keahlian apa dan jumlahnya berapa?.
"Jika sedikit dimasukkan dalam sub ordinasi yang sudah ada, jika jumlahnya besar dibuatkan klaster sehingga bisa menjadi siklus ekonomi baru. Jangan mengatasi pengangguran itu hanya sebagai jargon lalu sekedar, tetapi ada langkah konkrit dan detil," ucapnya.
Menurut dia, sistem informasi harus dibuat di era smart city, sehingga pada saat ada pengangguran sudah bisa terdeteksi, Namanya siapa dan keahliannya apa, sekaligus bisa diketahui dimana peluang kerjanya.
"Ini bisa dibuat oleh para programer. Untuk membuat modul kegiatan soal kebutuhan pokok mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan dari lahir hingga kematian datang, itu dihitung, karena ada jutaan kebutuhan yang bisa diketahui sekaligus porsinya," ujarnya.
Contoh paling mudah soal kebutuhan sabun di pagi hari saat bangun tidur. Ini butuh berapa dan bisa dikerjakan oleh berapa orang untuk memenuhi. Jika jumlahnya besar, maka bisa dikembangkan, siapa yang mendatangkan bahan dan siapa yang memproses pembuatannya, kemudian packing dan distribusinya.
"Dari situ bisa diketahui, untuk memenuhi kebutuhan satu jenis barang bisa dikerjakan oleh berapa orang dan hasilnya berapa. Jika ternyata hasilnya melebihi UMR (upah minimum regional) maka bisa dipecah untuk pengangguran yang lain. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya disuguhi program yang hanya gambaran saja, tetapi berdasarkan data yang kuat dan akurat," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
Wakil Ketua DPRD Surabaya A. Hermas Thony dalam keterangannya di Surabaya, Sabtu, mengatakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah berusaha keras untuk menurunkan angka pengangguran dengan segala cara, salah satunya adalah program padat karya dan beberapa intervensi untuk pertumbuhan UMKM.
"Namun, Pemkot Surabaya masih belum mampu mengubah keadaan perekonomian akibat dampak pandemi COVID-19, menjadi seperti yang ditargetkan bersama (eksekutif dan legislatif)," katanya.
Menurutnya, tetap saja masih dalam kondisi yang berat. Hal ini nampak dari penerimaan sektor Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang mengalami penurunan yang tajam, karena masih banyak tunggakan.
Baca juga: Pimpinan DPRD: Pembangunan saluran air di Surabaya harus tuntas
"Banyak orang kaya yang menjadi miskin mendadak (pengangguran) sehingga tidak bisa bayar," ujarnya.
Secara demografi, kata dia, Pemkot Surabaya sudah harus bisa memetakan (memitigasi) mereka-mereka yang sudah masuk pada angkatan kerja produktif.
Setelah itu, lanjut dia, baru dibedah potensi kegiatan yang bisa menjadikan ekonomi bergerak. Caranya harus berfikir lebih detil, jangan lagi makro. Artinya, kalau membuat kebijakan padat karya jangan terserah mau membuat apa, tetapi harus lebih detil yakni siapa yang menganggur, punya keahlian apa dan jumlahnya berapa?.
"Jika sedikit dimasukkan dalam sub ordinasi yang sudah ada, jika jumlahnya besar dibuatkan klaster sehingga bisa menjadi siklus ekonomi baru. Jangan mengatasi pengangguran itu hanya sebagai jargon lalu sekedar, tetapi ada langkah konkrit dan detil," ucapnya.
Menurut dia, sistem informasi harus dibuat di era smart city, sehingga pada saat ada pengangguran sudah bisa terdeteksi, Namanya siapa dan keahliannya apa, sekaligus bisa diketahui dimana peluang kerjanya.
"Ini bisa dibuat oleh para programer. Untuk membuat modul kegiatan soal kebutuhan pokok mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan dari lahir hingga kematian datang, itu dihitung, karena ada jutaan kebutuhan yang bisa diketahui sekaligus porsinya," ujarnya.
Contoh paling mudah soal kebutuhan sabun di pagi hari saat bangun tidur. Ini butuh berapa dan bisa dikerjakan oleh berapa orang untuk memenuhi. Jika jumlahnya besar, maka bisa dikembangkan, siapa yang mendatangkan bahan dan siapa yang memproses pembuatannya, kemudian packing dan distribusinya.
"Dari situ bisa diketahui, untuk memenuhi kebutuhan satu jenis barang bisa dikerjakan oleh berapa orang dan hasilnya berapa. Jika ternyata hasilnya melebihi UMR (upah minimum regional) maka bisa dipecah untuk pengangguran yang lain. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya disuguhi program yang hanya gambaran saja, tetapi berdasarkan data yang kuat dan akurat," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023