Manisnya semangka. getirnya (perjuangan) Palestina. Kiranya kalimat singkat itu menjadi potret nyata kisah penuh pedih yang menimpa tanah suci yang dulu dikenal dengan Baitul Maqdis atau Iliya’. 

Betapa tidak? Karena invasi Israel sudah menjadi potret genosida tak terhenti. Tanpa menghitung puluhan tahun pembunuhan masal dilakukan mereka, namun sebut saja pada peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu invasi Israel sejak 7 Oktober 2023. 

Bahwa pada Jumat (3/11/2023), Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan jumlah korban tewas sebanyak 9.061 orang. Jumlah itu merupakan total korban sejak serangan Israel pada lalu, dengan rincian, 3.760 orang di antaranya ialah anak-anak serta 2.326 perempuan. Selain itu, 32.000 orang lainnya terluka. 

Tanah Palestina yang pernah berada dalam penguasaan Islam, tepatnya pada masa Khalifah Umar bin Khattab dengan sistem toleransi beragama sangat tinggi, kini tak hentinya diwarnai kelabunya asap bom dan bising derunya mesin tank, tembakan, maupun rudal yang menghujani pemukiman padat Palestina. Bahkan rumah sakit pun, juga menjadi sasaran kekejaman, yang kesemua serangan itupun, membunuh begitu banyak orang seketika.

Tak terhitung seruan masyarakat di berbagai penjuru dunia agar Israel segera melakukan gencatan sejak negeri zionis itu menyatakan perang ke Hamas, namun invasi justru menjadi. Dan selalu, masyarakat sipil, bahkan perempuan dan anak-anak selalu menjadi korban. 

Pihak Dokter Tanpa Perbatasan (Medecins Sans Frontieres -MSF) pada 1 November 2023 menyatakan masih ada lebih dari 20 ribu orang yang terluka di Gaza. Persediaan obat-obatan pun disebut terbatas. Selain jutaan orang terjebak dalam ancaman serangan Israel.

"Sekitar dua juta orang Palestina masih terjebak di Jalur Gaza di bawah serangan, termasuk 300 staf MSF dan keluarga mereka," tulis pernyataan di situs resmi Dokter Tanpa Perbatasan. 

"Kami menegaskan kembali seruan untuk gencatan senjata secepatnya. Persediaan kemanusiaan yang sangat diperlukan dan staf harus diizinkan masuk Jalur Gaza di mana rumah sakit sudah penuh dan sistem pelayanan kesehatan menghadapi kolaps total," lanjut pernyataan tersebut.

Kejahatan genosida yang belum juga usai tersebut, memantik seruan humanisme global. Beragam dukungan pun mengalir tanpa melihat tragedi Palestina dalam pendekatan agama atau sebatas Hamas-Israel, melainkan kalimat bulat bahwa kejahatan perang harus segera usai, bahwa kemerdekaan hidup di atas tanah kelahiran, adalah hak manusia. 

Semangat merdeka, dua kata yang kemudian menjadi turunan dari kata trending "semangka". Buah berkulit hijau dengan daging segar nan manis berwarna merah, ramai gencar di sosial media sebagai "The Fruit of Palestine".

Dilansir berbagai media daring, bahwa bagi masyarakat Palestina, simbol semangka melambangkan budaya dan identitas Palestina. Tumbuh di seluruh Palestina, dari Jenin hingga Gaza. semangka memiliki warna yang sama dengan bendera Palestina, yang terdiri dari warna merah, hijau, putih, dan hitam.

Penggunaan semangka sebagai simbol Palestina bukanlah hal yang baru. Pertama kali muncul setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, tepatnya ketika Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan mencaplok Yerusalem Timur. Pada saat itu, pemerintah Israel menjadikan pengibaran bendera Palestina di depan umum sebagai tindakan kriminal di Gaza dan Tepi Barat. Pemerintah Israel juga melarang penggunaan bendera Palestina di wilayah pendudukan.

Untuk menghindari larangan penggunaan bendera tersebut, warga Palestina mulai menggunakan semangka karena ketika dibelah, buah ini memiliki warna-warna yang mewakili warna bendera nasional Palestina, yakni merah, hitam, putih, dan hijau.

"Di Jalur Gaza, di mana para pemuda pernah ditangkap karena membawa irisan semangka-yang menunjukkan warna merah, hitam, dan hijau khas Palestina-tentara berdiri dengan tenang saat pawai mengibarkan bendera yang pernah dilarang," tulis jurnalis Times, John Kifner.

Dan kini, hampir satu abad dimana semenjak Turki Usmani mengalami kekalahan dalam perang salib dan mengakibatkan Palestina berpindah tangan ke Imperialisme Inggris pada tahun 1917 yang menjadi cikal bakal perebutan kota suci Baitul Maqdis oleh Yahudi, Palestina pun masih harus melalui rangkaian kisah penuh getir perjuangan. Potret genosida yang secara nyata tampak dalam berbagai tayangan tanpa kamuflase serta saksi hidup atas kekejaman invasi Israel, tidak serta merta menjadikan negara adidaya di dunia ini, untuk turun sebagai pemutus gencatan senjata.

Namun keterbukaan digital-lah yang akhirnya menjadikan seruan masyarakat global atas gencatan senjata sebagai bentuk dukungan kepada perjuangan Palestina. Makna semangka pun disepakati sebagai "Semangat Merdeka” bagi warga Palestina atas tanah kelahiran mereka. 

Mereka berhak merdeka, berhak damai, berhak berkumpul bersama orang-orang terkasih. Dan tatkala mereka telah kehilangan semua orang terkasih, maka mereka tetap mampu bergandengan tangan dengan orang yang baru mereka kenal, yang memiliki impian sama, yaitu freedom, kemerdekaan. 

Seperti penggalan lagu Freedom Maher Zain:

Gathered here with my family
My neighbours and my friends
Standing firm together against oppression holding hands
It doesn't matter where you're from
Or if you're young, old, women or man
We're here for the same reason; we want to take back our land





*) Penulis adalah aktivis perempuan sekaligus Caleg DPD RI

 

Pewarta: Dr. Lia Istifhama *)

Editor : Abdul Hakim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023