Sah, tiga pasangan bakal calon Presiden dan calon wakil Presiden resmi terdaftar, sesuai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu 25 Oktober 2023. 

Ketiga pasangan tersebut, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tersebut, menjadi penanda puncak atau gong kontestasi politik dalam pesta demokrasi 2024. 

Tahun politik pun akan semakin lengkap dengan penetapan Daftar Calon Tetap Calon Legistlatif partai politik dan calon DPD RI pada 3 November mendatang.

Gegap gempita pesta demokrasi tentu menjadi atensi publik, terlebih di era keterbukaan informasi dan digitalisasi dimana terbuka lebar ruang bersosialisasi para kontestan.

Politik adem, aman damai dan tentrem, tentu menjadi dambaan masyarakat luas, anak bangsa yang mencintai kedamaian. Maka, untuk mendukung hal tersebut, sangat dibutuhkan peran pemuda dalam membangun budaya damai (culture of peace).

“Beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncangkan dunia”, perkataan melegenda dari Bung Karno tersebut, tentu menjadi lecutan semangat agar pemuda benar-benar membangun peran sebagai agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (agen pengawas sosial). Dengan membangun peran maka nasib kedamaian bangsa akan sangat terwujud di atas pundak para pemuda.

Pemuda, mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2022, sebanyak 68,82 juta jiwa penduduk Indonesia masuk kategori pemuda. Angka tersebut porsinya mencapai 24% dari total penduduk. Jumlah tersebut kemudian naik secara signifikan pada data jumlah pemilih yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

Lembaga penyelenggara pemilu yang dinakhodai Hasyim Asy’ari itu menyebut bahwa Pemilu 2024 bakal didominasi oleh pemilih muda, dalam artian mereka yang berusia maksimum 40 tahun pada hari pemungutan suara 14 Februari 2024. 

Tepatnya, pemilih yang berada pada rentang usia sampai usia 39-40 tahun,  proporsinya sekitar 53-55 persen, atau 107-108 juta dari total jumlah pemilih di Indonesia. Sedangkan di Jawa Timur sendiri, sesuai yang dilansir KPU Jatim, 6,3 juta pemilih berusia 17–26 tahun. Artinya, 20,34 persen pemilih di Jatim nanti adalah generasi Z dari total 31.402.838 pemilih.

Tingginya dominasi pemuda dalam kancah perpolitikan, tak ayal membuat pemuda pun memiliki tanggung jawab menjaga spirit persatuan yang digaungkan Sumpah Pemuda 28 Oktober silam, yaitu dengan menjadi sosok penting terwujudnya budaya damai (culture of peace).

Jika Bung Karno menyampaikan peran sentral pemuda untuk menggoncangkan dunia, maka pendiri NU KH M Hasyim Asy’ari, menekankan pentingnya pemuda menjaga persatuan dan menghindari perdebatan.

“Janganlah kalian jadikan perdebatan itu menjadi sebab perpecahan, pertengkaran dan permusuh-musuhan. Ataukah kita teruskan perpecahan, saling menghina dan menjatuhkan; saling mendengki kembali kepada kesesatan lama? Padahal agama kita satu: Islam. Madzab kita satu: (Imam) Syafi’i. Daerah kita juga satu: Indonesia (waktu itu sebutannya, Jawa). Dan kita semua ini juga serumpun Ahlussunnah wal Jamaah. Demi Allah hal semacam itu merupakan musibah dan kerugian yang amat besar.”

Pemikiran tersebut selaras dengan teori siklus sosial Ibnu Khaldun (1377 M), bahwa sebuah bangsa mengalami tiga siklus. Situasi sosial pertama adalah masyarakat dengan segala kesederhanaan dan solidaritas di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.

Kedua, masyarakat yang diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.

Ketiga, masyarakat yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan negara sehingga melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memperdulikan nasib negara.

Cikal bakal siklus ketiga atau potret disintegrasi bangsa tersebut adalah adanya yang rentan terjadi di tengah masyarakat. Sedangkan, pemuda seharusnya menjadi khoirunnas anfauhum linnas, yang oleh Anayet Hossain memiliki tujuan menghadirkan hidup bahagia di tengah masyarakat. (The ultimate goal of society is to promote good and happy life for its individuals).

Bertanggung jawab menjaga perdamaian dan harmonisasi bangsa tak lepas dari prinsip bahwa pemuda adalah syubbanul yaum rijalul ghod, bahwa pemuda adalah pemimpin hari esok.

Hal ini selaras yang dijelaskan dalam sebuah hadist, bahwa "setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya". Dengan begitu, pemuda harus memiliki rasa tanggung jawab untuk mempersiapkan tampuk kepemimpinan kelak.

Saat di-breakdown dalam era digitalisasi, ruang kepemimpinan tersebut adalah bagaimana pemuda mampu bijak dan strategis menyikapi perkembangan digital, di antaranya memiliki pemuda berkarakter molecularization (mudah beradaptasi) dan convergence (mengkonvergensikan tiga sektor industri, yaitu computing, communications dan content). 

Sikap strategis mengikuti perkembangan zaman dengan kemampuan adaptasi dan berkarya, tentu menjadi benteng kuat agar pemuda tidak terjebak karakter kemiskinan kultural. 

Hal ini sesuai pemikiran Critical Security Studies (mazhab Wales), bahwa keamanan hadir ketika masyarakat terbebaskan dari kemiskinan, yaitu bebas berkeinginan ( freedom from want) dan bebas dari ketakutan (freedom from fear).

Dengan kata lain, keamanan ataupun perdamaian suatu bangsa dapat hadir jika secara alami masyarakat merasakan kenyamanan, kebebasan, dan tidak tersandera ancaman.

Pada akhirnya, pemuda memiliki peran penting yang mewujudkan culture of peace dengan membangun paradigma integralistik, yaitu saling toleran dan menghargai berbagai perbedaan, terutama perbedaan akibat konsekuensi pertarungan para peserta pemilu di tahun politik.

Tentunya, pemuda harus selalu mengutamakan akal sehat agar tidak terjebak segala bentuk hoaks ataupun hate speech yang sejatinya hanyalah kamuflase oknum tertentu untuk meraih simpatik masyarakat.


*) Penulis adalah aktivis perempuan sekaligus bakal calon anggota DPD RI

Pewarta: Dr. Lia Istifhama*)

Editor : Abdul Hakim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023