Tahun 2030 menjadi periode kritis bagi Indonesia dengan prediksi mencapai puncak bonus demografi, di mana penduduk usia produktif (15-60 tahun) diproyeksikan mencapai 190 juta atau sekitar 69,3 persen dari total penduduk.

Potensi demografi ini seharusnya menjadi kekuatan utama dalam menjalankan agenda Indonesia Emas 2045 dan mendongkrak peringkat negara menjadi maju. Sayangnya, di balik perayaan potensi tersebut, terdapat akar masalah mendalam yang telah meracuni dunia maya, yaitu "Kesetaraan Digital Semu."

Kesetaraan digital semu merupakan fenomena di mana semua individu, tanpa memandang latar belakang atau keahlian mereka, dianggap setara dalam ranah digital. Dalam konteks media sosial, hal ini menciptakan ilusi bahwa netizen dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari profesor hingga anak SMP, memiliki kekuatan dan pengaruh yang setara.

Namun, dalam realitasnya, kesetaraan ini semakin menjadi akar masalah yang merusak kesehatan media sosial.

Data dari Digital Civility Index (DCI) pada 2020, menunjukkan bahwa netizen Indonesia mendapat predikat sebagai yang paling kurang sopan di Asia Tenggara.

Kesetaraan digital yang semu menjadikan media sosial sebagai tempat di mana norma-norma sosial bisa dengan mudah digeser. Seorang profesor bisa kehilangan martabatnya, dan seorang anak SMP dapat dengan mudah berpura-pura menjadi orang dewasa tanpa batasan. 

Akun anonymous semakin meluas, menyoroti ketidaksempurnaan identitas di balik layar digital.

Rendahnya literasi digital semakin memperburuk kondisi ini. Kesetaraan digital yang semestinya menciptakan inklusi justru menjadi alat destruksi ketika kecerdasan digital rendah. Media sosial menjadi ladang subur untuk penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan perilaku merugikan lainnya.

Tidak hanya itu, munculnya fenomena ini juga memicu ketidakseimbangan antara pertumbuhan teknologi dan pemahaman masyarakat terhadap konsekuensinya.

Perusahaan aplikasi, dalam perlombaan sengit untuk mendapatkan jumlah pengguna yang besar, terkadang melupakan tanggung jawab etis terhadap dampak media sosial.

Kesetaraan digital semu sering kali menjadi strategi pemasaran yang efektif, tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan media sosial. Inilah yang menciptakan lingkungan di mana kebenaran seringkali kalah dalam persaingan untuk mendapatkan like, share, dan retweet.

Jika tidak ada upaya bersama untuk mengatasi kesetaraan digital semu, media sosial kita akan terus menjadi tempat yang tidak sehat bagi interaksi online. Kesetaraan harus diimbangi dengan literasi digital yang kuat dan kecerdasan digital yang tinggi.

Pendidikan digital menjadi salah satu solusi utama, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat umum. Guru, orang tua, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang penggunaan yang bijak dan etis dari media sosial.

Pertimbangan ulang terhadap konsep kesetaraan digital menjadi krusial. Kesetaraan digital bukan hanya hak, melainkan juga tanggung jawab bersama. Perlu ada upaya untuk membangun kesadaran akan dampak negatif dari kesetaraan digital semu.

Pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat, aman, dan inklusif.

Indonesia 2030 harus melihat kesetaraan digital sebagai instrumen yang memerlukan perawatan dan pengelolaan dengan bijak. Jika tidak, bonus demografi yang seharusnya menjadi modal menuju kemajuan akan terancam oleh petaka demografi di dunia maya.

Saatnya untuk mengatasi akar masalah, yaitu kesetaraan digital semu, agar kita dapat membangun media sosial yang benar-benar sehat dan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat.

Dalam menyikapi kesetaraan digital semu, masyarakat perlu memahami bahwa kesetaraan bukan berarti bahwa semua pendapat atau perilaku adalah setara. Kesetaraan seharusnya mempromosikan penghargaan terhadap keberagaman, bukan menyamaratakan segala hal. Ini melibatkan pengenalan dan pengakuan atas perbedaan, serta penanaman nilai-nilai etika dalam interaksi digital.

Pendidikan literasi digital perlu menjadi prioritas utama dalam merespons tantangan ini. Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan harus memasukkan mata pelajaran literasi digital ke dalam kurikulum mereka, memastikan bahwa setiap lulusan memiliki pemahaman yang kuat tentang etika dan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial.

Sementara itu, di tingkat masyarakat umum, kampanye literasi digital harus menjadi agenda utama. Organisasi non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal dapat berperan penting dalam menyebarkan informasi dan memberikan pelatihan literasi digital kepada masyarakat. Peningkatan kesadaran akan potensi risiko di dunia digital harus ditanamkan sejak dini.

Pentingnya membuka ruang diskusi terbuka mengenai masalah ini tidak dapat diabaikan. Forum-forum diskusi publik, baik di dunia maya maupun di dunia nyata, dapat menjadi wadah untuk mengajak masyarakat berbicara tentang kesetaraan digital, literasi digital, dan dampaknya terhadap kesehatan media sosial.

Partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, perusahaan teknologi, dan masyarakat umum, diperlukan untuk menciptakan solusi yang holistik.

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi yang mendukung kesehatan media sosial. Kebijakan yang mendorong transparansi, melibatkan perusahaan teknologi dalam upaya literasi digital, dan mengenakan sanksi terhadap pelanggaran etika digital dapat menjadi langkah positif.

Penting untuk diingat bahwa solusi untuk kesetaraan digital semu bukanlah tugas yang mudah dan membutuhkan keterlibatan aktif dari seluruh komponen masyarakat. Proses ini memerlukan kesabaran, pendidikan yang berkelanjutan, dan komitmen nyata untuk menciptakan perubahan yang berarti.

Dalam kesimpulan, kesetaraan digital semu telah menjadi akar masalah di balik media sosial yang tidak sehat. Untuk mengatasi tantangan ini, masyarakat perlu berkolaborasi dalam meningkatkan literasi digital, mengembangkan kecerdasan digital, dan mempertimbangkan ulang konsep kesetaraan digital.

Hanya dengan upaya bersama, Indonesia dapat memanfaatkan potensi bonus demografi menuju kemajuan yang berkelanjutan dan inklusif di era digital.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Vokasi Unair
 

Pewarta: Gagas Gayuh Aji *)

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023