Sebelum menuju pada pergulatan Pemilu 2024 yang tidak terasa sebentar lagi akan kembali menggetarkan kedamaian masyarakat Indonesia ini, maka baiknya kita melihat bagaimana peta politik yang hari ini, esok, dan nanti akan menjadi topografi bagi para calon kontestan pemilu 2024. I

Indonesia sering digadang-gadang akan mengalami bonus demografi antara tahun 2025 sampai 2030 menurut data dari Badan Pusat Statistik Indonesia yang menjadi awal mula dari tercetusnya Indonesia Emas 2045.

Subjek dari bonus demografi yang kemudian akan menjadi generasi emas 2045 adalah sebagian terdiri dari generasi Z atau Gen-Z Generasi Z yaitu generasi yang lahir pada antara tahun 1996 sampai dengan tahun 2010 yang dikenal sebagai generasi yang hidup berdampingan dengan perkembangan teknologi dan media sosial.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia juga telah mencatat bahwa di tahun 2020, komposisi penduduk terbanyak di Indonesia ternyata 27 persen adalah Generasi Z, sementara di bawahnya adalah Generasi Milenial (25 persen), Generasi X (21 persen), Baby Boomer (11 persen), dan Generasi Alpha (10 persen) dari total jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270 juta jiwa. 


Ragam warna gen-Z

Gen-Z harus menjadi generasi yang paling banyak menjadi subjek dan sasaran untuk kebijakan politik yang ada di Indonesia ini terutama kebijakan yang terkait dengan dunia pendidikan, ruh pendidikan di Indonesia perlu kembali direnungkan untuk kemudian disesuaikan dengan karakteristik dan minat bakat Gen-Z yang selama ini hidup berdampingan serta tumbuh bersama teknologi.

Gen-Z terstigma sebagai generasi yang sukar untuk mengenal politik dan cenderung bersikap "bodoh amat" terhadap kondisi politik, mereka dianggap sebagai generasi yang menyukai hal-hal instan dan cenderung tidak sabaran. 

Namun, isu tentang apatisme Gen-Z dengan sangat mudah dipatahkan dengan rangkaian aksi #ReformasiDiKorupsi pada tahun 2019 silam, di mana kebanyakan aktor yang terlibat dalam aksi tersebut adalah dari Gen-Z yang terdiri dari banyak mahasiswa yang ada di Indonesia.

Aktivisme Gen-Z akhir-akhir ini justru banyak mengubah kondisi sosial-politik yang ada di seluruh dunia, Gen-Z menyebarkan isu-isu sosial-politik dengan sangat cepat dan global dibandingkan dengan generasi lainnya.

Anggapan bahwasanya Gen-Z adalah generasi yang cenderung memiliki kesadaran yang kurang terhadap kondisi politik yang ada, membuat adanya spekulasi bahwasanya pada kontestasi pemilu 2024 nanti angka golput akan melonjak jika benar demikian seperti halnya pada pemilu 2019, angka golput mencapai 40 persen dari pemilih milenial.


Pola aktivisme baru gen-Z

Dalam dunia aktivisme, saya beranggapan bahwasanya kita sudah diharuskan untuk melakukan shifting tentang pergerakan sipil yang sudah harus mengevaluasi diri sendiri, misalnya melihat fenomena demonstrasi dan aksi turun ke jalan saat ini sudah mengalami penurunan peminat karena dianggap semakin kurang efektif dalam menyampaikan isu.

Gen-Z merupakan generasi yang rata-rata sudah berpendidikan dan menyandang status sebagai cendekiawan, maka tidak elok jika seorang cendekiawan atau intelektual justru duduk terdiam membisu ketika terjadi fenomena sosial-politik yang ada di sekitarnya.

Julien Benda dalam bukunya yang fenomenal berjudul La Trahison Des Clrecs yang artinya pengkhianatan kaum intelektual, mengatakan bahwasanya seorang intelektual yang berkhianat adalah dengan memalingkan diri dari situasi di sekitarnya , karena ia tidak menggunakan kemampuannya untuk digunakan dalam hal kebaikan di masyarakat.

Justru aktivisme baru saat ini sudah mulai merambat ke ranah digital, salah satunya adalah melalui platform media sosial yang marak mengabarkan dan mengudarakan tentang isu-isu aktivisme.

Kita bisa melihat corak baru yang disebut sebagai gerakan sosial baru (new social movement) yang dianggap mudah untuk dilakukan oleh semua kalangan serta efektivitasnya juga dinilai lebih signifikan dibandingkan dengan cara lama saat seorang aktivis harus turun ke jalan, bukannya penulis hendak mengerdilkan aksi turun ke jalan sebagai sebuah hal yang sudah usang.

Namun, perubahan memang perlu dilakukan dalam dunia aktivisme sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks dan generasi selanjutnya yang juga mengalami kompleksitas yang sedemikian rupa pula.

Gerakan sosial baru sangat jarang sekali untuk dibahas, namun secara tidak sadar justru sering kita terapkan dan menjadi salah satu metode yang efektif dalam dunia baru aktivisme.

Secara tidak sadar, Gen-Z hidup sejalan dengan isu yang beredar dan secara tidak sadar pula mereka mengikuti arus politik yang berlaku sehingga Gen-Z bisa pula dikatakan memiliki kemampuan titik sensitivitas yang tinggi pula.

Meski nanti belum tentu isu tersebut akan ditanggapi secara kongkret karena Gen-Z cenderung memiliki sifat apatisme yang cukup tinggi dibanding dengan generasi-generasi sebelumnya.

Entah itu sebuah apatisme, atau justru merupakan sebuah pesimisme, Gen-Z mulai merasa bahwasanya peristiwa-peristiwa politik yang kotor sehingga menodai citra politik yang ada. Gen-Z merasa kapok untuk berpolitik, bahkan sekadar untuk peduli terhadap politik.

Pola aktivisme yang baru ini harus dirawat dan dibudidayakan dengan gencar jika ingin dunia aktivis terus berjalan secara masif, maka dapat terjamin bahwasanya isu-isu sosial-politik tidak akan hilang pada generasi selanjutnya.

Agar generasi anak cucu kita kemudian dapat tumbuh berdampingan dengan edukasi aktivisme yang mampu untuk menumbuhkan kesadaran kritis sejak dini, hal tersebut merupakan upaya menanamkan benih yang progresif dan berkemajuan untuk kita wariskan kepada generasi selanjutnya.

Gen-Z akan lebih mudah untuk menanamkan nilai aktivisme dan kesadaran sosial-politik jika memakai cara gerakan sosial baru.

*) Penulis adalah Ketua PP IPM Bidang PIP

Pewarta: Riandy Prawita *)

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023