Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Dawarblandong Mojokerto menggelar peribadatan "Jalan Salib" pada Peringatan Jumat Agung, dalam rangkaian perayaan Hari Raya Paskah dengan mengenakan baju adat Jawa.
"Kami memakai busana Jawa itu karena kami orang Kristen ada di Jawa, jadi kami tidak menghilangkan kami orang Jawa," kata Panitia Hari Besar Gerejawi Pendeta Galih Fendi Christianto saat ditemui wartawan usai kegiatan,di Mojokerto, Jumat.
Menurut Pendeta Galih, dipilihnya pakaian adat Jawa bukan hanya karena orang dari suku Jawa saja, melainkan sebagai refleksi pakaian yang ala kadarnya atau busana yang dipakai dalam sehari-hari.
"Pakaian Jawa ini seperti pakaian ala kadarnya tidak dibuat-buat dan yang keseharian dipakai, karena pada zaman dahulu saat Yesus disalib, Yesus juga memakai pakaian pada zaman itu, sekarang kami memakai pakaian yang sesuai di Bumi Mojopahit," ujarnya.
Jalan Salib yang menempuh jarak sekitar satu setengah kilometer tersebut, menurut dia, tiap tahunnya selalu ada, namun dalam dua tahun terakhir ditiadakan karena pandemi COVID-19.
"Tahun-tahun kemarin kami tidak mengadakan karena keterbatasan COVID, tapi beberapa tahun sebelumnya kami mengadakan hal yang sama dan tetap menggunakan pakaian Jawa," tuturnya.
Dia mengatakan peribadatan Jalan Salib digelar untuk mengenang perjalanan Tuhan Yesus Kristus yang menjalani hukuman mati dengan cara disalib.
Peristiwa tersebut terjadi pada masa Kerajaan Romawi yang berlangsung di abad ke- 1 Masehi. Di bawah pengadilan pemuka agama Yahudi, Yesus dianggap melakukan pelanggaran agama karena mengaku sebagai anak Allah.
"Jalan Salib atau jalan sengsara Yesus, itu dalam maksud kami Jemaat GKJW Dawarblandong menghayati dan merefleksikan, bahwa umat berdosa itu di tebus dengan sengsara Yesus," ucapnya.
Pendeta Galih menjelaskan bahwa kegiatan ini juga bertepatan dengan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah Puasa, jadi pihaknya tetap menghormati dengan tidak makan maupun minum di sepanjang jalan saat kirab.
"Sudah saya sampaikan ke seluruh jemaat yang mengikuti kirab untuk saling menghargai, mungkin yang minum tadi hanya dua orang karena memang sudah sepuh, selebihnya tidak ada," katanya.
Hal tersebut, merupakan sarana bagi pihaknya untuk bertoleransi dan menghargai umat Islam yang sedang berpuasa.
"Kami juga merefleksikan ketika Jalan Salib ini adalah jalan sengsara untuk menebus dosa manusia, dan kami pun juga menghayati bahwa Ramadhan adalah sarana untuk melebur dosa," ujar Pendeta Galih.
Dia berharap dengan adanya Jalan Salib tersebut, seluruh jemaat khususnya yang berada di GKJW Dawarblandong Mojokerto dapat menjadikan Yesus sebagai teladan bagi kehidupannya.
"Setiap warga jemaat agar Hati, diri dan perbuatannya senantiasa hanya tertuju pada Yesus Sang Penebus, dan Yesus sebagai teladan kehidupannya," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
"Kami memakai busana Jawa itu karena kami orang Kristen ada di Jawa, jadi kami tidak menghilangkan kami orang Jawa," kata Panitia Hari Besar Gerejawi Pendeta Galih Fendi Christianto saat ditemui wartawan usai kegiatan,di Mojokerto, Jumat.
Menurut Pendeta Galih, dipilihnya pakaian adat Jawa bukan hanya karena orang dari suku Jawa saja, melainkan sebagai refleksi pakaian yang ala kadarnya atau busana yang dipakai dalam sehari-hari.
"Pakaian Jawa ini seperti pakaian ala kadarnya tidak dibuat-buat dan yang keseharian dipakai, karena pada zaman dahulu saat Yesus disalib, Yesus juga memakai pakaian pada zaman itu, sekarang kami memakai pakaian yang sesuai di Bumi Mojopahit," ujarnya.
Jalan Salib yang menempuh jarak sekitar satu setengah kilometer tersebut, menurut dia, tiap tahunnya selalu ada, namun dalam dua tahun terakhir ditiadakan karena pandemi COVID-19.
"Tahun-tahun kemarin kami tidak mengadakan karena keterbatasan COVID, tapi beberapa tahun sebelumnya kami mengadakan hal yang sama dan tetap menggunakan pakaian Jawa," tuturnya.
Dia mengatakan peribadatan Jalan Salib digelar untuk mengenang perjalanan Tuhan Yesus Kristus yang menjalani hukuman mati dengan cara disalib.
Peristiwa tersebut terjadi pada masa Kerajaan Romawi yang berlangsung di abad ke- 1 Masehi. Di bawah pengadilan pemuka agama Yahudi, Yesus dianggap melakukan pelanggaran agama karena mengaku sebagai anak Allah.
"Jalan Salib atau jalan sengsara Yesus, itu dalam maksud kami Jemaat GKJW Dawarblandong menghayati dan merefleksikan, bahwa umat berdosa itu di tebus dengan sengsara Yesus," ucapnya.
Pendeta Galih menjelaskan bahwa kegiatan ini juga bertepatan dengan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah Puasa, jadi pihaknya tetap menghormati dengan tidak makan maupun minum di sepanjang jalan saat kirab.
"Sudah saya sampaikan ke seluruh jemaat yang mengikuti kirab untuk saling menghargai, mungkin yang minum tadi hanya dua orang karena memang sudah sepuh, selebihnya tidak ada," katanya.
Hal tersebut, merupakan sarana bagi pihaknya untuk bertoleransi dan menghargai umat Islam yang sedang berpuasa.
"Kami juga merefleksikan ketika Jalan Salib ini adalah jalan sengsara untuk menebus dosa manusia, dan kami pun juga menghayati bahwa Ramadhan adalah sarana untuk melebur dosa," ujar Pendeta Galih.
Dia berharap dengan adanya Jalan Salib tersebut, seluruh jemaat khususnya yang berada di GKJW Dawarblandong Mojokerto dapat menjadikan Yesus sebagai teladan bagi kehidupannya.
"Setiap warga jemaat agar Hati, diri dan perbuatannya senantiasa hanya tertuju pada Yesus Sang Penebus, dan Yesus sebagai teladan kehidupannya," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023