Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945  sebagai konstitusi di Indonesia menjamin hak untuk hidup seluruh rakyatnya sebagaimana tertuang di dalam  pasal 28A ayat (1) UUD NRI1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.  

Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), di dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menegaskan bahwa hak hidup adalah suatu hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan.

Ketika kita berbicara mengenai hak untuk hidup, maka tidak akan terlepas dari konsep dasar Hak Asasi Manusia (“HAM”) itu sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian dan konsep dasar dari HAM itu sendiri.


Pengertian Hak Asasi Manusia

Secara historis, teori hak kodrati merupakan gagasan munculnya Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang dikembangkan oleh para filsuf abad pencerahan di Eropa, seperti John Locke, Thomas Paine, dan Jean Jacques Rousseau.

Intisari dari hak kodrati adalah pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak-hak yang melekat pada dirinya, dan karena alasan tersebut haknya tidak dapat dicabut oleh negara. Sebagai hak kodrati, HAM melebur dalam jati diri manusia, dengan kata lain hak tersebut melekat pada diri manusia dan tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, tidak dibenarkan siapa pun mencabut HAM tersebut.

Menurut Muladi,  HAM adalah hak yang melekat secara alamiah/inheren pada diri manusia sejak manusia lahir, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. Karena keberadaannya yang sangat penting, tanpa HAM, manusia tidak dapat mengembangkan bakat dan memenuhi kebutuhannya


Hak Untuk Hidup

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia. Sifat keberadaan hak ini tidak dapat ditawar lagi yang disebut dengan non derogable rights.  

Hak untuk hidup termasuk dalam generasi pertama HAM yang hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri. Hak-hak dalam generasi HAM pertama dikenal dengan hak negatif, yang artinya tidak ada campur tangan negara terhadap hak dan kebebasan individual. Contoh hak-hak tersebut antara lain: Hak untuk hidup; Keutuhan jasmani; Hak kebebasan bergerak; Hak suaka dari penindasan; Perlindungan terhadap hak milik; Kebebasan berpikir; Beragama dan berkeyakinan; Kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran; Hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang; Hak bebas dari penyiksaan; Hak bebas dari hukum berlaku surut, dan Hak mendapatkan proses peradilan yang adil.

Selain dijamin di dalam   Pasal 28A UUD RI 1945, hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (1)  UU HAM yang berbunyi :

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Dari penjelasan Pasal 9 UU HAM di atas dapat diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi.


Hukuman Mati di Indonesia

Hukuman mati di Indonesia diatur dalam  KUHP antara lain :

  • makar dengan maksud membunuh Presiden dan wakil Presiden (Pasal 104 KUHP);
  • melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 ayat (2) KUHP);
  • penghianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 ayat (3) KUHP);
  • menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP);
  • pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat (3) KUHP);
  • pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);
  • pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP);
  • pembajakan di laut yang menyebabkan kematian (Pasal 444 KUHP);
  • kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K ayat (2) dan Pasal 149 O ayat (2) KUHP).

Selain diatur di dalam KUHP, Hukuman mati juga diatur di luar KUHP, salah satunya terkait narkotika yang diatur dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal yang mengatur mengenai hukuman mati yaitu Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), 121 ayat (2) dan 133 ayat (2) UU Narkotika. 

Di dalam Penjelasan Umum UU Narkotika
dijelaskan bahwa pemberatan sanksi pidana salah satunya melalui pidana mati bertujuan untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan untuk menimbulkan efek jera pelaku.

Selain itu, pidana mati juga diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) UU Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bunyinya “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Dari klausula tersebut dapat diketahui bahwa pembentuk Undang-undang serius dalam memberantas tindak pidana korupsi, untuk memberikan efek jera kepada pelaku korupsi dapat dipidana mati.

Selain  diatur di dalam UU tentang Narkotika dan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana mati juga diatur di dalam  Undang-undang  Nomor 5 Tahun 2018, perubahan dari UU Nomor 15 Tahun 2003, hukuman pidana mati diatur ke dalam pasal 14 yang berbunyi:   "setiap orang yang sudah merencanakan atau menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana terorisme sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup."


Hukuman Mati Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan MK menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin UUD 1945, lantaran hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak termasuk hak asasi yang diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945.
 

Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen undang-undang, yakni hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.
 

Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan  United Nations  Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 1. The General Assembly Of The United Nations, By Its Resolutiondan telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Narkotika.

Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Di dalam Putusan MK tersebut  dijelaskan bahwa dalam konvensi tersebut Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati.

Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk ICCPR yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri memperbolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.

Lebih lanjut, melihat pada UU HAM, MK memandang bahwa undang-undang tersebut juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban.

Hal lain yang juga penting diketahui adalah orang yang dijatuhi hukuman mati (terpidana mati) oleh pengadilan masih memiliki upaya hukum lain sehingga masih ada peluang untuk tidak dihukum mati.  

Kesimpulannya, hak untuk hidup dan hukuman mati akan selalu mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, hak untuk hidup memang benar dijamin dalam konstitusi Indonesia, namun di lain sisi hak tersebut juga dapat dibatasi dengan instrumen hukum seperti undang-undang, putusan pengadilan dan konvensi internasional. Konstitusionalitas hukuman mati tersebut diperkuat oleh Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 sebagaimana tersebut di atas.

 

Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pidana mati adalah salah satu jenis pidana pokok sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 KUHP,  Hukuman mati merupakan pidana pokok terberat, disusul pidana penjara, kurungan, denda, dan pidana tutupan. Pengertian hukuman mati menurut  Roeslan Salah dalam Stelsel Pidana Indonesia (1987) menjelaskan, hukuman mati adalah jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia. Bagi kebanyakan negara, hukuman mati tak lagi dilaksanakan dan hanya sebagai kultur historis. Pasalnya, kebanyakan negara-negara sudah tidak mencantumkan pidana mati di dalam kitab undang-undang hukum pidananya.

Hukuman mati yang diberlakukan di negara Republik  Indonesia menjadi pidana paling banyak diperdebatkan, banyak yang pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati.  Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana. Kemudian, menjatuhkan papan tempat terpidana tersebut berdiri. Kendati demikian, ketentuan Pasal 11 KUHP diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati   Pasal 1 UU tersebut mengatur, pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan Peradilan Umum maupun Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Selanjutnya, ketentuan UU Nomor 02/Pnps/1964 ini disempurnakan dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.

Dengan mengacu kepada   UU Nomor 02/Pnps/1964 dan peraturan terkait lainnya ada beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan eksekusi pidana mati, yaitu :

  • 3x24 jam sebelum eksekusi pidana mati, jaksa memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati. Apabila terpidana hamil, maka hukuman mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
  • Sebelum eksekusi, Kapolda membentuk regu tembak yang terdiri dari 1 Bintara, 12 Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira. Semua regu tembak berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob.
  • Selanjutnya, sebagaimana diatur di dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010,  terhadap Terpidana  mati diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati.
  • Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan.
  • 2 jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati, Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan dan Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati,
  • 1 jam sebelum pelaksanaan ekesekusi, Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 meter sampai 10 meter dan kembali ke daerah persiapan.
  • Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan ucapan, "Lapor, pelaksanaan pidana mati siap." Jaksa eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati.
  • Setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan, "Laksanakan." Kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan, "Laksanakan." Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu Penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor.
  • Jaksa eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa.  
  • Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit dengan didampingi seorang rohaniawan.
  • Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak.
  • Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana.
  • Komandan Regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati. Jaksa eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera melaksanakan penembakan terhadap terpidana.
  • Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu Penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana.
  • Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana.
  • Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata.
  • Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak.
  • Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata.
  • Setelah penembakan, Komandan Pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana. Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan pengakhir.
  • Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan pada terpidana. Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan mengucapkan, "Pelaksanaan pidana mati selesai".

Bagaimana kaitannya dengan vonis hukuman mati yang diputus  Majelis Hakim untuk Ferdy Sambo? Mantan Kadiv Propam Polri itu divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir N Yosua Hutabarat. Ferdy Sambo divonis hukuman mati.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan membuat sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya secara bersama-sama,"

"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ferdy Sambo pidana mati,"  kata hakim ketua Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, hari Senin  tanggal 13 Februari 2023. 

Dengan dijatuhi pidana mati terhadap terpidana Sambo, berbagai pertanyaan muncul, termasuk yang mempertanyakan  Apakah vonis hukuman mati bisa banding? Ini menjadi pertanyaan sehubungan dengan vonis hukuman mati Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat.

Menjawab pertanyaan tersebut di atas, dengan mengacu kepada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),  Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.

Sedangkan Menurut Kamus Hukum, banding adalah upaya hukum yang diajukan atas permintaan terdakwa atau penuntut umum kepada pengadilan yang lebih tinggi bila tidak puas terhadap vonis atau putusan hakim di pengadilan tingkat pertama.

Berdasarkan aturan tersebut, maka vonis hukuman mati bisa diajukan banding. Seperti dalam kasus Ferdy Sambo, sebagai terdakwa Sambo berhak mengajukan banding sebagai upaya hukum bila tidak puas terhadap putusan hakim yakni vonis hukuman mati yang diterimanya.


Bagaimana Ketentuan Pengajuan Banding?

Lebih lanjut, terkait ketentuan pengajuan banding dalam hukum pidana di Indonesia tertuang dalam Pasal 233 KUHAP. Pengajuan hukum banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau penuntut umum.

Namun upaya banding hanya dapat dilakukan paling lambat 7 hari setelah vonis atau putusan hakim dijatuhkan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 233 Ayat (2) KUHAP berikut ini:

"Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)  'boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2)."

Dengan demikian, apabila dalam tenggang waktu 7 hari setelah putusan atau vonis tersebut terdakwa atau penuntut umum tidak mengajukan banding, maka dianggap menerima putusan atau vonis yang dijatuhkan terhadapnya. Hal ini berlaku pula terhadap kasus Ferdy Sambo.

Rasa sakit yang dialami terpidana mati karena ditembak merupakan konsekuensi logis yang melekat dalam proses kematian sebagai akibat pelaksanaan hukuman mati. Sehingga, tidak termasuk kategori penyiksaan terhadap diri terpidana mati.  

*) Penulis adalah Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

Pewarta: Dr. Mia Amiati SH, MH

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023