Perjalanan hukum kasus yang melibatkan mantan Kadiv Propram Polri Ferdy Sambo dan sang istri Putri Candrawathi dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, memasuki babak baru yakni pembacaan putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut penjara seumur hidup kepada terdakwa Ferdy Sambo karena menghilangkan nyawa korban dan meninggalkan luka mendalam bagi keluarganya.
Kasus yang bergulir sejak Oktober 2022 itu telah menuai perhatian publik yang tinggi. Tidak hanya masyarakat tetapi juga media dan banyak pihak. Tak heran, pembacaan putusan menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Seorang warga Tangerang, Diana (35), berharap hakim menjatuhkan vonis yang seadil-adilnya kepada terdakwa karena dinilai telah melakukan pembunuhan berencana.
“Berharap (vonis hakim) nanti seadil-adilnya,” kata Diana di Jakarta, Senin.
Pakar hukum Universitas Tarumanagara (Untar) Dr. Hery Firmansyah menilai bahwa sebenarnya masyarakat tidak boleh hanya mengeksklusifkan kasus Sambo dkk. karena masih banyak perkara seperti tindak pidana korupsi, narkotika, dan lainnya yang juga membutuhkan penanganan yang sama seriusnya, serta penting bagi penegakan hukum dan keadilan itu sendiri.
“Seharusnya, kita tidak membedakan kasus hukum itu sendiri meskipun kasus Ferdy Sambo ini menjadi perhatian masyarakat karena seorang polisi terbunuh di rumah jenderal bintang dua. Nah ini menjadi viral. Belum lagi ada kasus obstruction of justice atau tindak pidana untuk menghalangi suatu proses hukum yang melibatkan banyak oknum anggota kepolisian yang terlibat,” kata Hery.
Lamanya proses peradilan dalam kasus tersebut juga dapat menjadi catatan sendiri bagi masyarakat. Apalagi kasus itu melibatkan pihak kepolisian sehingga sebagian masyarakat beranggapan jalannya terjal atau terlalu panjang untuk suatu kasus hukum. Apalagi jika berkaitan dengan masyarakat sipil. Padahal, memang seperti itulah proses penegakan hukum yang harus dilewati.
Lulusan program doktoral dari Untar itu mengakui bahwa kasus Ferdy Sambo dkk. tersebut memang telah menguras banyak waktu, tenaga, pikiran, hingga biaya.
“Ini juga bisa menjadi momentum bagi pihak kepolisian untuk melakukan bersih-bersih secara keseluruhan. Bahwa semua orang di mata hukum itu sama atau equity before the law itu betul-betul ditegakkan,” imbuh dia.
Begitu juga terkait relasi kuasa yang disampaikan oleh terdakwa obstruction of justice karena mengikuti perintah atasan, Hery menilai perlu adanya adanya perbaikan ke depan. Aturan-aturan teknis terkait penolakan-penolakan perintah atasan dapat disosialisasikan lagi ke depan.
Dalam Pasal 51 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana. Akan tetapi, lanjut dia, masih ada ayat 2 yakni mengikuti perintah yang sah dan ada juga perintah tidak sah yang tidak perlu diikuti.
Baca juga: Terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi divonis hari ini
Menanti vonis wakil Tuhan
Hery menjelaskan apa pun vonis hakim pada kasus Sambo dkk. merupakan keputusan dari wakil Tuhan. Karena, setiap proses penegakan hukum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (YME).
Tidak melihat apakah terdakwa itu polisi atau bukan tetapi dilihat dari proses penegakan hukum yang bermuara pada keadilan yang kemudian diselesaikan secara proporsional.
Apalagi dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim yang merupakan wakil Tuhan di dunia mengacu pada tiga dasar utama, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Meski tak menampik bahwa yang dominan adalah keadilan.
“Akan tetapi jangan lupa, dua hal yang lain seperti kepastian hukum dan kemanfaatan jadi bagian yang tak terpisahkan dari keputusan hakim itu sendiri,” kata dia lagi.
Lalu bagaimana jika nantinya vonis hakim jika tak sesuai dengan harapan masyarakat? Hery menilai bahwa masyarakat dapat menciptakan konsekuensinya sendiri melalui berbagai cara.
“Ketika kita sudah melakukan suatu proses dengan sehormat-hormatnya, dengan proses yang secara konstitusional dilewati, kadang ada yang menilai hasil akhirnya saja. Misalnya, kok ini tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Memang bagaimana keadilan masyarakat itu abstrak karena setiap orang memiliki persepsi, punya keinginan yang berbeda,” jelas Hery.
Hakim sebagai wakil Tuhan mencoba merefleksikan apa yang sudah terjadi di proses persidangan. Putusan tersebut itu pada ujung dari proses penegakan hukum. Sebelumnya ada tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan sidang pengadilan.
“Jadi, kalaupun ada putusan hukum dari hakim, yang misalnya harusnya pidana mati, tapi kemudian tidak memutus pidana mati bahkan juga tidak menyentuh putusan yang diharapkan masyarakat sesuai tuntutan jaksa ini, maka kita harus diterima dengan lapang dada,” pesan dia.
Herry juga menyitir istilah hukum yang bermakna bahwa putusan hakim selalu dianggap benar selama belum ada putusan pengadilan di tingkat di atasnya yang kemudian mengoreksi hal itu. Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya.
Tekanan pada hakim
Dalam perjalanan hukum kasus Ferdy Sambo dkk. itu, Hery mengakui bahwa memang ada tekanan psikis yang dialami para hakim. Hal itu terlihat beberapa waktu lalu di jagat maya adanya cuplikan video Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso yang membicarakan vonis Sambo. Dalam kasus-kasus besar memang membutuhkan keberanian.
“Saya bukan hanya dosen dan praktisi, kita paham setiap episode dari proses penegakan hukum, kadang kita merasa pasti menang atau benar tapi putusan yang ada malah sebaliknya,” katanya.
Hal itu merupakan cara penegakan hukum yang harus dipahami. Bahwa dalam proses penegakan hukum pidana, kebenaran materiil yang sejatinya harus dipahami. Hakim juga mempunyai independensi dan kewenangan sesuai dengan UU No. 48/2009 Pasal 5 yang mana hakim dan hakim konstitusi wajib menggali nilai hukum dan nilai keadilan di masyarakat.
Saat ada pertentangan di masyarakat terkait putusan hakim dan ada yang tidak bersepakat maka keputusan hakim itu tidak bisa batal begitu saja. Keputusan itu tetaplah benar, tinggal bagaimana mekanisme banding.
JPU dalam kasus tersebut dapat mempertimbangkan mekanisme banding jika putusan hakim kurang dari dua pertiga tuntutan. Begitu juga dengan terdakwa, juga bisa melakukan banding terkait putusan tersebut pada tingkat yang lebih tinggi lagi.
Dia berharap waktu, pikiran, tenaga, hingga biaya yang dikeluarkan masyarakat dalam mengawal kasus ini tidak sampai menjadi sesuatu yang kontraproduktif dan beranggapan sudah lama mengawal sidang tapi vonisnya hanya segitu.
“Kita juga tidak boleh mengintervensi. Jawaban ini terkesan klise. Di sisi lain, masyarakat juga berhak mengungkapkan, bukan berarti yang boleh berbicara terkait kasus Sambo ini hanya anak fakultas hukum karena sejatinya keadilan itu untuk masyarakat. Justice for all. Keadilan merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar bagi semua orang,” tegas dia.
Ke depan, masyarakat diharapkan memiliki energi dan daya tahan yang sama dalam mengawal berbagai kasus hukum lainnya di Indonesia sehingga proses penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan keadilan bisa diraih.
Apa pun, vonis majelis hakim tidak selalu bisa memuaskan semua pihak.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023