Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan petir atau kilat bisa saja terjadi sebelum atau saat gempa terjadi akibat adanya perbedaan energi potensial antara permukaan bumi dan atmosfer.
"Secara alamiah bisa terjadi. Sebelum terjadi gempa, ada gesekan kecil saat-saat akan patah secara besar sebelumnya. Itu barangkali yang menimbulkan beda (energi) potensial antara permukaan bumi wilayah itu dengan atmosfer sehingga menimbulkan petir," kata Pelaksana tugas Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG Muzli saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Sebelum terjadi gempa bumi, ada tegangan yang tinggi pada patahan yang sudah lama tertahan. Tegangan tersebut bisa memicu kemunculan petir karena perbedaan energi di bawah permukaan bumi dengan yang di atas permukaan.
Kejadian itu, kata Muzli, merupakan salah satu dari rangkaian gempa foreshock, mainshock dan aftershock. Tapi, kemungkinan terjadi petir sebelum gempa bumi sangat jarang terjadi dan tidak umum.
Muzli juga menanggapi banyaknya teori yang mengatakan gempa bumi yang terjadi di Turki, Senin (6/2), disebabkan petir yang menyambar sebelum terjadi gempa. Petir tersebut, menurut teori yang beredar, dikatakan berasal dari teknologi High-frequency Active Auroral Research Programme (HAARP) milik Amerika Serikat.
Muzli mengatakan petir dan gempa bumi tidak bisa diatur dari jarak jauh dengan metode rekayasa tertentu.
Baca juga: Hari ini waspada potensi hujan disertai angin kencang wilayah Jawa Timur
"Bukan karena rekayasa atau metode tertentu atau pemicu dari jarak jauh sehingga timbul petir kemudian menyebabkan terjadinya gempa bumi, menurut saya tidak," kata Muzli.
Situs University of Alaska menyebutkan HAARP yang berbasis di Alaska adalah pemancar berdaya dan berfrekuensi tinggi paling mumpuni di dunia untuk mempelajari ionosfer. Instrumen utama teknologi itu adalah Ionospheric Research Instrument (IRI), berupa susunan antena dipol silang 180 HF yang tersebar di lahan seluas 33 hektar dan mampu memancarkan daya listrik 3,6 megawatt ke atmosfer bagian atas dan ionosfer.
Tujuan penelitian di HAARP adalah untuk melakukan studi mendasar tentang proses fisik yang bekerja di bagian tertinggi atmosfer, yaitu termosfer dan ionosfer. Penelitian itu terbagi dalam dua kategori yakni aktif, yang membutuhkan penggunaan IRI, dan pasif, yang hanya menggunakan instrumen pemantauan.
Terkait gempa yang terjadi di Turki, Muzli mengatakan daerah tersebut berada diantara tiga lempengan besar yaitu lempeng Eurasia, Anatolia, Arabian. Ketiga lempeng tersebut mengakibatkan patahan tektonik yang terdiri dari beberapa segmen yang sudah mulai jenuh sehingga bisa melepaskan energi yang sangat besar.
Akumulasi beberapa segmen patahan itu menyebabkan terjadinya gempa hingga magnitudo 7,8 di sekitar Turki dan Suriah.
“Jadi patahan Anatolia ini mungkin ada beberapa segmen yang patah pada awal, kemudian memicu segmen-segmen di depannya beberapa kilometer patah semua sehingga menjadi magnitudo yang sangat besar, yaitu 7,8,” kata Muzli.
Dalam beberapa gempa besar, seperti di Pidie, Aceh tahun 2006, beredar kabar bahwa warga setempat melihat petir sebelum gempa terjadi. Secara umum, Muzli mengatakan sampai saat ini belum ada bukti secara spesifik apakah benar petir tersebut yang memicu terjadinya gempa dengan magnitudo besar.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023