Judul di atas sepintas mungkin tidak banyak warga Negara Indonesia yang memperhatikan atau memperdulikan, namun hati kecil M. Ali Haidar, salah seorang guru besar dan dosen di Universitas Negeri Surabaya, merasa terusik juga untuk mempertanyakan "apakah Bahasa Indonesia tidak layak untuk menjadi salah satu bahasa petunjuk bagi warga, khusunya jamaah umrah/haji Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit? Saat rombongan jamaah umrah dari Indonesia turun dari pesawat Garuda Airlines tiba di Bandara Haji King Abduaziz sekitar pukul 18.00 waktu Saudi atau sekitar pukul 22.00 WIB, mereka langsung memasuki ruang tunggu dan menempati tempat duduk yang telah tersedia untuk antre menunggu pemeriksaan imigrasi, terang Ali Haidar yang baru pulang menunaikan ibadah Umrah pertengahan Juli 2011. "Sepintas pasti tidak dirasakan oleh jamaah Indonesia saat menginjakkan kaki di ruangan besar dan bersuhu dingin itu bahwa semua papan petunjuk yang ada di sekitarnya hanya berbahasa Arab dan Inggris," paparnya. Ia menuturkan bahwa bagi seseorang yang telah melakukan perjalanan jauh, setibanya di tempat tujuan pasti mencari kamar kecil (toilet). Bagi jamaah tidak menemui kesulitan karena petunjuk yang bisa dibedakan adalah gambar kepala seorang pria bersorban dengan tulisan "Men’s Toilet", sementara untuk puteri gambar kepala wanita berjilbab dengan tulisan "Women’s Toilet". Pasti dalam hati para jamaah berpikir ini bandara internasional jadi tidak perlu ada Bahasa Indonesia. Selama berada di Tanah Suci, para jamaah akan mengunjungi beberapa tempat ibadah. Seperti Raudah di Masjid Nabawi Madinah. Nah di wilayah itu ditulis beberapa sepanduk besar bertuliskan pengumuman dalam Bahasa Arab, Inggris bahkan Bahasa Urdu, yang intinya jamaah dilarang berdesakan karena akan membahayakan diri sendiri dan kesempatan ibadah masih terbuka luas. Bahkan di beberapa tempat lainnya, seperti hotel, restoran atau objek wisata yang banyak diikunjungi wajah-wajah Indonesia, tidak ada sedikitpun kalimat pengumuman atau papan petunjuk arah yang menggunakan Bahasa Indonesia. Bila bertanya kepada petugas yang ada cukup dengan menggunakan bahasa "tarzan". Dan yang paling memprihatinkan saat jamaah berkemas kembali ke Tanah Air harus menunggu di bandara dalam waktu yang cukup lama. Jadwal penerbangan sudah jelas, namun di pintu nomor berapa jamaah menuju ruang pemberangkatan itu belum ada penjelasan. Satu menit sebelum diumumkan dalam Bahasa Inggris dan Arab, di layar monitor tertera nomor pintu yang harus dilalui jamaah Indonesia. Nah bisa dibayangkan ....woww.. ruang bandara yang dipenuhi hampir 90 persen jamaah Indonesia itu serentak menuju pintu pemberangkatan. Yang menjadi pertanyaan mengapa Bahasa Indonesia tidak begitu penting bagi Pemerintah Saudi untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai pengantar, padahal jumlah masyarakat yang menunaikan ibadah haji dan umrah bisa dikatakan mendominasi dibandingkan dengan jamaah dari negara-negara lain. Bahkan sumber dari Depag RI, jumlah warga Indonesia yang menunaikan ibadah haji mencapai 200 ribu lebih setiap tahun atau pada posisi pertama, sementara jumlah terbanyak kedua adalah Warga Turki yang hanya mencapai 50 ribu orang. Sementara di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, pengumuman keberangkatan pesawat bagi penumpang yang tujuannya ke Singapura atau Hong Kong, selalu digunakan Bahasa Mandarin, karena jumlah penumpang sebagian besar Warga China. Mungkinkah Bahasa Indonesia dianggap tidak penting atau …Pemerintah Indonesia yang tidak menganggap hal itu penting untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah Saudi demi harga diri bahasa dan bangsanya ? Atau kita hanya bangga bila petugas imigrasi di Bandara Arab Saudi itu menyapa : "Assalamualaikum … apa kabar Indonesia," kata Ali Haidar yang juga pengamat sosial di Surabaya itu.

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011