"Res judikata pro veritate habitur"
Putusan hakim dianggap benar selama belum dibuktikan atau putusan sebaliknya
Rangkaian persidangan peristiwa pidana yang ramai diperbincangkan di kalangan publik, dari akademisi maupun praktisi hukum, terkait kasus meninggalnya Brigadir Josua akan memasuki babak final. Seluruh rangkaian termasuk pemegang peran penting dalam menangani kasus tersebut yang paling populer dengan sebutan obstruction of justice (tindak pidana menghalangi proses hukum).
Saat ini sudah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan pidana masing-masing, FS dituntut dengan Penjara Seumur hidup, PC dituntut dengan penjara pidana selama 8 (delapan) tahun, Brigadir RE dituntut dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun, sedangkan RR dan KM dituntut dengan pidana penjara masing-masing 8 (delapan) tahun penjara. Tuntutan Jaksa penuntut umum ini seluruhnya sepakat bahwa para terdakwa terbukti bersalah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Atas tuntutan jaksa penuntut umum yang sudah dibacakan di hadapan sidang , memunculkan opini publik yang memantik kontroversi di kalangan masyarakat, terlebih bagi para akademisi dan praktisi hukum tentunya, beberapa pandangan hukum terkait dengan kasus tersebut menuai pro dan kontra, sebab tidak sedikit yang menganggap tidak memenuhi rasa keadilan dalam kasus meninggalnya Brigadir J.
Bagi penasihat hukum, masing-masing memberikan statement yang berbeda-beda dalam merespon balik tuntutan jaksa penuntut umum. Bahkan semua sepakat menyatakan akan memberikan pledoi terhadap tuntutan jaksa penuntut umum yang menjatuhkan sanksi penjara pidana terhadap masing-masing terdakwa.
Pledoi pun sudah dibacakan oleh masing-masing terdakwa dalam kasus ini. Pembacaan pledoi ini dilakukan secara langsung oleh para terdakwa, hanya ada beberapa saja yang diwakilkan oleh penasehat hukumnya. Menariknya, dalam kasus yang menyita perhatian publik tersebut hampir tuntutan jaksa yang dijatuhkan sebagai sanksi penjara pidana meminta untuk dibebaskan karena tidak terbukti ikut serta dalam pembunuhan berencana sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepadanya.
Bahkan bagi terdakwa yang lainnya meminta hakim untuk menurunkan tuntutan jaksa lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum kepada para terdakwa.
Setelah pembacaan pledoi ini, rangkaian persidangan terakhir adalah mendengarkan putusan pengadilan. Putusan pengadilan ini menjadi hak prerogatif hakim yang menyidangkan kasus. Dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya, dasar hakim menjatuhkan putusan adalah berdasarkan apa yang tertulis di dalam Surat Dakwaan, Kendatipun demikian, hakim tidak boleh hanya merujuk kepada batas minimum pembuktian sebagaimana yang telah diatur di dalam KUHAP.
Namun, hakim juga harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan fakta-fakta dan bukti di dalam proses persidangan. Prinsip, hakim tidak boleh ada keraguan (beyond reasonable doubt), prinsip ini harus menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara yang sedang disidangkan sebagai peristiwa pidana yang dilakukan atas perbuatan para terdakwa yang akan dijatuhkan kepadanya, sehingga hakim tidak akan mendapatkan keraguan dalam membuat putusan.
Hakim dalam memutus tidak boleh di intervensi siapapun, karena putusan hakim murni dari hasil kebenaran yang di buktikan di dalam persidangan. Dari perkara a quo, nampak jelas masyarakat menanti kebijaksanaan dari hakim sebagai “Wakil Tuhan” dalam memutus salah atau tidaknya seseorang dalam sebuah perkara yang diajukan kepadanya.
Sebab, putusan hakim inilah yang akan menentukan nasib para terdakwa. Apabila putusan tidak sesuai atau tidak pada tempatnya, maka putusan dianggap tidak adil kepada para pihak. Maka sejatinya putusan haruslah mengandung prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Palu Sang "Wakil Tuhan"
Masyarakat luas dan para pemerhati hukum dan keadilan sedang menunggu tentang berbagai spekulasi untuk dapat menyaksikan putusan hakim. Penantian dalam persidangan terhadap sebuah putusan adalah penantian yang mengandung makna yang sakral, karena hakim harus betul-betul memiliki alasan atau pendapat atau pertimbangan hukum yang jelas dan terukur dalam mengambil putusan.
Karena putusan hakim adalah penentu keadilan, baik atau tidaknya suatu proses peradilan yang sedang berlangsung. Tidaklah menjadi rahasia semata, beberapa putusan hakim yang mengandung keadilan bagi yang membayarnya. Hal ini tampak dari banyaknya kasus-kasus hukum yang menjerat para hakim, bahkan tidak hanya hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi bahkan sudah merambah ke Hakim Agung yang ada di Mahkamah Agung.
Agar hal ini tidak terjadi dalam kasus-kasus yang mendatang, terlebih kasus pembunuhan berencana yang dinakhodai oleh aktor utamanya seorang berpangkat jendral bintang dua yakni Ferdy Sambo, maka diperlukan independensi dari seorang hakim dalam memutus perkara, tidaklah elok apabila hakim dalam memutus suatu perkara yang sedang ditanganinya, jika para hakim melakukan penyelewengan dan atau menggunakan kewenangannya dengan semena-mena atas jabatan atau tupoksinya dalam memutuskan perkara pidana untuk dapat mewujudkan suatu peradilan yang bersih dan adil serta berwibawa di hadapan masyarakat luas.
Harapan masyarakat, terlebih pemerhati hukum dan keadilan, agar putusan hakim ini sangatlah sakral dan memiliki efek yang sangat berdampak kepada seluruh pihak yang terkait dalam perkara pidana, bahkan, putusan hakim menjadi suatu preseden atau yurisprudensi di sebuah negeri, maka putusannya harus dipastikan mencerminkan ke harmonisasi terhadap seluruh lapisan baik yang terdampak oleh putusannya maupun sebagai alat dan bahan yang legal bagi yang membutuhkannya.
Dalam sebuah adagium terkenal dalam system peradilan pidana bahwa Res judikata pro veritate habitur. Adagium ini memberikan suatu ulasan serta penegasan dalam persoalan putusan hakim. Yang mana bahwa putusan hakim yang telah dibacakan di dalam persidangan harus dianggap benar dan tidak dapat dibantahkan terkecuali ada putusan atau pembuktian dalam putusan yang lain dapat membatalkan atau mencabutnya.
Dari adagium tersebut, tegas dan tuntas dalam memberikan penegasan bahwa putusan hakim menjadi hal yang sangat sakral dan bahkan menjadi penentu akhir perjalanan dalam proses penangan pidana atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum demi keadilan, karena tidak bisa dibuat “main-main” bak permainan sandiwara dalam berkeadilan.
Oleh sebab itu, putusan hakim dalam memutus perkara pidana ibarat sebuah fatwa yang berasal dari Sang Penentu yang adil yaitu TUHAN (Allah SWT). Hal ini karena Hakim dijuluki sebagai "Wakil Tuhan" yang dapat memutuskan perkara seseorang apabila ia bersalah atau tidak di dalam tupoksinya masing-masing. Maka, putusan hakim tidaklah suatu yang tabu dan bahkan harus dipatuhi oleh para pihak yang terdampak serta seluruh masyarakat yang ada di bawah lingkup hukum sebuah negara.
Dalam kasus a quo yang sedang hangat diperbincangkan dalam dunia nyata maupun dunia maya, semua masyarakat sangat berharap agar para pelaku harus dihukum sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Untuk itu, hukuman yang dijatuhkan hakim sebagai palu terakhir berada di tangan Palu Sang “Wakil Tuhan”, maka hakim harus berhati-hati dalam memutus perkara a quo jangan sampai ada hati dan jiwa yang dilukai atas ketukan palunya.
Kendatipun demikian, walau ada para pihak yang tidak setuju maka dapat mengajukan upaya hukum baik yang biasa maupun luar biasa. Tetapi yang saat ini kita nanti adalah ketokan Palu Sang "Wakil Tuhan" agar tidak mencederai asas keadilan kepada para pihak.
Sebab Ketokan Palu hakim akan menjadi sejarah yang dapat diabadikan dalam kasus yang menimpa sang Jenderal Polisi, karena polisi sebagai penegak hukum justru menjadi contoh buruk bagi masyarakat dalam penegakan hukum, maka harapan masyarakat proses peradilan pidana dalam perkara pidana ini dapat menjadi babak baru bagi penegak hukum yang lainnya untuk di masa mendatang.
*Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023
Putusan hakim dianggap benar selama belum dibuktikan atau putusan sebaliknya
Rangkaian persidangan peristiwa pidana yang ramai diperbincangkan di kalangan publik, dari akademisi maupun praktisi hukum, terkait kasus meninggalnya Brigadir Josua akan memasuki babak final. Seluruh rangkaian termasuk pemegang peran penting dalam menangani kasus tersebut yang paling populer dengan sebutan obstruction of justice (tindak pidana menghalangi proses hukum).
Saat ini sudah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan pidana masing-masing, FS dituntut dengan Penjara Seumur hidup, PC dituntut dengan penjara pidana selama 8 (delapan) tahun, Brigadir RE dituntut dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun, sedangkan RR dan KM dituntut dengan pidana penjara masing-masing 8 (delapan) tahun penjara. Tuntutan Jaksa penuntut umum ini seluruhnya sepakat bahwa para terdakwa terbukti bersalah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Atas tuntutan jaksa penuntut umum yang sudah dibacakan di hadapan sidang , memunculkan opini publik yang memantik kontroversi di kalangan masyarakat, terlebih bagi para akademisi dan praktisi hukum tentunya, beberapa pandangan hukum terkait dengan kasus tersebut menuai pro dan kontra, sebab tidak sedikit yang menganggap tidak memenuhi rasa keadilan dalam kasus meninggalnya Brigadir J.
Bagi penasihat hukum, masing-masing memberikan statement yang berbeda-beda dalam merespon balik tuntutan jaksa penuntut umum. Bahkan semua sepakat menyatakan akan memberikan pledoi terhadap tuntutan jaksa penuntut umum yang menjatuhkan sanksi penjara pidana terhadap masing-masing terdakwa.
Pledoi pun sudah dibacakan oleh masing-masing terdakwa dalam kasus ini. Pembacaan pledoi ini dilakukan secara langsung oleh para terdakwa, hanya ada beberapa saja yang diwakilkan oleh penasehat hukumnya. Menariknya, dalam kasus yang menyita perhatian publik tersebut hampir tuntutan jaksa yang dijatuhkan sebagai sanksi penjara pidana meminta untuk dibebaskan karena tidak terbukti ikut serta dalam pembunuhan berencana sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepadanya.
Bahkan bagi terdakwa yang lainnya meminta hakim untuk menurunkan tuntutan jaksa lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum kepada para terdakwa.
Setelah pembacaan pledoi ini, rangkaian persidangan terakhir adalah mendengarkan putusan pengadilan. Putusan pengadilan ini menjadi hak prerogatif hakim yang menyidangkan kasus. Dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya, dasar hakim menjatuhkan putusan adalah berdasarkan apa yang tertulis di dalam Surat Dakwaan, Kendatipun demikian, hakim tidak boleh hanya merujuk kepada batas minimum pembuktian sebagaimana yang telah diatur di dalam KUHAP.
Namun, hakim juga harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan fakta-fakta dan bukti di dalam proses persidangan. Prinsip, hakim tidak boleh ada keraguan (beyond reasonable doubt), prinsip ini harus menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara yang sedang disidangkan sebagai peristiwa pidana yang dilakukan atas perbuatan para terdakwa yang akan dijatuhkan kepadanya, sehingga hakim tidak akan mendapatkan keraguan dalam membuat putusan.
Hakim dalam memutus tidak boleh di intervensi siapapun, karena putusan hakim murni dari hasil kebenaran yang di buktikan di dalam persidangan. Dari perkara a quo, nampak jelas masyarakat menanti kebijaksanaan dari hakim sebagai “Wakil Tuhan” dalam memutus salah atau tidaknya seseorang dalam sebuah perkara yang diajukan kepadanya.
Sebab, putusan hakim inilah yang akan menentukan nasib para terdakwa. Apabila putusan tidak sesuai atau tidak pada tempatnya, maka putusan dianggap tidak adil kepada para pihak. Maka sejatinya putusan haruslah mengandung prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Palu Sang "Wakil Tuhan"
Masyarakat luas dan para pemerhati hukum dan keadilan sedang menunggu tentang berbagai spekulasi untuk dapat menyaksikan putusan hakim. Penantian dalam persidangan terhadap sebuah putusan adalah penantian yang mengandung makna yang sakral, karena hakim harus betul-betul memiliki alasan atau pendapat atau pertimbangan hukum yang jelas dan terukur dalam mengambil putusan.
Karena putusan hakim adalah penentu keadilan, baik atau tidaknya suatu proses peradilan yang sedang berlangsung. Tidaklah menjadi rahasia semata, beberapa putusan hakim yang mengandung keadilan bagi yang membayarnya. Hal ini tampak dari banyaknya kasus-kasus hukum yang menjerat para hakim, bahkan tidak hanya hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi bahkan sudah merambah ke Hakim Agung yang ada di Mahkamah Agung.
Agar hal ini tidak terjadi dalam kasus-kasus yang mendatang, terlebih kasus pembunuhan berencana yang dinakhodai oleh aktor utamanya seorang berpangkat jendral bintang dua yakni Ferdy Sambo, maka diperlukan independensi dari seorang hakim dalam memutus perkara, tidaklah elok apabila hakim dalam memutus suatu perkara yang sedang ditanganinya, jika para hakim melakukan penyelewengan dan atau menggunakan kewenangannya dengan semena-mena atas jabatan atau tupoksinya dalam memutuskan perkara pidana untuk dapat mewujudkan suatu peradilan yang bersih dan adil serta berwibawa di hadapan masyarakat luas.
Harapan masyarakat, terlebih pemerhati hukum dan keadilan, agar putusan hakim ini sangatlah sakral dan memiliki efek yang sangat berdampak kepada seluruh pihak yang terkait dalam perkara pidana, bahkan, putusan hakim menjadi suatu preseden atau yurisprudensi di sebuah negeri, maka putusannya harus dipastikan mencerminkan ke harmonisasi terhadap seluruh lapisan baik yang terdampak oleh putusannya maupun sebagai alat dan bahan yang legal bagi yang membutuhkannya.
Dalam sebuah adagium terkenal dalam system peradilan pidana bahwa Res judikata pro veritate habitur. Adagium ini memberikan suatu ulasan serta penegasan dalam persoalan putusan hakim. Yang mana bahwa putusan hakim yang telah dibacakan di dalam persidangan harus dianggap benar dan tidak dapat dibantahkan terkecuali ada putusan atau pembuktian dalam putusan yang lain dapat membatalkan atau mencabutnya.
Dari adagium tersebut, tegas dan tuntas dalam memberikan penegasan bahwa putusan hakim menjadi hal yang sangat sakral dan bahkan menjadi penentu akhir perjalanan dalam proses penangan pidana atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum demi keadilan, karena tidak bisa dibuat “main-main” bak permainan sandiwara dalam berkeadilan.
Oleh sebab itu, putusan hakim dalam memutus perkara pidana ibarat sebuah fatwa yang berasal dari Sang Penentu yang adil yaitu TUHAN (Allah SWT). Hal ini karena Hakim dijuluki sebagai "Wakil Tuhan" yang dapat memutuskan perkara seseorang apabila ia bersalah atau tidak di dalam tupoksinya masing-masing. Maka, putusan hakim tidaklah suatu yang tabu dan bahkan harus dipatuhi oleh para pihak yang terdampak serta seluruh masyarakat yang ada di bawah lingkup hukum sebuah negara.
Dalam kasus a quo yang sedang hangat diperbincangkan dalam dunia nyata maupun dunia maya, semua masyarakat sangat berharap agar para pelaku harus dihukum sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Untuk itu, hukuman yang dijatuhkan hakim sebagai palu terakhir berada di tangan Palu Sang “Wakil Tuhan”, maka hakim harus berhati-hati dalam memutus perkara a quo jangan sampai ada hati dan jiwa yang dilukai atas ketukan palunya.
Kendatipun demikian, walau ada para pihak yang tidak setuju maka dapat mengajukan upaya hukum baik yang biasa maupun luar biasa. Tetapi yang saat ini kita nanti adalah ketokan Palu Sang "Wakil Tuhan" agar tidak mencederai asas keadilan kepada para pihak.
Sebab Ketokan Palu hakim akan menjadi sejarah yang dapat diabadikan dalam kasus yang menimpa sang Jenderal Polisi, karena polisi sebagai penegak hukum justru menjadi contoh buruk bagi masyarakat dalam penegakan hukum, maka harapan masyarakat proses peradilan pidana dalam perkara pidana ini dapat menjadi babak baru bagi penegak hukum yang lainnya untuk di masa mendatang.
*Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023