Surabaya - Lembaga bantuan hukum Surabaya melapor ke komisi yudisial menyikapi bebasnya perambah hutan lindung di Banyuwangi John Robert Andreas dalam sidang perkara penebangan tidak sah di PN Banyuwangi beberapa waktu lalu. "Kami melaporkan majelis hakim ke KY dan kami juga aparat kepolisian setempat ke Kapolda Jatim," kata Wakil Direktur LBH Surabaya M Rizal SH di Surabaya, Rabu. Didampingi Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya M Faiq Assiddiqi SH ia mengemukakan hal itu saat menerima Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) "Wono Lestari" Banyuwangi Suwignyo, Eko Suryono (Lembaga Kajian Pertambangan dan Lingkungan/LKPL), dan SCWI. Menurut dia, bebasnya terdakwa "illegal logging" yang melakukan "kapling" terhadap hutan lindung di Banyuwangi itu akan menjadi preseden buruk untuk peluang terjadinya perampokan hutan milik negara dimana-mana. "Apalagi, terdakwa melakukan rekayasa dokumen dengan mengklaim hutan lindung melalui HGU Nomer 2, lalu terdakwa juga memobilisasi massa untuk merambah hutan lindung dengan janji akan diberi bagian kayu dan tanah, sehingga masyarakat tertarik," katanya. Namun, katanya, hal itu akan memicu benturan antarmasyarakat desa setempat, padahal terdakwa sebenarnya ingin merambah hutan lindung yang akan merugikan masyarakat akibat kerusakan lingkungan yang berjarak hanya 100-an meter dari perkampungan. "Karena itu, kami juga akan menyurati Presiden, Menteri Kehutanan, dan Dirut Perhutani agar pembalakan liar dapat dicegah dan kerusakan lingkungan dapat diantisipasi. Kalau tidak, hutan lindung akan habis," katanya. Dalam pengaduan ke LBH Surabaya, Sekretaris LMDH 'Wono Lestari' Banyuwangi Suwignyo menegaskan bahwa dokumen HGU Nomer 2 yang diklaim pengusaha asal Surabaya, John Robert Andreas, tidak memiliki landasan hukum yang kuat. "Di Banyuwangi ada 3.409 hektare hutan yakni 438 hektare merupakan hutan konservasi atau hutan produksi dan sisanya merupakan hutan lindung. Semuanya tercatat dalam Petak 66-H dalam naungan RPH Selogiri, BKPH Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur," katanya. Anehnya, terdakwa John Robert Andreas menunjukkan HGU Nomer 2 dan surat permohonan perpanjangan HGU yang dijadikan dasar hukum oleh majelis hakim untuk membebaskan terdakwa, karena pemilik HGU yang pertama berhak mendapatkan prioritas. "Padahal, HGU Nomer 2 itu sudah habis tahun 1975 dan BPN sudah menerbitkan HGU Nomer 10 yang mencakup HGU Nomer 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dalam satu HGU (HGU Nomer 10). Dengan adanya HGU Nomer 10 itu, maka surat permohonan John Robert Andreas tidak memiliki kekuatan hukum," katanya. Selain itu, katanya, HGU yang dimiliki John Robert Andreas itu menyebut HGU Kali Selogiri, sehingga dokumen itu bukan landasan hukum yang kuat untuk mengklaim HGU Nomer 10 yang merupakan HGU Selogiri. "Kali Selogiri dan Selogiri itu dua lokasi yang berbeda sekali," katanya. Oleh karena itu, katanya, pemerintah dan aparat penegak hukum harus memiliki data yang utuh agar tidak tertipu dengan dokumen dari John Robert Andreas yang belum tentu benar, apalagi Keppres 32/2010 melarang penebangan di kawasan hutan lindung. "Terdakwa sudah menebang 50 pohon jati dari 530 pohon jati yang ada, karena itu penebangan harus dihentikan agar hutan negara tidak habis dan banjir menimpa masyarakat desa setempat," katanya. Sementara itu, Eko Suryono dari LKPL Banyuwangi menambahkan John Robert Andreas juga melanggar aturan penebangan kayu yakni penebangan kayu harus mengantongi izin dari Dinas Kehutanan setempat, apakah kayu milik sendiri atau milik orang lain. "Aturan yang juga dilanggar adalah kayu di kawasan hutan lindung itu tidak boleh ditebang, apalagi di kawasan hutan dengan kemiringan 40 derajat lebih, karena kawasan itu merupakan kawasan hutan penyangga. Selain itu, dokumen HGU John Robert juga tidak benar," katanya.

Pewarta:

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011