Surabaya - Perkembangan pendidikan di Indonesia dinilai belum mendidik tingkat kreativitas anak karena hanya mengukur kepintaran mereka melalui besaran nilai studi di masing - masing sekolahnya. "Padahal, pendidikan di Tanah Air harus berkembang seiring kemajuan zaman dan tidak selalu mengutamakan nilai pelajaran," kata Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Prof Dr Zainudin Maliki, ditemui dalam seminar pendidikan bertema "Pendidikan Berkarakter Tingkatkan Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti", di gedung PT Pembangkitan Jawa - Bali (PJB) Surabaya, Sabtu. Menurut dia, akibat paradigma yang mengutamakan nilai pelajaran di sekolah dibandingkan kreativitas anak, maka sampai saat ini banyak bermunculan kasus contek massal dalam pelaksanaan ujian nasional. "Tahun ini, kasus contek massal ikut diramaikan dengan kasus pengusiran keluarga karena perbuatan baiknya mengungkap aksi contek Ujian Nasional di sekolahnya," ujarnya. Untuk itu, jelas dia, kini ada baiknya para pelaku pendidikan melakukan beberapa upaya dengan tujuan segera memperbaiki kondisi tersebut. Salah satunya, memberikan penyadaran dan tambahan pengetahuan secara berkesinambungan pada para pengajar yang menjadi garda terdepan dalam dunia pendidikan. "Terkait kasus contek massal yang juga terjadi di hampir penjuru Nusantara, tindakan tersebut dikarenakan adanya sesuatu yang mulai luntur dari ranah pendidikan nasional," katanya. Situasi tersebut, dibenarkan oleh Guru Sekolah Dasar Muhammadiyah Belitung "Laskar Pelangi", Muslimah. Ia menilai, tren pendidikan di Tanah Air masih mengejar angka semata. "Sementara, tidak semua anak memiliki kemampuan setara di bidang akademik mengingat sisi nonakademik mereka kadang lebih besar. Untuk itu, kalau tren mengejar angka tetap menjadi acuan bagaimana bangsa ini bisa berkembang," katanya. Ke depan, saran dia, untuk mengantisipasi contek massal di dalam negeri bisa dengan meningkatkan jumlah guru bersertifikasi. Pihaknya meyakini, bila guru yang mendidik generasi penerus bangsa memiliki sertifikasi maka perkembangan pendidikan nasional bisa menyaingi negara tetangga. "Memang, contek massal adalah upaya mengubah nasib dengan hasil akhir angka kelulusan sangat baik. Akan tetapi, tindakan tersebut sangat tidak terpuji. Apalagi, jika yang menyuruh tren contek itu seorang guru," katanya. Sementara Wali Kota Surabaya, Bambang D H, mengamini, hasil akhir berupa nilai mata pelajaran tertentu bukan merupakan tolok ukur baik bagi seluruh anak didik. Bahkan, menilai lulus tidaknya murid di tingkat SD, SMP, dan SMA dengan melihat angka akhir dari empat mata pelajaran yang diujikan pada ujian nasional selama ini tidak adil. "Kami bangga dengan diadakannya kegiatan ini. Kami harap para peserta seminar mulai dari kalangan pendidik, masyarakat, dan pemerhati pendidikan di lingkungan Surabaya dapat mencitrakan dirinya lebih baik lagi," katanya. Terkait pelaksanaan ajang diskusi tersebut, lanjut dia, dilakukan atas kerja sama PT Pembangkitan Jawa - Bali (PT PJB) dengan Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Surabaya. Dalam kesempatan itu, PT PJB memberikan apresiasi terhadap siswa-siswi berprestasi dalam ujian nasional 2011. Mereka yang mendapat peringkat I berhak memperoleh penghargaan Rp10 juta per orang, Rp7,5 juta per anak yang meraih peringkat II, dan Rp5 juta bagi peraih peringkat III.

Pewarta:

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011