Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Wahid Wahyudi mengimbau orang tua siswa di Surabaya memperketat pengawasan agar anaknya tidak terlibat dengan sekelompok pemuda yang menamakan dirinya gangster.
"Saya sudah perintahkan kepada para kepala cabang dinas agar melakukan koordinasi dengan para kepala SMA/SMK untuk mengimbau orang tua agar melakukan pengawasan lebih ketat kepada putra-putrinya. Jika tidak ada kepentingan jelas maka jangan keluar rumah," kata Wahid dihubungi di Surabaya, Minggu.Wahid menyebut aksi gangster tersebut cukup meresahkan warga Surabaya beberapa pekan terakhir. Bahkan satu nyawa menjadi korban akibat ulah mereka.
Sementara itu, Dosen Prodi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Sugeng Harianto MSi menyebut, munculnya gangster di Surabaya menjadi fenomena yang cukup mengejutkan.
"Selama ini fenomena gangster hanya ditemukan di Jakarta dan sejumlah daerah di Jawa Barat," katanya.
Dia menjelaskan, tawuran antargangster yang terjadi di Surabaya merupakan salah satu permasalahan sosial. Dalam konteks ini adalah kenakalan remaja yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat di kota besar seperti Surabaya.
"Gangster merupakan sub kebudayaan menyimpang yang dikembangkan dan dilakukan oleh anak-anak usia muda. Mereka membentuk in group (kelompok dalam)," katanya.
Sub kebudayaan menyimpang yang dilakukan gangster, lanjut dia, boleh merupakan resistensi terhadap kondisi masyarakat yang senjang dan tidak adil.
"Anggota gangster ini boleh jadi berasal dari strata sosial bawah, yang sehari-hari hidup di tengah-tengah kemiskinan orang tua dan masyarakat sekelilingnya. Mereka sudah bosan menyaksikan masyarakatnya yang senjang, tidak adil, dan miskin," ungkapnya.
Munculnya gangster bisa dilacak akarnya pada struktur sosial masyarakat itu sendiri. Misalnya saja seperti masyarakat Surabaya yang tidak bisa dipungkiri dengan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi.
Mereka menjadi bagian dari masyarakat yang mengalami marginalisasi. Selain itu, mereka adalah kelompok masyarakat yang pesimistis menatap masa depan.
"Masa depan yang sejahtera bukan milik mereka. Mereka merasa terpinggirkan. Meskipun struktur masyarakat bersifat terbuka, namun mereka pesimistis bisa melakukan mobilitas sosial. Berbagai saluran mobilitas sosial seperti pendidikan dan pekerjaan seolah-olah menutup akses mereka," ucapnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022