Belakangan ini kita dihebohkan video porno berjudul Kebaya Merah yang viral di media sosial Twitter. Video tersebut ramai diperbincangkan, bukan saja karena video asusila, namun karena pemerannya memakai kebaya berwarna merah yang merupakan pakaian khas dari Indonesia.
Polisi bergerak cepat mengidentifikasi video tersebut. Hasilnya, diketahui bahwa video berdurasi sekitar 16 menit tersebut dibuat di sebuah hotel di kawasan Gubeng, Surabaya.
Selanjutnya. pemeran laki-laki berinisial ACS dan perempuan AH diamankan aparat Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim. Dari pengakuan mereka kepada penyidik, diketahui keduanya membuat video porno karena pesanan dari sebuah akun Twitter.
Yang lebih mencengangkan video tersebut bukanlah video pertama yang dibuat pasangan kekasih itu, Setidaknya sudah ada sebanyak 92 video porno dengan berbagai macam judul yang dibuat kedua.
ACS mengaku dibayar Rp750 ribu untuk satu video porno. Harga tersebut tentu sangat murah jika dibandingkan kerugiannya karena harus mendekam di balik jeruji penjara.
Tak berhenti sampai di situ, Polda Jatim kemudian menangkap seorang mahasiswi asal Bali yang tinggal di Kabupaten Sidoarjo berinisial CZ yang diduga terlibat dalam pembuatan video porno "Kebaya Merah". CZ pun langsung ditetapkan sebagai tersangka menyusul ACS dan AH.
Dari kasus tersebut muncul fakta bahwa sang pemeran perempuan AH mengidap kepribadian ganda. Fakta tersebut terungkap setelah polisi menemukan kartu kuning, dan beberapa faktur tanda berobat di salah satu rumah sakit yang ada di Surabaya.
Fenomena video porno "Kebaya Merah" memperlihatkan bahwa ada perubahan di bisnis pornografi. Dari dulu yang hanya berbentuk kaset atau hanya di situs pornografi, kini mudah ditemui di media sosial.
Memang harus diakui perubahan zaman membuat semua semakin mudah, tak terkecuali mengakses video porno. Sebab, meski Kominfo rajin memblokir situs berbau pornografi, tapi tidak bisa dipungkiri masyarakat masih mudah mengakses konten-konten tersebut.
Fakta-fakta video "Kebaya Merah" membuka mata bahwa konten pornografi sangat mudah ditemukan, utamanya di media sosial. Untuk itu, perlu adanya pengawasan lebih dari pihak. Apalagi anak-anak mayoritas mempunyai telepon pintar. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Polisi bergerak cepat mengidentifikasi video tersebut. Hasilnya, diketahui bahwa video berdurasi sekitar 16 menit tersebut dibuat di sebuah hotel di kawasan Gubeng, Surabaya.
Selanjutnya. pemeran laki-laki berinisial ACS dan perempuan AH diamankan aparat Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim. Dari pengakuan mereka kepada penyidik, diketahui keduanya membuat video porno karena pesanan dari sebuah akun Twitter.
Yang lebih mencengangkan video tersebut bukanlah video pertama yang dibuat pasangan kekasih itu, Setidaknya sudah ada sebanyak 92 video porno dengan berbagai macam judul yang dibuat kedua.
ACS mengaku dibayar Rp750 ribu untuk satu video porno. Harga tersebut tentu sangat murah jika dibandingkan kerugiannya karena harus mendekam di balik jeruji penjara.
Tak berhenti sampai di situ, Polda Jatim kemudian menangkap seorang mahasiswi asal Bali yang tinggal di Kabupaten Sidoarjo berinisial CZ yang diduga terlibat dalam pembuatan video porno "Kebaya Merah". CZ pun langsung ditetapkan sebagai tersangka menyusul ACS dan AH.
Dari kasus tersebut muncul fakta bahwa sang pemeran perempuan AH mengidap kepribadian ganda. Fakta tersebut terungkap setelah polisi menemukan kartu kuning, dan beberapa faktur tanda berobat di salah satu rumah sakit yang ada di Surabaya.
Fenomena video porno "Kebaya Merah" memperlihatkan bahwa ada perubahan di bisnis pornografi. Dari dulu yang hanya berbentuk kaset atau hanya di situs pornografi, kini mudah ditemui di media sosial.
Memang harus diakui perubahan zaman membuat semua semakin mudah, tak terkecuali mengakses video porno. Sebab, meski Kominfo rajin memblokir situs berbau pornografi, tapi tidak bisa dipungkiri masyarakat masih mudah mengakses konten-konten tersebut.
Fakta-fakta video "Kebaya Merah" membuka mata bahwa konten pornografi sangat mudah ditemukan, utamanya di media sosial. Untuk itu, perlu adanya pengawasan lebih dari pihak. Apalagi anak-anak mayoritas mempunyai telepon pintar. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022