Pakar Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof. Junaidi Khotib, SSi, Apt, MKes, PhD memberikan tip memilih obat yang aman untuk anak seiring dengan maraknya kasus gagal ginjal akut diduga dipicu oleh obat-obatan sirop.
"Setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan," ujar Prof Junaidi Khotib dalam keterangan tertulisnya di Surabaya, Jumat.
Prof. Junaidi mengimbau masyarakat untuk tetap mengikuti informasi dan sumber resmi dari pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Masyarakat harus mengikuti informasi dan sumber resmi pemerintah, karena yang tahu dan berwenang dalam menentukan penundaan, atau penarikan obat mengandung etilen glikol dan dietilen glikol kan pemerintah. Terlebih lagi sekarang sudah ada daftar obat-obat yang ditarik, sehingga masyarakat bisa mengacu ke sana, Insya Allah aman," ujar dia.
Baca juga: RSUD Saiful Anwar rawat satu pasien gagal ginjal akut
Lebih lanjut, Prof Junaidi mengimbau, masyarakat untuk tidak serta merta menelan mentah-mentah informasi terkait obat-obatan di media sosial. Pasalnya, media sosial kerap kali menjadi sumber informasi yang tidak benar (hoaks).
"Masalahnya, masyarakat sering ambil informasi di media sosial yang mana semua orang bisa memasukkan dan menyebarkan info di sana, sehingga masyarakat harus lebih bijak dalam memperoleh informasi dan sumber terkait obat-obatan itu tadi," kata dia.
Beralih sediaan obat
Dalam paparannya, Prof Junaidi juga mengingatkan bahwa selain bentuk sirup, terdapat bentuk sediaan obat lain yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak.
Salah satu bentuk sediaan obat tersebut ialah puyer. Beralih bentuk sediaan obat, ujar Prof Junaidi, bisa menjadi salah satu opsi aman dalam memilih obat untuk anak.
"Kedua, tentu tidak satu-satunya sirop itu bentuk sediaan yang bisa diberikan pada anak. Ada bentuk sediaan lain, misalnya puyer, itu juga bisa digunakan," katanya.
"Meskipun mungkin rasanya pahit, tetapi ini bisa menjadi opsi di tengah maraknya kasus ini," kata dia.
Libatkan dokter
Terakhir, Prof Junaidi menambahkan, masyarakat harus melibatkan peran serta dokter dan apoteker dalam menentukan obat aman bagi anak. Keduanya memiliki andil penting dalam memberikan bantuan konsultasi serta resep obat pada masyarakat.
"Ketika obat-obat tersebut harus dengan resep dokter, maka tentu saja mereka harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter, sebelum selanjutnya datang ke apotek. Di apotek, mereka bertemu apoteker, di sana apoteker pasti memberikan informasi mana obat yang baik, aman, serta tidak menimbulkan potensi gagal ginjal," ujarnya.
Prof Junaidi berpesan pada masyarakat untuk tidak panik dalam menghadapi situasi ini. Namun demikian, masyarakat tetap harus waspada agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.
"Saya harap masyarakat juga tidak panik dengan hal yang sedang kita hadapi ini. Tentu semua prihatin. Oleh karena itu, kejadian ini harus kita waspadai agar tidak terjadi di masa mendatang," kata dia.(*)
Baca juga: BPOM temukan 6.001 tautan penjualan obat berisiko merusak ginjal
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
"Setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan," ujar Prof Junaidi Khotib dalam keterangan tertulisnya di Surabaya, Jumat.
Prof. Junaidi mengimbau masyarakat untuk tetap mengikuti informasi dan sumber resmi dari pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Masyarakat harus mengikuti informasi dan sumber resmi pemerintah, karena yang tahu dan berwenang dalam menentukan penundaan, atau penarikan obat mengandung etilen glikol dan dietilen glikol kan pemerintah. Terlebih lagi sekarang sudah ada daftar obat-obat yang ditarik, sehingga masyarakat bisa mengacu ke sana, Insya Allah aman," ujar dia.
Baca juga: RSUD Saiful Anwar rawat satu pasien gagal ginjal akut
Lebih lanjut, Prof Junaidi mengimbau, masyarakat untuk tidak serta merta menelan mentah-mentah informasi terkait obat-obatan di media sosial. Pasalnya, media sosial kerap kali menjadi sumber informasi yang tidak benar (hoaks).
"Masalahnya, masyarakat sering ambil informasi di media sosial yang mana semua orang bisa memasukkan dan menyebarkan info di sana, sehingga masyarakat harus lebih bijak dalam memperoleh informasi dan sumber terkait obat-obatan itu tadi," kata dia.
Beralih sediaan obat
Dalam paparannya, Prof Junaidi juga mengingatkan bahwa selain bentuk sirup, terdapat bentuk sediaan obat lain yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak.
Salah satu bentuk sediaan obat tersebut ialah puyer. Beralih bentuk sediaan obat, ujar Prof Junaidi, bisa menjadi salah satu opsi aman dalam memilih obat untuk anak.
"Kedua, tentu tidak satu-satunya sirop itu bentuk sediaan yang bisa diberikan pada anak. Ada bentuk sediaan lain, misalnya puyer, itu juga bisa digunakan," katanya.
"Meskipun mungkin rasanya pahit, tetapi ini bisa menjadi opsi di tengah maraknya kasus ini," kata dia.
Libatkan dokter
Terakhir, Prof Junaidi menambahkan, masyarakat harus melibatkan peran serta dokter dan apoteker dalam menentukan obat aman bagi anak. Keduanya memiliki andil penting dalam memberikan bantuan konsultasi serta resep obat pada masyarakat.
"Ketika obat-obat tersebut harus dengan resep dokter, maka tentu saja mereka harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter, sebelum selanjutnya datang ke apotek. Di apotek, mereka bertemu apoteker, di sana apoteker pasti memberikan informasi mana obat yang baik, aman, serta tidak menimbulkan potensi gagal ginjal," ujarnya.
Prof Junaidi berpesan pada masyarakat untuk tidak panik dalam menghadapi situasi ini. Namun demikian, masyarakat tetap harus waspada agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.
"Saya harap masyarakat juga tidak panik dengan hal yang sedang kita hadapi ini. Tentu semua prihatin. Oleh karena itu, kejadian ini harus kita waspadai agar tidak terjadi di masa mendatang," kata dia.(*)
Baca juga: BPOM temukan 6.001 tautan penjualan obat berisiko merusak ginjal
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022