Pengamat ekonomi Universitas Jember Adhitya Wardhono PhD mengatakan kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) merupakan langkah meredam ekspektasi inflasi yang tinggi (overshoting) akibat tekanan dari sektor eksternal.
"Kenaikan suku bunga oleh BI merupakan langkah dalam menekan laju inflasi dan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis malam.
Bank Indonesia kembali menggerek suku bunganya sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen pada rapat Dewan Gubernur pada Oktober 2022 dan kenaikan tersebut tidak dapat dihindari.
"Hal itu menjadi langkah pendahuluan untuk memastikan inflasi inti kembali ke sasaran di semester pertama 2023 dan inflasi Indonesia pada September 2022 jauh di luar sasaran yaitu sebesar 5,95," tuturnya.
Sejauh ini, lanjut dia, inflasi domestik juga tidak menunjukkan penurunan di tengah tekanan internal (dampak tidak langsung dari BBM dan aspek produksi dan konsumsi yang masih terus meningkat).
Selain itu, Isu resesi global yang semakin berhembus kencang membumbui pesimisme pelaku ekonomi. Beberapa biangnya adalah gangguan rantai pasok dan ledakan harga komoditas akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang menjadi penyebab utama peningkatan inflasi global.
"Pengetatan moneter yang dilakukan sejumlah negara untuk meredam inflasi yang terlalu tinggi menyebabkan perekonomian dunia menjadi lebih kaku, sehingga menyebabkan pelaku ekonomi berekspektasi bahwa isu stagflasi bisa menjadi keniscayaan," katanya.
Dari sisi nilai tukar rupiah, lanjutnya, potensi pengetatan moneter di sejumlah negara masih perlu diwaspadai dan pada Oktober tercatat nilai rupiah jatuh di atas Rp15.000 akibat derasnya capital outflow sebagai impak suku bunga luar negeri yang lebih bergairah.
"Oleh karena itu, Bank Indonesia mau tidak mau perlu menaikkan suku bunga sampai taraf tertentu untuk menekan inflasi, stabilisasi nilai tukar rupiah dan guna menjaga rupiah agar tetap terlihat menarik," ucap pakar moneter itu.
Walaupun capital outflow tidak sepenuhnya dapat dibendung, paling tidak BI memberikan policy stance yang jelas untuk menjaga ekspektasi para agen ekonomi.
Adhitya menjelaskan hasil rapat Dewan Gubernur BI pada Oktober 2022 yang menaikkan lagi suku bunga bisa jadi memiliki alasan mendasar untuk melindungi aset terutama aset rupiah dipandang menarik bagi investor portofolio asing.
"Kenaikan itu tentunya sudah diperkirakan dan dihitung agar tidak menggerus dan mendistorsi target laju pertumbuhan ekonomi pasca pandemi," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
"Kenaikan suku bunga oleh BI merupakan langkah dalam menekan laju inflasi dan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis malam.
Bank Indonesia kembali menggerek suku bunganya sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen pada rapat Dewan Gubernur pada Oktober 2022 dan kenaikan tersebut tidak dapat dihindari.
"Hal itu menjadi langkah pendahuluan untuk memastikan inflasi inti kembali ke sasaran di semester pertama 2023 dan inflasi Indonesia pada September 2022 jauh di luar sasaran yaitu sebesar 5,95," tuturnya.
Sejauh ini, lanjut dia, inflasi domestik juga tidak menunjukkan penurunan di tengah tekanan internal (dampak tidak langsung dari BBM dan aspek produksi dan konsumsi yang masih terus meningkat).
Selain itu, Isu resesi global yang semakin berhembus kencang membumbui pesimisme pelaku ekonomi. Beberapa biangnya adalah gangguan rantai pasok dan ledakan harga komoditas akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang menjadi penyebab utama peningkatan inflasi global.
"Pengetatan moneter yang dilakukan sejumlah negara untuk meredam inflasi yang terlalu tinggi menyebabkan perekonomian dunia menjadi lebih kaku, sehingga menyebabkan pelaku ekonomi berekspektasi bahwa isu stagflasi bisa menjadi keniscayaan," katanya.
Dari sisi nilai tukar rupiah, lanjutnya, potensi pengetatan moneter di sejumlah negara masih perlu diwaspadai dan pada Oktober tercatat nilai rupiah jatuh di atas Rp15.000 akibat derasnya capital outflow sebagai impak suku bunga luar negeri yang lebih bergairah.
"Oleh karena itu, Bank Indonesia mau tidak mau perlu menaikkan suku bunga sampai taraf tertentu untuk menekan inflasi, stabilisasi nilai tukar rupiah dan guna menjaga rupiah agar tetap terlihat menarik," ucap pakar moneter itu.
Walaupun capital outflow tidak sepenuhnya dapat dibendung, paling tidak BI memberikan policy stance yang jelas untuk menjaga ekspektasi para agen ekonomi.
Adhitya menjelaskan hasil rapat Dewan Gubernur BI pada Oktober 2022 yang menaikkan lagi suku bunga bisa jadi memiliki alasan mendasar untuk melindungi aset terutama aset rupiah dipandang menarik bagi investor portofolio asing.
"Kenaikan itu tentunya sudah diperkirakan dan dihitung agar tidak menggerus dan mendistorsi target laju pertumbuhan ekonomi pasca pandemi," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022