Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membeberkan sebanyak 3.172.498 atau sebesar 4,79 persen keluarga terdata yang hidup di Indonesia telah mengalami konflik cerai hidup.
“Sedangkan keluarga terdata yang tidak memiliki konflik cerai hidup di Indonesia itu ada sebanyak 95,21 persen,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Nopian Andusti dalam Sosialisasi Indeks Pembangunan Keluarga yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Nopian membeberkan penjumlahan tersebut di dapat dari pendataan keluarga pada tahun 2021 yang berhasil mengunjungi sebanyak 68.478.139 keluarga, di luar Provinsi DKI Jakarta. Perolehan data itu juga melebihi target yang tetapkan, di mana target semula adalah mendata 66.828.571 keluarga atau capaiannya 102 persen.
Data itu kemudian menghasilkan capaian dari kinerja pemerintah yang terkait dengan pembangunan keluarga dan dituangkan dalam IBangga.
Dalam IBangga yang digunakan sebagai paradigma baru dalam pembangunan nasional dibentuk untuk melakukan pendekatan koordinasi antara pendekatan individu dan keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat itu, tiga dimensi terkait keluarga terlihat masih harus ditingkatkan yakni kebahagiaan 53,96 persen, dimensi ketentraman 55,99 persen, dan dimensi kemandirian 52,09 persen.
IBangga pun, kata Nopian, turut mencatatkan 401.007 keluarga atau sebesar 0,76 persen keluarga memiliki konflik berupa pisah ranjang. Kemudian 432.374 keluarga atau 0,69 persen keluarga menghadapi konflik minggat dari tempat tinggal.
“Konflik lain ada 246.018 keluarga atau 0,39 persen menghadapi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT,” ujar Nopian.
Dengan banyaknya konflik yang dihadapi oleh keluarga, Nopian melalui capaian IBangga menyatakan kalau keluarga di Indonesia belum bisa dikatakan sebagai keluarga yang tangguh. Padahal, terciptanya sumber daya manusia yang unggul telah menjadi prioritas pembangunan pemerintah saat ini.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menambahkan jumlah perceraian di Indonesia pada tahun 2021 sudah mencapai 580 ribu. Angka perceraian menunjukkan tren kenaikan sejak tahun 2015.
Dalam data lain yang dimilikinya, 97.615 kasus bercerai karena tidak harmonis, 74.559 kasus akibat faktor ekonomi, cemburu 9.338 kasus, tidak bertanggung jawab 81.266 kasus dan hadirnya pihak ketiga sebanyak 25.310 kasus.
“Dengan membuat indeks ini kita tahu bahwa problem perceraian dan ketidakharmonisan masalah serius dalam dimensi ketentraman keluarga ini. Kita harus prihatin dengan naiknya angka ini,” ujar Hasto.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK Femmy Eka Kartika Putri mengatakan untuk meningkatkan kualitas keluarga, pembangunan keluarga dilakukan dengan berlandaskan RPJMN 2020-2024, pemerintah berupaya melalui Prioritas Nasional (PN) 4 yaitu terkait revolusi mental dan pembinaan ideologi pancasila.
PN 4 sendiri mengandung tiga kegiatan prioritas untuk menyiapkan kehidupan berkeluarga dan kecakapan hidup. Salah satunya yakni pada program pertama, pemerintah berupaya meningkatkan kemampuan keluarga dalam pendampingan masa remaja dan penguatan karakter.
Salah satu upaya yang kini telah terealisasikan adalah memberikan bimbingan perkawinan sebelum menikah. Melalui upaya tersebut, Femmy berharap setiap pasangan dapat dipersiapkan menghadapi masalah dalam rumah tangga dan menekan angka perceraian keluarga. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022