Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menilai memanasnya hubungan China dengan Taiwan bisa berimbas terhadap ekonomi di dunia, khususnya Indonesia.

"Kalau perang sampai terjadi, imbasnya bukan hanya dirasakan Indonesia namun juga dunia. Bahkan lebih besar dibanding perang Rusia-Ukraina," kata Connie pada acara seminar nasional yang diselenggarakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Kamis.

Seminar mengangkat Tema "Quo Vadis Ekonomi Pertahanan sebagai Tantangan Kondisi Global di Masa Depan". Selain Connie, acara ini menghadirkan Direktur Produksi PT PAL Indonesia Iqbal Fikri dan Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Dahlian

Baca juga: Sejumlah perempuan Indonesia di Shanghai turun ke jalan pakai kebaya

Connie mengatakan bahwa potensi meletusnya perang di China imbas dari maraknya kehadiran Amerika Serikat di kawasan tersebut.

Menurut Connie, selain lokasi yang lebih dekat dengan Indonesia, Taiwan maupun China memiliki pengaruh cukup kuat bagi dunia, khususnya di sektor ekonomi. "Taiwan war berbahaya, kenapa? Sebab, Taiwan berada di jalur logistik dunia," kata dia.

Baca juga: US Open: China andalkan harapan pada Zhang Shuai

Ia mengatakan sebanyak 33 persen perdagangan laut ("seaborne trade") dunia melalui Selat Taiwan, termasuk kontribusi terhadap perdagangan dunia ("world trade"), China menyumbang 12,4 persen, AS sebesar 8,1 persen, dan Taiwan 1,7 persen.

"Taiwan war (perang Taiwan) akan menyebabkan PDB AS diproyeksikan akan menurun 5-10 persen dan China 25-35 persen," kata dia.

Dia mengatakan besarnya dampak yang dirasakan dunia seharusnya bisa diantisipasi. Indonesia bersama negara kawasan bisa mengambil peran untuk ikut mendinginkan tensi di kawasan tersebut.

"Kita sebagai negara yang ada di negara kawasan harus yakin bahwa kita mampu menghentikan niat Amerika Serikat untuk membuat perang di Taiwan karena bisa membuat 'collapse of the world'," ujar dia.

Tantangannya, kata dia, selama ini negara kawasan hanya terpaku pada kekuatan dan ancaman China. Padahal, memanasnya kawasan Taiwan menunjukkan adanya pergerakan AS dan NATO ke perairan kawasan.

"Koalisi (AS) sudah mengatur untuk ada di sini dan memicu konflik kalau diinginkan," kata peraih gelar doktor di bidang politik dari Universitas Indonesia ini.

Apalagi, lanjut dia, berpeluang bergabungnya negara-negara lain dengan AS melalui pendekatan "human security". Selain isu sosial, ada isu lingkungan yang bisa dimunculkan dalam operasi militer selain perang (OMSP) atau "military operation other than war" (MOOTW) nantinya.

"Kalau Laut Cina Selatan (LCS) dianggap tidak aman, sengketa LCS akan dikelola secara geopolitik dengan pendekatan strategis melalui MOOTW yang lebih luas," kata dia.

"Termasuk di Indonesia. Misalnya ada kebakaran hutan di Indonesia, maka dengan MOOTW, maka tentara mereka bisa masuk (ke Indonesia). Mereka menganggap negara kita nggak bisa mengatasi isu lingkungan. Makanya, kami terus mengingatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengantisipasi kebakaran hutan," kata penasihat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini.

Menurut dia, Indonesia sebagai negara besar harus mengambil peran mengantisipasi perang. Menggunakan doktrin pertahanan Presiden Soekarno, ada kebijakan pertahanan berorientasi ke dalam dan luar negeri.

Ke dalam untuk melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, sedangkan ke luar dengan melakukan gelar militer dan gelar operasi untuk mendukung kemerdekaan sebuah negara, seperti halnya yang dilakukan di Aljazair, Afghanistan, dan Pakistan.

"Ini yang membuat Indonesia saat itu dikenal sebagai negara militer terbesar di kawasan Indonesia Selatan. Itu bukti kesuksesan Presiden Soekarno untuk mewujudkan agar tak ada negara yang hegemoni," kata Connie.(*)
 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : A Malik Ibrahim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022