Kota Jember dalam dua hari, sejak Sabtu (6/8) hingga Minggu (7/8) ini punya gawe besar bertaraf internasional. Jalanan di kota di Jawa Timur itu dipenuhi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Mereka datang ke Kota Tembakau itu untuk menyaksikan gelaran akbar peragaan busana jalanan, Jember Fashion Carnaval (JFC).
Sebelum ke Jember, barangkali kita bisa menyimak dulu aksi anak-anak muda di sekitar Jakarta, dengan Citayam Fashion Week-nya yang menggemparkan jagad maya, dengan beragam penilaian.
Anak-anak muda itu menampilkan aksi fesyen, meskipun tidak sepenuhnya bisa digolongkan sebagai peragaan busana dalam pengertian konvensional. Menarik dan hebohnya, karena hal itu dilakukan di penyeberangan orang di jalan di kawasan ramai Jakarta.
Sejumlah pesohor kemudian tergoda untuk ikut memanfaatkan lokasi itu. Mungkin saja, ada motif politik di balik itu, agar semakin dikenal.
Fenomena budaya dan sosial itu kemudian menggelinding dan ditiru oleh anak-anak muda di tempat lain untuk melakukan hal yang sama. Kini banyak daerah lain yang anak-anak mudanya memanfaatkan zebra cross untuk pamer busana, seperti di Bandung, Semarang, Malang dan lain-lain.
Bahkan, Arek-arek Suroboyo pun tergoda untuk melakukan hal yang sama, dengan titel Tunjungan Fashion Week. Ini memanfaatkan ajang yang sebelumnya sudah ada, yakni Tunjangan Romansa yang sebelumnya diinisiasi oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Fenomena di Jalan Tunjungan yang bersejarah itu membuat gundah anak muda Aryo Seno Bagaskoro yang juga salah satu penggerak dari aktivitas di kawasan tengah kota di Surabaya itu. Bagi Seno, kegiatan Tunjungan Fashion Week seolah menyimpang dari watak asli Arek Suroboyo yang dikenal sebagai pelopor. Dalam kasus fesyen jalanan ini mereka justru mengekor dari daerah lain.
Meskipun demikian, dia tidak ingin terjebak pada pusaran menyalahkan atau membenarkan masalah yang mau tidak mau melibatkan kepolisian, dinas perhubungan dan pariwisata tersebut. Seno justru berterima kasih pada anak-anak muda di Surabaya itu karena telah mengingatkan semua pihak untuk memperhatikan gejolak dan hasrat kaum muda.
Fenomena lama
Kita kembali ke Jember. Fenomena fesyen jalanan ini sebetulnya bukan hal baru. Di luar negeri, bahkan sudah lama, seperti Harajuku di Kota Tokyo, Jepang, yang sudah ada sejak 1980-an dan kemudian terkenal di tahun 2000-an. Di dalam negeri, perancang busana Dinand Fariz, yang awalnya kurang dikenal dalam dunia rancang busana, tiba-tiba menyembul membawa Jember ke kancah dunia pada 2003. Jember Fashion Carnaval (JFC) yang digagas Dinand kini sudah mendunia dan menjadi agenda wisata tahunan.
Jika ditilik dari sisi motif atau penggerak munculnya fenomena ini, agaknya ada persamaan dan perbedaan antara aksi yang sudah ada dengan apa yang ditampilkan anak-anak di daerah Dukuh Atas, Kawasan Sudirman, Jakarta, itu.
Jika ditilik dari apa yang ditampilkan, anak-anak dari Citayam, Bojonggede dan Depok itu digerakkan oleh motif ingin diperhatikan atau setidaknya tampil beda dengan orang-orang yang biasa lalu lalang di kawasan itu. Hal ini, belum memperlihatkan bahwa mereka mengusung konsep fesyen baru yang menggunakan cat walk jalanan sebagai media ekspresi. Artinya, tidak ada atau mungkin belum ada konsep fesyen baru.
Tidak bermaksud menghakimi aksi mereka sebagai negatif atau positif. Aksi itu menyisakan titik lemah untuk keberlangsungan eksistensi mereka di masa mendatang. Bahkan, sebagaimana sudah terlihat, lokasi anak-anak Citayam, Bojonggede dan Depok itu dimanfaatkan pihak lain untuk menangguk untung, baik secara ekonomi maupun politik. Sangat mungkin, anak-anak muda pelopor di kawasan itu akan tersingkir dengan sendirinya ketika aksi mereka tidak lagi menarik perhatian. Apalagi, ketika "penumpang gelap" ikut naik dengan mengusung ideologi lain yang berseberangan dengan arus besar budaya kita. Misalnya isu LGBT yang kini mulai meramaikan pemberitaan di lokasi tersebut. Ini akan menimbulkan reaksi penolakan nantinya.
Bandingkan dengan JFC yang kali ini memasuki tahun ke-20 dan tetap eksis, hingga mendunia, meskipun pada 2019 ditinggal selamanya oleh sang penggagas Dinand Fariz, meninggal dunia. JFC Tahun 2022 dengan tema "The Legacy" itu digelar 6 hingga 7 Agustus dengan jarak rute yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya 3,6 KM mengelilingi kawasan Kota Jember.
Berlangsung konsisten selama 20 tahun menunjukkan bahwa JFC betul-betul hidup dan tidak mudah punah oleh keadaan.
Ketika di awal merintis ajang itu, sangat mungkin ide Dinand Fariz tidak langsung diterima oleh masyarakat, khususnya Kota Jember, yang dikenal agamis dan agraris dengan komoditas pertanian tembakau itu.
Dinand mampu melewati rintangan itu karena ia mengawalinya tidak dengan asal-asalan. Ia telah membuat konsep matang mengenai fesyen yang akan diusung, yang diawali dari lingkungan keluarganya. Dinand tidak ujuk-ujuk menggunakan jalanan sebagai ajang ekspresi. Setelah peragaan di dalam ruangan (rumah) saat arisan keluarga, ia memindah peragaan ke halaman rumah. Pilihan ke jalanan diambil setelah semuanya siap. Perancang busana kelahiran Jember, Jawa Timur, ini berlatar pendidikan tata busana di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan dilanjutkan di Jakarta dan Paris.
Hal ini agaknya berbeda dengan Citayam Fashion Week yang sepertinya hanya aksi spontanitas tanpa konsep fesyen matang untuk dipertarungkan ke hadapan publik. Bisa dipastikan bahwa aksi itu hanya mirip cendawan dan pada saatnya akan sirna.
Secara umum, gelaran CFW dengan JFC sama-sama berpotensi menimbulkan masalah lalu lintas jika tidak dikelola baik, dengan melibatkan banyak pihak. JFC yang justru menghabiskan jalan kini tidak ada yang mempersoalkan karena keberadaanya memberikan manfaat bagi banyak orang. Pemerintah daerah, termasuk kepolisian juga mendukung kegiatan yang terbukti menghidupkan roda ekonomi itu.
Karena itu, anak-anak muda di sejumlah daerah yang kini meniru pemuda di Citayam, Bojonggede dan Depok itu juga perlu belajar dari kesuksesan JFC, dengan serius menggarap rancangan busana, sebelum membawanya ke ruang publik. Kekayaan budaya lokal adalah aset yang tidak akan pernah habis untuk digali dan diabadikan dalam rancangan busana. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Sebelum ke Jember, barangkali kita bisa menyimak dulu aksi anak-anak muda di sekitar Jakarta, dengan Citayam Fashion Week-nya yang menggemparkan jagad maya, dengan beragam penilaian.
Anak-anak muda itu menampilkan aksi fesyen, meskipun tidak sepenuhnya bisa digolongkan sebagai peragaan busana dalam pengertian konvensional. Menarik dan hebohnya, karena hal itu dilakukan di penyeberangan orang di jalan di kawasan ramai Jakarta.
Sejumlah pesohor kemudian tergoda untuk ikut memanfaatkan lokasi itu. Mungkin saja, ada motif politik di balik itu, agar semakin dikenal.
Fenomena budaya dan sosial itu kemudian menggelinding dan ditiru oleh anak-anak muda di tempat lain untuk melakukan hal yang sama. Kini banyak daerah lain yang anak-anak mudanya memanfaatkan zebra cross untuk pamer busana, seperti di Bandung, Semarang, Malang dan lain-lain.
Bahkan, Arek-arek Suroboyo pun tergoda untuk melakukan hal yang sama, dengan titel Tunjungan Fashion Week. Ini memanfaatkan ajang yang sebelumnya sudah ada, yakni Tunjangan Romansa yang sebelumnya diinisiasi oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Fenomena di Jalan Tunjungan yang bersejarah itu membuat gundah anak muda Aryo Seno Bagaskoro yang juga salah satu penggerak dari aktivitas di kawasan tengah kota di Surabaya itu. Bagi Seno, kegiatan Tunjungan Fashion Week seolah menyimpang dari watak asli Arek Suroboyo yang dikenal sebagai pelopor. Dalam kasus fesyen jalanan ini mereka justru mengekor dari daerah lain.
Meskipun demikian, dia tidak ingin terjebak pada pusaran menyalahkan atau membenarkan masalah yang mau tidak mau melibatkan kepolisian, dinas perhubungan dan pariwisata tersebut. Seno justru berterima kasih pada anak-anak muda di Surabaya itu karena telah mengingatkan semua pihak untuk memperhatikan gejolak dan hasrat kaum muda.
Fenomena lama
Kita kembali ke Jember. Fenomena fesyen jalanan ini sebetulnya bukan hal baru. Di luar negeri, bahkan sudah lama, seperti Harajuku di Kota Tokyo, Jepang, yang sudah ada sejak 1980-an dan kemudian terkenal di tahun 2000-an. Di dalam negeri, perancang busana Dinand Fariz, yang awalnya kurang dikenal dalam dunia rancang busana, tiba-tiba menyembul membawa Jember ke kancah dunia pada 2003. Jember Fashion Carnaval (JFC) yang digagas Dinand kini sudah mendunia dan menjadi agenda wisata tahunan.
Jika ditilik dari sisi motif atau penggerak munculnya fenomena ini, agaknya ada persamaan dan perbedaan antara aksi yang sudah ada dengan apa yang ditampilkan anak-anak di daerah Dukuh Atas, Kawasan Sudirman, Jakarta, itu.
Jika ditilik dari apa yang ditampilkan, anak-anak dari Citayam, Bojonggede dan Depok itu digerakkan oleh motif ingin diperhatikan atau setidaknya tampil beda dengan orang-orang yang biasa lalu lalang di kawasan itu. Hal ini, belum memperlihatkan bahwa mereka mengusung konsep fesyen baru yang menggunakan cat walk jalanan sebagai media ekspresi. Artinya, tidak ada atau mungkin belum ada konsep fesyen baru.
Tidak bermaksud menghakimi aksi mereka sebagai negatif atau positif. Aksi itu menyisakan titik lemah untuk keberlangsungan eksistensi mereka di masa mendatang. Bahkan, sebagaimana sudah terlihat, lokasi anak-anak Citayam, Bojonggede dan Depok itu dimanfaatkan pihak lain untuk menangguk untung, baik secara ekonomi maupun politik. Sangat mungkin, anak-anak muda pelopor di kawasan itu akan tersingkir dengan sendirinya ketika aksi mereka tidak lagi menarik perhatian. Apalagi, ketika "penumpang gelap" ikut naik dengan mengusung ideologi lain yang berseberangan dengan arus besar budaya kita. Misalnya isu LGBT yang kini mulai meramaikan pemberitaan di lokasi tersebut. Ini akan menimbulkan reaksi penolakan nantinya.
Bandingkan dengan JFC yang kali ini memasuki tahun ke-20 dan tetap eksis, hingga mendunia, meskipun pada 2019 ditinggal selamanya oleh sang penggagas Dinand Fariz, meninggal dunia. JFC Tahun 2022 dengan tema "The Legacy" itu digelar 6 hingga 7 Agustus dengan jarak rute yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya 3,6 KM mengelilingi kawasan Kota Jember.
Berlangsung konsisten selama 20 tahun menunjukkan bahwa JFC betul-betul hidup dan tidak mudah punah oleh keadaan.
Ketika di awal merintis ajang itu, sangat mungkin ide Dinand Fariz tidak langsung diterima oleh masyarakat, khususnya Kota Jember, yang dikenal agamis dan agraris dengan komoditas pertanian tembakau itu.
Dinand mampu melewati rintangan itu karena ia mengawalinya tidak dengan asal-asalan. Ia telah membuat konsep matang mengenai fesyen yang akan diusung, yang diawali dari lingkungan keluarganya. Dinand tidak ujuk-ujuk menggunakan jalanan sebagai ajang ekspresi. Setelah peragaan di dalam ruangan (rumah) saat arisan keluarga, ia memindah peragaan ke halaman rumah. Pilihan ke jalanan diambil setelah semuanya siap. Perancang busana kelahiran Jember, Jawa Timur, ini berlatar pendidikan tata busana di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan dilanjutkan di Jakarta dan Paris.
Hal ini agaknya berbeda dengan Citayam Fashion Week yang sepertinya hanya aksi spontanitas tanpa konsep fesyen matang untuk dipertarungkan ke hadapan publik. Bisa dipastikan bahwa aksi itu hanya mirip cendawan dan pada saatnya akan sirna.
Secara umum, gelaran CFW dengan JFC sama-sama berpotensi menimbulkan masalah lalu lintas jika tidak dikelola baik, dengan melibatkan banyak pihak. JFC yang justru menghabiskan jalan kini tidak ada yang mempersoalkan karena keberadaanya memberikan manfaat bagi banyak orang. Pemerintah daerah, termasuk kepolisian juga mendukung kegiatan yang terbukti menghidupkan roda ekonomi itu.
Karena itu, anak-anak muda di sejumlah daerah yang kini meniru pemuda di Citayam, Bojonggede dan Depok itu juga perlu belajar dari kesuksesan JFC, dengan serius menggarap rancangan busana, sebelum membawanya ke ruang publik. Kekayaan budaya lokal adalah aset yang tidak akan pernah habis untuk digali dan diabadikan dalam rancangan busana. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022