Wakil Wali Kota Surabaya Armuji berharap pasal kontroversi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) perlu disosialisasikan terlebih dahulu ke masyarakat dan didiskusikan kepada para pakar hukum sebelum disahkan.

"Kami berharap kepada DPR RI sebelum mengesahkan RKUHP menjadi KUHP harus benar-benar didiskusikan secara matang bersama pakar hukum dari para universitas terkemuka dan perlunya sosialisasi kepada masyarakat agar paham terhadap pasal yang akan diberlakukan kedepannya," kata Wawali Armuji di Surabaya, Kamis.

Untuk itu, Armuji mengundang pakar hukum sekaligus dosen Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Iqbal Felisiano S.H., LL.M.,untuk berdiskusi seputar RKUHP yang lagi ramai diperbincangkan oleh khalayak masyarakat di Indonesia. 

Saat diskusi melalui podcast tersebut, Armuji mengaku sempat menanyakan kepada Iqbal perihal pasal yang telah ramai diperdebatkan oleh kalangan masyarakat, di tengah digagasnya pasal-pasal yang ada di RKUHP. 

"Sejauh ini pasal-pasal yang diperdebatkan sangat keras di RKUHP itu yang mana ya, sampai orang-orang ini seperti keberatan akan hal itu, sehingga menimbulkan pro dan kontra," kata Armuji.

Sementara itu, Iqbal menjelaskan bahwa KUHP ini memang ada sejak zaman kolonial Belanda dan RKUHP ini berdiri karena memang untuk mengantisipasi tentang bahaya masyarakat atas penghinaan sebagai salah satunya dan menyesuaikan dengan kondisi sosial yang ada saat ini.

"Sebenarnya kalau dari RKUHP ini harus melihat dari KUHP yang ada sekarang di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang hukum pidana merupakan produk awal dari pemerintah kolonial," ujar Iqbal.

Menurut Iqbal, pasal yang cukup keras diperdebatkan oleh masyarakat lebih tepatnya menimbulkan pro dan kontra yakni tertuang dalam BAB II tindak pidana terhadap martabat presiden/wapres bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres.

Pada Pasal 218 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden/wapres dipidana paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Sementara itu, Pasal 219 berbunyi setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wapres.

"Tepatnya ini semua masih multi-interpretasi yang kalau demonstran melakukan demonstrasi tidak ada perizinan maka akan diperkarakan. Begitu juga dengan mengganggu ketertiban umum yang menimbulkan keresahan bisa dikenakan pasal," kata dia.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sebelumnya mengatakan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam RKUHP bukan membatasi kritik, melainkan penegas batas masyarakat sebagai bangsa yang beradab.

Menurut Yasonna Laoly, setiap orang memiliki hak hukum untuk melindungi harkat dan martabatnya. Jika seorang individu dihina oleh seseorang, kata dia, yang dihina punya hak secara hukum untuk harkat dan martabatnya.

 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022