Dinas Pendidikan Kota Surabaya menggelar kegiatan sharing class selama tiga hari pada 11 sampai 13 Juli untuk mendampingi lembaga pendidikan menangani anak berkebutuhan khusus (ABK) saat Pembelajaran Tatap Muka (PTM) serentak.
"Saat PTM dimulai 18 Juli mendatang, tak jarang terdapat lembaga yang menerima ABK. Untuk itu, pengelola lembaga perlu mendapat pendampingan melalui teori dan praktik," kata Kabid Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (PAUD-PNF) Disdik Kota Surabaya Muhammad Sufyan di Surabaya, Senin.
Sufyan mengatakan hadir pada kegiatan bertema "Mengoptimalkan Kecerdasan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan Individual Education Program (IEP)" itu adalah Pos PAUD Terpadu (PPT), Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak (TK), dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
"Kegiatan ini dimulai dari pemaparan mengenai multiple intelligence serta macam-macam ABK, serta analisis kebutuhan dan kemampuan setiap anak," katanya.
Setiap lembaga yang memiliki ABK kami undang kepala sekolah dan tiga orang gurunya. Kami damping untuk membuat analisis kebutuhan sampai dengan pembuatan program jangka panjang serta evaluasinya," ujarnya, menambahkan.
Ketua Yayasan Quali International Surabaya (QIS) Lili Musyafa’ah saat mengisi acara meminta yang hadir untuk mengubur ketidakmampuan anak didik, dan mengembangkan kemampuan mereka.
Lili menginginkan pengelola PPT, KB, TK, dan PKBM yang hadir untuk memulai mengubah paradigma terhadap penanganan ABK. Alumnus Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini menegaskan bahwa setiap ABK memiliki multiple intelligences.
"Jangan melihat ABK itu down syndrome-nya, autis, tapi lihat setiap ABK mempunyai multiple intelligences. Coba para guru melakukan observasi," katanya.
"Hal yang paling dasar itu ABK memiliki kecerdasan bahasa atau cerdas gerak, cerdas bergaul, cerdas musik, cerdas gambar, cerdas angka, cerdas diri, atau cerdas alam," kata Lili.
Dia menilai, kecerdasan setiap ABK tidak terbatas pada kekurangan fisik dan keterbatasan pada daya pikir otak.
Guru, selain bertugas sebagai pengajar, juga memiliki tanggung jawab untuk mengobservasi potensi ABK di setiap kelasnya. Potensi setiap ABK, lanjut Lili, dapat dilihat minimal pada 100 hari pertama.
"Potensi ABK yang diketahui sejak dini dapat menjadi bakat. Bakat yang mendapat edukasi dengan baik maka bisa melahirkan spesialisasi dari ABK itu," ujarnya.
Lili cukup mengapresiasi lembaga-lembaga pendidikan yang sudah menerima ABK sebagai peserta didik. Sebab, tidak sedikit lembaga yang mau menerima ABK.
"Berdasarkan riset kami, ABK hanya menghabiskan waktu di sekolah, karena kita tidak tahu ilmunya untuk memberi pendampingan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022