"The Black Phone" adalah film horor supernatural yang merupakan adaptasi dari cerita pendek tahun 2004 dengan judul yang sama, karya penulis Joe Hill.
Berlatar pada tahun 1978, film dibuka dengan informasi dimana sebanyak lima anak hilang di sebuah kota pinggiran Colorado.
Seorang pemain bisbol muda Finney Shaw (diperankan oleh Mason Thames), menjadi yang keenam ketika seorang pembunuh berantai, yang dijuluki "The Grabber" (diperankan oleh Ethan Hawke), membuatnya pingsan dan melemparkannya ke dalam sebuah van.
Finney terbangun di ruang bawah tanah kedap suara dengan telepon terputus. Dia dengan cepat mengetahui kemampuan telepon untuk mengirimkan suara korban The Grabber sebelumnya, yang ingin membantunya melarikan diri.
Sementara itu, saudara perempuan Finney, Gwen (diperankan oleh Madeleine McGraw), mengalami mimpi psikis yang mengirimnya dalam pencarian untuk menemukannya.
Bukan hal yang mengagetkan bahwa penampilan Ethan Hawke sebagai seorang penculik anak berdarah dingin, menjadi salah satu elemen paling menarik dari film ini. Hawke, seperti yang diketahui, dalam 30 tahun, belum pernah memerankan penjahat yang kejam sebelumnya. Terlebih, ia memainkan karakter ini sepenuhnya dengan mengenakan topeng.
Film-film thriller dengan pembunuh berantai cenderung memiliki misteri kelam tertentu bagi sang antagonis. Hal yang menarik di "The Black Phone", karakter Hawke bisa dibilang tidak digali sangat dalam, namun, anehnya, penonton seakan sudah mengenal karakter ini dengan cara tertentu.
Tentu ini merupakan penampilan yang begitu menyegarkan dari Hawke -- yang karakternya sedikit mengingatkan audiens dengan si badut Pennywise dari "It" (2017) -- yang sama-sama "memburu" anak-anak kecil untuk hiburannya sendiri.
Variasi karakter yang diperankan Hawke pun kini kian beragam, setelah ia juga sempat memainkan antagonis lain baru-baru ini di "Moon Knight" (2022), Arthur Harrow, hingga menjadi Raja Aurvandil War-Raven di "The Northman" (2022) -- membuatnya semakin pantas disebut sebagai aktor yang tak hanya berbakat, namun juga memiliki jangkauan akting yang begitu luas.
Tidak adil rasanya jika pujian hanya dilontarkan kepada Hawke. Dua aktor cilik Mason Thames dan Madeleine McGraw pun tak kalah mencuri perhatian. Bagi Thames, ini merupakan debut layar lebar pertamanya.
Sebagai lakon utama, penampilannya sebagai Finney cukup meyakinkan. Rasa takut dan tegang sebagai seorang anak yang diculik, disekap, dan mencoba kabur dari sang penculik keji, seakan tersampaikan kepada penonton.
Berbeda dengan Thames, bagi McGraw yang memerankan tokoh Gwen, ini bukan debut film pertamanya. Ia bisa dibilang merupakan salah satu bintang yang menjanjikan, setelah memerankan karakter-karakter kunci di film-film populer termasuk "Ant-Man and The Wasp" (2018), "Toy Story 4" (2019), hingga "The Mitchells vs. The Machines" (2021).
Penampilannya sebagai adik Finney yang ceria, blak-blakan, dan pemberani pun sukar untuk dilupakan. Ia memberikan bumbu emosional dan psikis yang berpadu apik dengan jalannya cerita.
Semuanya memiliki porsi yang pas bagi pengembangan karakter keduanya, ditambah dengan dinamika keluarga dan upaya untuk kabur dari The Grabber.
"The Black Phone" disutradarai oleh Scott Derrickson, ditulis oleh Derrickson dan C. Robert Cargill, dan diproduksi oleh Jason Blum. Ketiga nama ini tidak asing di filmografi horor Hollywood.
Derrickson sendiri dikenal melalui film-film seperti "Sinister" (2012), "The Exorcism of Emily Rose" (2005), hingga "Doctor Strange" (2016). Ia memiliki gaya dan pendekatan tersendiri dalam film horor dan supernatural, yang seakan sudah menjadi spesialisasinya saat ini.
Soal visual, "The Black Phone" dikemas dengan "cantik" dan mampu memberikan kejutan-kejutan bagi siapa pun yang menontonnya. Hal ini juga diperkuat dengan scoring dan efek suara yang menggelegar -- bahkan dering telepon di film pun bisa menjadi begitu menegangkan saat dialami di bioskop.
Lebih lanjut, salah satu yang mencolok dari gaya penceritaan Derrickson adalah kedekatannya dengan Kristiani, yang merupakan agama dan keyakinannya. Di "The Black Phone", audiens dapat menemui elemen ini, yang dibungkus dengan baik dan cukup ringan.
Hal lain yang menarik dari film ini adalah latarnya di akhir era '70an. Ternyata, hal ini bukan hal yang jauh dari Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam, akhir '70an dan awal '80an merupakan tahun-tahun dimana angka penculikan anak marak dilaporkan. Seperti digambarkan di film, poster-poster anak-anak hilang banyak bermunculan di penjuru kota.
Kedekatan ini juga diperkuat dengan percikan nostalgia era '70an, termasuk gaya berbusana dan gaya rambut pra-remaja kala itu, sentilan soal Perang Vietnam, hingga budaya pop seperti film "The Texas Chain Saw Massacre" (1974) dan lagu-lagu ikonis seperti "Free Ride" oleh Dizzie Gillespie (1977).
Film berdurasi 102 menit ini akan siap hadir "meneror" para pecinta film di Indonesia pada 22 Juni 2022. Bersiaplah, dan jangan lupa untuk mengangkat telepon rumah Anda ketika tiba-tiba berdering nanti setelah film selesai!. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Berlatar pada tahun 1978, film dibuka dengan informasi dimana sebanyak lima anak hilang di sebuah kota pinggiran Colorado.
Seorang pemain bisbol muda Finney Shaw (diperankan oleh Mason Thames), menjadi yang keenam ketika seorang pembunuh berantai, yang dijuluki "The Grabber" (diperankan oleh Ethan Hawke), membuatnya pingsan dan melemparkannya ke dalam sebuah van.
Finney terbangun di ruang bawah tanah kedap suara dengan telepon terputus. Dia dengan cepat mengetahui kemampuan telepon untuk mengirimkan suara korban The Grabber sebelumnya, yang ingin membantunya melarikan diri.
Sementara itu, saudara perempuan Finney, Gwen (diperankan oleh Madeleine McGraw), mengalami mimpi psikis yang mengirimnya dalam pencarian untuk menemukannya.
Bukan hal yang mengagetkan bahwa penampilan Ethan Hawke sebagai seorang penculik anak berdarah dingin, menjadi salah satu elemen paling menarik dari film ini. Hawke, seperti yang diketahui, dalam 30 tahun, belum pernah memerankan penjahat yang kejam sebelumnya. Terlebih, ia memainkan karakter ini sepenuhnya dengan mengenakan topeng.
Film-film thriller dengan pembunuh berantai cenderung memiliki misteri kelam tertentu bagi sang antagonis. Hal yang menarik di "The Black Phone", karakter Hawke bisa dibilang tidak digali sangat dalam, namun, anehnya, penonton seakan sudah mengenal karakter ini dengan cara tertentu.
Tentu ini merupakan penampilan yang begitu menyegarkan dari Hawke -- yang karakternya sedikit mengingatkan audiens dengan si badut Pennywise dari "It" (2017) -- yang sama-sama "memburu" anak-anak kecil untuk hiburannya sendiri.
Variasi karakter yang diperankan Hawke pun kini kian beragam, setelah ia juga sempat memainkan antagonis lain baru-baru ini di "Moon Knight" (2022), Arthur Harrow, hingga menjadi Raja Aurvandil War-Raven di "The Northman" (2022) -- membuatnya semakin pantas disebut sebagai aktor yang tak hanya berbakat, namun juga memiliki jangkauan akting yang begitu luas.
Tidak adil rasanya jika pujian hanya dilontarkan kepada Hawke. Dua aktor cilik Mason Thames dan Madeleine McGraw pun tak kalah mencuri perhatian. Bagi Thames, ini merupakan debut layar lebar pertamanya.
Sebagai lakon utama, penampilannya sebagai Finney cukup meyakinkan. Rasa takut dan tegang sebagai seorang anak yang diculik, disekap, dan mencoba kabur dari sang penculik keji, seakan tersampaikan kepada penonton.
Berbeda dengan Thames, bagi McGraw yang memerankan tokoh Gwen, ini bukan debut film pertamanya. Ia bisa dibilang merupakan salah satu bintang yang menjanjikan, setelah memerankan karakter-karakter kunci di film-film populer termasuk "Ant-Man and The Wasp" (2018), "Toy Story 4" (2019), hingga "The Mitchells vs. The Machines" (2021).
Penampilannya sebagai adik Finney yang ceria, blak-blakan, dan pemberani pun sukar untuk dilupakan. Ia memberikan bumbu emosional dan psikis yang berpadu apik dengan jalannya cerita.
Semuanya memiliki porsi yang pas bagi pengembangan karakter keduanya, ditambah dengan dinamika keluarga dan upaya untuk kabur dari The Grabber.
"The Black Phone" disutradarai oleh Scott Derrickson, ditulis oleh Derrickson dan C. Robert Cargill, dan diproduksi oleh Jason Blum. Ketiga nama ini tidak asing di filmografi horor Hollywood.
Derrickson sendiri dikenal melalui film-film seperti "Sinister" (2012), "The Exorcism of Emily Rose" (2005), hingga "Doctor Strange" (2016). Ia memiliki gaya dan pendekatan tersendiri dalam film horor dan supernatural, yang seakan sudah menjadi spesialisasinya saat ini.
Soal visual, "The Black Phone" dikemas dengan "cantik" dan mampu memberikan kejutan-kejutan bagi siapa pun yang menontonnya. Hal ini juga diperkuat dengan scoring dan efek suara yang menggelegar -- bahkan dering telepon di film pun bisa menjadi begitu menegangkan saat dialami di bioskop.
Lebih lanjut, salah satu yang mencolok dari gaya penceritaan Derrickson adalah kedekatannya dengan Kristiani, yang merupakan agama dan keyakinannya. Di "The Black Phone", audiens dapat menemui elemen ini, yang dibungkus dengan baik dan cukup ringan.
Hal lain yang menarik dari film ini adalah latarnya di akhir era '70an. Ternyata, hal ini bukan hal yang jauh dari Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam, akhir '70an dan awal '80an merupakan tahun-tahun dimana angka penculikan anak marak dilaporkan. Seperti digambarkan di film, poster-poster anak-anak hilang banyak bermunculan di penjuru kota.
Kedekatan ini juga diperkuat dengan percikan nostalgia era '70an, termasuk gaya berbusana dan gaya rambut pra-remaja kala itu, sentilan soal Perang Vietnam, hingga budaya pop seperti film "The Texas Chain Saw Massacre" (1974) dan lagu-lagu ikonis seperti "Free Ride" oleh Dizzie Gillespie (1977).
Film berdurasi 102 menit ini akan siap hadir "meneror" para pecinta film di Indonesia pada 22 Juni 2022. Bersiaplah, dan jangan lupa untuk mengangkat telepon rumah Anda ketika tiba-tiba berdering nanti setelah film selesai!. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022