Cegumuk, merupakan sebutan oleh warga Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur yang merujuk pada satu gundukan tanah setinggi kurang lebih tiga meter di tengah perkebunan tebu pada wilayah tersebut.
Bagi warga setempat, Cegumuk yang berada di desa itu bukan hanya dianggap sebagai gundukan tanah biasa. Di atas gundukan tanah itu, ada sebuah yoni yang merupakan lambang kesuburan berukuran 0,8x0,8 meter dibentuk dari material batuan andesit.
Keberadaan Cegumuk di Desa Srigading, Kecamatan Lawang tersebut sudah diketahui kurang lebih sejak 1985-1986. Saat itu, selain yoni, juga ditemukan sebuah lingga yang merupakan simbol kejantanan yang dikelilingi reruntuhan batu bata berukuran besar.
Kemudian, juga ditemukan tiga buah arca di atas gundukan itu. Tiga arca yang ditemukan saat itu adalah sebuah sebuah arca perempuan dengan banyak tangan atau yang dikenal sebagai Durga, arca sapi tanpa kepala atau Nandi dan arca yang membawa pentungan atau Dwarapala.
Di sekitar gundukan itu, berserakan batu bata dengan dimensi cukup besar dan berbeda dari batu bata pada umumnya yang dipergunakan untuk membangun rumah masa kini. Batu bata yang berserakan itu, merupakan reruntuhan dari bangunan dan membentuk sebuah gundukan.
Pada 1986, Suryadi yang kini berusia 64 tahun, tengah mencari ketenangan batin di sekitar wilayah Desa Srigading tersebut. Saat itu, tidak jauh dari gundukan tanah ada sebuah pohon nangka besar namun pendek yang diingatnya sebagai sebuah penanda.
Dalam proses mencari ketenangan batin itu, Suryadi melihat sebuah gundukan di dekat pohon nangka tersebut. Kemudian dia mendatangi gundukan tersebut dan melihat ada sejumlah prasasti yang ia perkirakan memiliki nilai sejarah tinggi.
"Dahulu, pada saat saya menemukan gundukan itu masih ada arca-arca termasuk lingga. Saya ingat, ada arca Durga, Nandi tanpa kepala dan Dwarapala," katanya.
Suryadi sejak muda memiliki ketertarikan dengan keberadaan situs-situs bersejarah khususnya di wilayah Kabupaten Malang. Saat itu, setelah menemukan gundukan beserta sejumlah arca tersebut, ia melaporkan kepada Dinas Purbakala yang ada di Mojokerto.
"Kebetulan saya memiliki teman yang menjaga Candi Singosari, kemudian melapor ke dinas. Setelah itu dari Dinas Purbakala melakukan peninjauan, namun setelahnya tidak ada tindak lanjut," ujarnya.
Setelah penemuan itu, Suryadi juga kerap menyambangi gundukan tanah itu untuk mencari ketenangan batin. Gundukan tanah tersebut, bagi warga setempat juga dianggap sebagai salah satu area yang dikeramatkan.
Bahkan, beredar juga sejumlah cerita-cerita rakyat yang menyebutkan bahwa di Cegumuk itu pada malam tertentu, terlihat ada sinar yang menyerupai lampu jika dilihat dari kejauhan. Tempat itu juga menjadi lokasi untuk melakukan ritual para pencari ketenangan batin.
Seiring dengan berjalannya waktu, arca-arca yang berada pada Cegumuk tersebut hilang. Bahkan, keberadaan yoni yang cukup besar tersebut juga hampir dicuri oleh orang tidak dikenal, namun warga setempat berhasil mengetahuinya dan mengembalikan yoni tersebut.
Keinginan Suryadi agar Cegumuk tersebut bisa diselamatkan tidak terhenti hingga puluhan tahun. Selama kurang lebih 37 tahun melakukan penantian, pada awal Februari 2022, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan ekskavasi situs tersebut.
"Baru-baru ini, saya bertemu dengan sejumlah tokoh, termasuk dari BPCB Jawa Timur. Akhirnya kami berkumpul dan terealisasi untuk ekskavasi," ujarnya.
Temuan Penting BPCB Jawa Timur
Pelaksanaan ekskavasi situs Srigading, dilakukan oleh BPCB Jawa Timur selama kurang lebih enam hari pada 7-12 Februari 2022. Tim dari BPCB Jawa Timur membuka sisi barat dari Cegumuk tersebut, dan memastikan bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah candi.
Dari material yang dipergunakan untuk membangun candi tersebut yang berupa batu bata berukuran panjang 35 centimeter (cm), lebar 22cm dan ketebalan 10-11cm, serta temuan lain berupa relief berbentuk wajah, ditengarai candi tersebut berasal dari abad ke-10 Masehi.
Selain itu, juga ditemukan adanya ratna atau bentuk atap yang meruncing dan ambang bilik bangunan candi. Diperkirakan, candi tersebut memiliki bagian tubuh serta atap yang kemudian runtuh dan menutup seluruh profil kaki pada semua sisi.
Dengan temuan bukti fisik tersebut, diperkirakan bangunan candi tersebut memiliki gaya atau ciri-ciri berupa candi tua dari era Mataram Kuno. Temuan relief berbentuk wajah di situs Srigading, juga mirip dengan gaya relief yang ada di Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
BPCB Jawa Timur memperkirakan bangunan candi tersebut juga memiliki keterkaitan dengan prasasti Linggasutan yang berasal dari tahun 929 Masehi. Prasasti Linggasutan, ditemukan di Desa Lowokjati, kurang lebih dua kilometer dari Desa Srigading.
Bangunan candi tersebut tidak berorientasi pada arah utara sesuai kompas. Namun, diduga menghadap ke arah timur, atau berorientasi pada Gunung Semeru dan membelakangi Gunung Arjuno.
Arkeolog BPCB Jawa Timur Wicaksono Dwi Nugrono mengatakan bahwa usai tim BPCB Jawa Timur melakukan ekskavasi sisi barat dari bangunan situs candi tersebut, tidak ditemukan tangga untuk memasuki bangunan.
Sehingga, diperkirakan tangga untuk memasuki bangunan itu berada pada sisi timur. Pembukaan sisi timur bangunan candi itu, akan dilakukan pada ekskavasi lanjutan, untuk mengetahui bentuk dan luasan candi yang saat ini diperkirakan memiliki dimensi 8x8 meter.
"Dari orientasi bangunan, nampak bahwa bangunan bergeser dari utara kompas, mengarah ke Gunung Arjuno dan Semeru. Ini cukup signifikan bagi kita, terutama bagi daerah Malang," katanya.
Dikaitkan dengan keberadaan prasasti Linggasutan yang saat ini berada di Museum Nasional dengan nomor inventaris D103, keberadaan candi tersebut memiliki nilai penting bagi sejarah peradaban di wilayah Malang.
Dalam prasasti Linggasutan, disebutkan bahwa Desa Linggasutan dibebaskan pajak untuk melakukan pembangunan sebuah bangunan Batara I Walandit, atau bangunan suci di wilayah Walandit. Sejauh ini, belum ditemukan bangunan suci yang ada di wilayah Kecamatan Lawang.
"Sehingga, kami mencoba mengaitkan apakan bangunan candi ini yang disebutkan dalam prasasti Linggasutan, ini baru dugaan awal dan dari sumber tertulis," katanya.
Bahkan, analisa sementara dari temuan situs Srigading tersebut juga diperkirakan memiliki kaitan dengan keberadaan suku Tengger di Bromo. Menurut Wicaksono, suku Tengger Bromo memiliki keterikatan dengan Walandit di Malang.
"Kalau begitu, ini sejarahnya punya Malang. Malang itu punya peradaban sejarah yang sangat panjang dan istimewa," katanya.
Upaya Pelestarian Situs Srigading
Usai pelaksanaan ekskavasi pada sisi barat bangunan candi tersebut, masih ada pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan. Ekskavasi lanjutan perlu dilakukan oleh tim arkeolog untuk membuka sisi timur bangunan candi tersebut.
Pembukaan sisi timur bangunan candi itu perlu dilakukan untuk memastikan posisi tangga atau arah pintu masuk dari situs tersebut. Selain itu, pembukaan juga perlu dilakukan untuk menghitung kebutuhan ruang bagi upaya pelestarian candi tersebut.
Selain itu, bangunan candi tersebut juga perlu diberikan atap agar tidak secara langsung terpapar sinar matahari dan air hujan, karena memiliki material yang sangat rapuh. Upaya pelestarian situs Srigading membutuhkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten Malang.
Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Malang memberikan dukungan penuh untuk proses ekskavasi situs Srigading. Pemerintah daerah menyatakan akan menyiapkan sejumlah infrastruktur pendukung pada situs tersebut.
Sejumlah rencana untuk mendukung upaya pelestarian situs tersebut antara lain adalah pembangunan akses jalan dan memberikan penerangan dengan energi berkelanjutan. Situs tersebut diharapkan bisa menjadi salah satu instrumen edukasi tentang leluhur bagi masyarakat.
"Tugas Pemerintah Kabupaten Malang setelah proses ekskavasi dilakukan, adalah memelihara keberlanjutannya melalui Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan," ujar Didik.
Keberadaan situs Srigading, sejatinya harus menjadi perhatian bersama dalam upaya untuk pelestarian. Namun, pelestarian sebuah bangunan cagar budaya membutuhkan komitmen yang tinggi bukan hanya dari pemerintah daerah namun juga masyarakat setempat.
Pengelolaan situs budaya dengan pendekatan konsep wisata sesungguhnya bisa dilakukan agar pelestarian bisa berjalan secara berkelanjutan. Peranan masyarakat desa untuk menghadirkan wisata berkonsep edukasi bisa menjadi pilihan untuk upaya pelestarian situs Srigading.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022